A.
SUMBER HUKUM
PIDANA ISLAM (JINAYAH)
Sumber hukum pidana Islam materil yakni berisi ketentuan-ketentuan
tentang macam-macam tindak pidana (jarimah) dan sanksinya sama dengan sumber
hukum Islam pada umunya yakni Al-qur’an, As-sunnah, Ijma[1] dan
Qiyas[2].
Menurut Ahmad
Hanafi yang dikutip oleh Rahmat Hakim berpendapat bahwa yang menjadi sumber
hukum yang utama ialah al-qur’an dan as-sunnah sedangkan ijma’ dan qiyas
merupakan cara untuk pengambilan hukum (istinbat hukum) karena ijma’ dan
qiyas tidak membawa aturan dasar yang baru yang bersifat umum dengan kata lain
ijma’ dan qiyas sebenarnya berasal dari al-qur’an dan as-sunnah.[3]
Penggunaan empat sumber hukum tersebut harus
sesuai dengan urutan karena hal tersebut menggambarkan tingkat prioritas
kekuatan sumber hukum tersebut untuk dijadikan sebagai hujjah. Urutan terakhir
dapat dipertimbangkan jika tidak ditemukan dalam urutan sebelumnya. Sebagaimana
firman Allah dalam surat An-nisa; 59 berikut;
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä
(#qãèÏÛr&
©!$#
(#qãèÏÛr&ur
tAqߧ9$#
Í<'ré&ur
ÍöDF{$#
óOä3ZÏB
( bÎ*sù
÷Läêôãt»uZs?
Îû
&äóÓx«
çnrãsù
n<Î)
«!$#
ÉAqߧ9$#ur
bÎ)
÷LäêYä.
tbqãZÏB÷sè?
«!$$Î/
ÏQöquø9$#ur
ÌÅzFy$#
4 y7Ï9ºs
×öyz
ß`|¡ômr&ur
¸xÍrù's?
ÇÎÒÈ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (Q.S. An-nisa;
59)
Imam Syafei menguraikan bahwa yang dimaksud
dengan taatilah Allah dan taatilah rasul dalam ayat tersebut menunjuk pada
Al-qur’an dan As-sunnah sebagai sumber hukum Islam. Kemudian kata ulil amri
adalah orang-orang yang memegang kekuasan yakni menunjuk pada Al-ijma’ sebagai
sumber hukum. Kemudian kata jika kamu berbeda pendapat mengenai sesuatu maka
kembalikanlah kepada allah dan rasul, menunjuk kepada qiyas sebagai sumber
hukum. [4]
Selanjutnya, sumber hukum Islam juga dijelaskan
dalam Hadis yang menceritakan tanya jawab antara Nabi Muhammad SAW dengan Muadz
Bin Jabal ketika dilantik Nabi menjadi gubernur Yaman;
...كيف
تقضى اذا عرض لك قضا ؟ قال اقضى بكتاب الله قال: فان لم تجد فى كتاب الله؟ قال
فبسنة رسول الله قال: فان لم تجد فى سنة رسول الله؟ اجتهد رأ يى ولاالوا. فضرب
رسول الله.ص.م. صدره وقال الحمد لله الذى وفق رسول رسول الله لما ير ضى الله ورسو
له ( رواه احمد وابوداود والترمذى )
Rasulullah SAW ; bagaimana kamu memutuskan suatu
perkara?
Mu’adz ;
Kuhukumi dengan kitab Allah,
Rasulullah SAW
; bagaimana jika kamu tidak mendapatkannya dalam kitab Allah?.
Mu’adz ; dengan sunnah
Rosulullah SAW,
Rasulullah SAW ; jika tidak kau temukan dalam sunnah
Rosulullah SAW?
Mu’adz ;
aku akan menggunakan ijtihad pikiranku dan aku tidak akan meninggalkannya.
Rasulullah lalu menepuk dadanya seraya memuji
sambil berkata; Alhamdulillah, Allah telah memberikan taufik kepada utusan Rasulullah sesuai dengan yang
diridhai Allah dan Rasulnya
(H.R. Ahmad, Abu Dawud dan Turmudzi)
Dari kedua dalil tersebut memberikan penjelasan
kepada kita tentang tata cara penggunaan dalil dalam berhujjah yakni harus
tertib berdasarkan urutan. Urutan pertama harus menggunakan dalil al-qur’an
selama didalamnya terdapat ketentuan hukum baik secara eksplisit maupun
implisit. Jika tidak ditemukan dalam al-quran maka langkah selanjutnya mencari
dalam sunnah rasulullah, jika didalam kedua sumber yang disepakati tersebut
tidak ditemukan maka kita harus mengikuti pendapat para ulil amri (pemegang
segala urusan/ pemerintahan yang berwenang/para pemimpin, ulama, umara’ dan
lain-lain) dan apabila para ulil amri telah sepakat mengenai suatu hukum maka
seluruh rakyat wajib mematuhinya sama
halnya dengan mematuhi perintah Allah dan Rasulullah SAW. Jika tidak ditemukan
dalam ketiga sumber tersebut maka kita berupaya secara sungguh-sungguh dengan menggunakan metode
qiyas yakni menganalogikan perkara yang belum ada ketentuan hukumnya dengan
peristiwa serupa yang telah ada ketentuan hukum yang jelas. Akan tetapi tidak
semua masalah kotemporer dapat diqiyaskan karena penetapan hukum dengan metode
qiyas hanya dapat dilakukan jika syarat-syarat hukum tersebut telah terpenuhi.
Selain keempat sumber hukum tersebut terdapat sumber
hukum islam yang masih diperselisihkan mengikat atau tidaknya yakni istihsan[5],
istishab[6],
maslahatul mursalah, ‘urf (adat/ kebiasaan yang berlaku di masyarakat yang
tidak bertentangan dengan nash), madzhab sahabat (pendapat para sahabat),
syar’u man qoblana (syari’at-syari’at nabi terdahulu sebelum datangnya nabi
Muhammad SAW), sadduzzara’i (menolak kerusakan).[7] Untuk
hukum pidana Islam formil semua sumber hukum tersebut dapat digunakan.
B.
UNSUR-UNSUR
TINDAK PIDANA
Di dalam hukum
islam, suatu perbuatan tidak dapat dihukum, kecuali jika dipenuhi semua
unsurnya, baik unsur umum maupun unsur khusus. Menurut Ahmad Wardi Muslich unsur-unsur tindak
pidana terdiri dari unsur formal, unsur materil dan unsur moral, berikut penjelasan
ketiga unsur tersebut:
1.
UNSUR FORMAL
Unsur formal atau disebut juga dengan Rukun Syara’ ( yang berdasarkan Syara’), yaitu adanya nash Syara’ yang jelas melarang perbuatan itudilakukan dan jika dilakukan akan dikenai hukuman. Nash Syara’ ini menempati posisi yang sangat penting sebagai azas legalitas dalam hukup pidana islam, sehingga dikenal suatu prinsip la hukma li af al al-uqala’ qal wurud an-nass (tidak ada hukum bagi perbuatan orang yang berakal sebelum datangnya nash. Menurut Ahmad Wardi Muslich dalam pembahasan unsur formal terdapat lima masalah pokok yakni; asas legalitas dalam pidana Islam, sumber-sumber aturan pidana Islam, masa berlakunya aturan-aturan pidana Islam, lingkungan berlakunya aturan-aturan pidana Islam dan asas pelaku atau terhadap siapa berlakunya pidana Islam. Berikut uraian dari lima pokok bahasan tersebut;
1)
Asas Legalitas Dalam Hukum
Pidana Islam
Asas legalitas ialah asas
yang berarti bahwa tiada suatu perbuatan dapat dihukum sebelum ada peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya atau suatu perbuatan baru dianggap sebagai
jarimah yang dapat dihukum jika telah ada nash yang melarang perbuatan tersebut
dan mengancamnya dengan hukuman.[8]
Suatu peraturan sebelum
diberlakukan harus disebarluaskan, disosialisasikan sehingga khalayak/ masyarakat
mengetahui adanya peraturan yang mengharuskan untuk berbuat sesuatu atau meninggalkan sesuatu perbuatan. Tanpa adanya sosialisasi akan
rentan pelanggaran karena masyarakat tidak mengetahui aturan tersebut.[9] Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat
Al-Isra; 15 dan Surat Al-Qashash; 59 berikut ini;
... $tBur $¨Zä. tûüÎ/ÉjyèãB 4Ó®Lym y]yèö6tR Zwqßu ÇÊÎÈ
Artinya; ...dan Kami
tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul (Q.S. Al-Isra; 15)
$tBur tb%x. y7/u y7Î=ôgãB 3tà)ø9$# 4Ó®Lym y]yèö7t þÎû $ygÏiBé& Zwqßu (#qè=÷Gt öNÎgøn=tæ $uZÏF»t#uä 4 $tBur $¨Zà2 Å5Î=ôgãB #tà)ø9$# wÎ) $ygè=÷dr&ur cqßJÎ=»sß ÇÎÒÈ
Artinya; dan tidak
adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu
seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula)
Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam Keadaan melakukan
kezaliman (Q.S. Al-Qashas; 59).
Ayat diatas menjelaskan
bahwa Allah tidak mengazab atau menghukum suatu kaum/bangsa sebelum Allah
memberikan pemberitahuan dan penjelasan terlebih dahulu peraturan tersebut melalui
utusan-utusan-Nya. Ayat tersebut diatas menjadi dasar hukum bagi setiap
perbuatan yang dilarang atau yang diperintahkan setelah kehadiran peraturan
tersebut.
Selain itu, terdapat
kaidah-kaidah fikih yang dapat dijadikan sebagai sumber dari asas legalitas,
yakni;
لاحكم لافعال العقلاء قبل ورود النص
Tidak ada hukuman bagi
perbuatan manusia yang berakal sebelum turunnya Nash
Kaidah ini menerangkan
bahwa setiap orang (mukallaf) memiliki kebebasan melakukan sesuatu atau meninggalkan
sesuatu sampai ada nash yang mengisyaratkan perbuatan tersebut dilarang, karena
pada dasarnya hukum suatu perbuatan itu boleh. Sebagaimana bunyi kaidah berikut
ini;
الاصل فى الاشياء الاباحة حتى يد ل الدليل على التحريم
Asal segala sesuatu itu
hukumnya boleh sehingga ada dalil yang menunjukkan keharamannya
Jadi, suatu perbuatan atau
sikap tidak berbuat boleh dianggap sebagai jarimah kecuali karena adanya nash
yang jelas yang melarang perbuatan dan sikap tidak berbuat. Apabila tidak ada
nash yang demikian sifatnya maka tidak ada tuntutan atau hukuman atas
pelakunya.[10]
Allah SWT sebagai pembuat syari’at lebih dulu menerangkan mengenai asas
legalitas ini sebelum para ahli hukum barat memperkenalkan kepada khalayak
ramai melalui dunia perundang-undangan sebagai hasil revolusi Prancis pada abad
18 Masehi. Sebelum revolusi tersebut para hakim dapat bertindak sewenang-wenang
dalam menentukan jarimah dan hukumannya.[11]
2)
Sumber-Sumber
Aturan Pidana Islam
Sumber aturan hukum pidana
Islam sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya yakni al-qur’an, al-hadis, ijma’,
qiyas, istihsan, istishab, maslahah mursalah, ‘urf, madzhab
sahabat, syar’u man qoblana, sadduzzara’i. Selain itu terdapat kaidah-kaidah fikih yang dapat dijadikan hujjah dan/atau
metode dalam menyelesaikan kasus-kasus tindak pidana kotemporer.
Dari beberapa sumber
diatas, akan diuraikan lebih lanjut mengenai penerapan qiyas dalam hukum
pidana Islam. Dalam jarimah-jarimah ta’zir penggunaan qiyas tidak diragukan lagi karena jarimah ta’zir
diserahkan pada ulil amri (penguasa) atau hakim dan ketetapannya dihasilkan
melalui ijtihad atau ra’yu. Namun, penggunaan qiyas dalam jarimah hudud dan
qishash masih diperselisihkan oleh fuqaha.[12]
Golongan Syafi’iyah
berpendapat bahwa penggunaan qiyas dalam jarimah hudud dan qishash
diperbolehkan karena qiyas merupakan salah satu dalil syara’ dan alasan
berikut;
a. Nabi Muhammad SAW membenarkan pemakaian qiyas atau ra’yu oleh sahabat
Mu’adz bin Jabal yang terdapat di akhir hadist Mu’adz berkata اجتحد رأيى yang artinya saya berijtihad dengan
menggunakan pikiran saya. Qiyas merupakan salah satu cara ijtihad dan tidak
ditentukan untuk satu lapangan hukum tertentu.
b. Qiyas sahabat. Ketika para sahabat bermusyawarah menetapkan hukuman had
bagi peminum-minuman keras, Ali bin abi thalib mengqiyaskan hukuman bagi orang
meminum-minuman keras dengan orang yang membuat kebohongan yakni dijilid
(dicambuk) sebanyak 80 kali, namun tidak ada sanggahan dari sahabat yang lain.[13]
Golongan Hanafiyah
berepndapat bahwa qiyas dalam jarimah hudud, qishash, dan kifarat tidak boleh
digunakan karena sebab-sebab berikut ini;
a.
Hukuman hudud dan kifarat
sudah ditentukan batasan-batasannya tetapi tidak diketahui alasan penentuan
batas-batas tersebut, sedangkan qiyas adalah pengetahuan tentang illat (sebab
dan alasan) hukum peristiwa asal.
b.
Hukuman hudud adalah suatu
tindakan penghukuman dan pada kafarat juga terdapat segi-segi hukuman. Qiyas itu
sendiri bisa terjadi kekeliruan dan kemungkinan salah atau terjadi
ketidaktegasan (syubhat). Sedangkan hukuman hudud bisa hapus karena adanya
syubhat.
Qiyas dalam
hukuman mengharuskan adanya qiyas dalam jarimah dan kebolehan menggunakan qiyas
dalam jarimah bukan berati membuat aturan-aturan baru atau mendapatkan jarimah
baru, melainkan untuk memperluas ruang lingkup aturan yang telah ada.
3)
Masa Berlakunya
Aturan-Aturan Pidana Islam
Masa berlakunya suatu
peraturan dalam pidana Islam sama dengan
masa berakunya peraturan dalam hukum positif yakni berlaku sejak
dikeluarkan dan ditetapkan undang-undang
tersebut dan tidak berlaku terhadap peristiwa pidana yang terjadi sebelum
adanya undang-undang tersebut atau dikenal dengan asas tidak berlaku surut. Hal
ini didasarkan pada pasal 1 ayat 1 KUHP yang menyatakan bahwa: “tiada suatu perbuatan dapat
dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang
telah ada sebelumnya.”[14]
Adapun ketentuan peraturan
tidak berlaku surut dalam hukum pidana Islam yakni sebagai berikut;
wur (#qßsÅ3Zs? $tB yxs3tR Nà2ät!$t/#uä ÆÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# wÎ) $tB ôs% y#n=y 4 ¼çm¯RÎ) tb$2 Zpt±Ås»sù $\Fø)tBur uä!$yur ¸xÎ6y ÇËËÈ
22. dan janganlah kamu kawini
wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah
lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
Pada masa jahiliah pemuda
arab memiliki kebiasaan mengawini wanita yang pernah dinikahi ayahnya. Setelah
turun ayat ini maka perbuatan tersebut secara tegas telah dilarang. Akan
tetapi, bagi pemuda yang telah terlanjur menikahi bekas ibu tirinya maka tidak
ada hukuman baginya.[15] dari
segi pidana tampak jelas bahwa tidak berlaku asas berlaku surut tetapi dari
segi perdata perkawinan semacam itu adalah yang dilakukan dimasa lampau harus
diputuskan.
br&ur (#qãèyJôfs? ú÷üt/ Èû÷ütG÷zW{$# wÎ) $tB ôs% y#n=y 3 cÎ) ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJÏm§ ÇËÌÈ
23.dan diharamkan bagimu
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Ayat ini menegaskan
larangan menikahi dua wanita bersaudara (dimadu) secara bersamaan. meskipun
demikian, jika dilihat dari makna lafal ( إلاما قدسلف
) menunjukkan bahwa perkawinan itu dilakukan dimasa lalu sebelum turunnya surat
an-nisa ayat 23, oleh karenanya tidak dikenakan jarimah. Dari segi pidana tidak
dapat berlaku surut tetapi dari segi perdata maka perkawinan semacam ini yang
terjadi dimasa lalu setelah turunnya surat anisa ayat 23 maka perkawinan
tersebut harus dibatalkan dan tidak boleh dilanjutkan.[16]
Pada prinsipnya peraturan
pidana syariat Islam tidak dapat berlaku surut tetapi dalam kondisi tertentu
asas tidak berlaku surut dapat dikecualikan apabila:
a. Jarimah tersebut sangat berbahaya dan mengancam ketertiban umum. Seperti
Qadzab dan hirabah. Hal ini didasarkan pada peristiwa[17] sejarah
yang telah terjadi sebelum turunnya nash yang melarang dan mengancamnya dengan
hukuman.
b. Dalam keadaan yang menguntungkan tersangka.
Jika suatu masa terjadi
perubahan dan pergantian aturan pidana yang lebih menguntungkan bagi pelaku
maka ketentuan pidana yang baru tersebut diterapkan meskipun tindak pidana yang
terjadi pada peraturan lama berisi hukuman yang lebih berat. Adapun yang menjadi
alasan memakai hukuman yang lebih menguntungkan pelaku adalah karena tujuan
dari hukuman untuk memberantas jarimah dan memelihara masyarakat dari perbuatan
buruk. Dengan demikian penjatuhan hukuman itu merupakan kebutuhan sosial yang
dibutuhkan masyarakat. Sayarat pemberlakuan keadaan yang menguntungkan
tersangka ialah jika keputusan hukuman
yang dijatuhkan belum memiliki kekuatan hukum tetap (inkrach). Jika
telah memiliki kekuatan hukum tetap maka peraturan baru tidak dapat
diberlakukan.
Contoh; suatu negara
awalnya menerapkan peraturan bermazhab Hanafi kemudian terhitung tanggal
tertentu diganti/berlaku Mazhab Syafi’i. Menurut mazhab Hanafi seorang yang
mebunuh kafir zimmi harus dihukum qishash. Sedangkan dalam mazhab Syafi’i
pelaku pembunuh kafir zimmi dikenakan hukuman ta’zir berupa hukuman kurungan
yang tidak lebih dari satu tahun. Jika seorang muslim membunuh kafir zimmi pada
saat berlakunya mazhab Hanafi (aturan lama) dan diadili setelah berlakunya
Mazhab Syafi’i (peraturan baru) maka peraturan baru dan sanksi yang lebih
ringan yang digunakan yakni hukuman ta’zir bukan hukuman qishash.[18]
4)
Lingkungan Berlakunya
Aturan-Aturan Pidana Islam
Secara teoritis, ajaran
Islam itu untuk seluruh dunia, dan seluruh umat manusia baik yang muslim maupun
non muslim. Sebagaimana Firman Allah dalam surat Al-anbiya; 107
!$tBur »oYù=yör& wÎ) ZptHôqy úüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
dan Tiadalah Kami mengutus
kamu (Muhammad SAW), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Ayat ini menerangkan bahwa ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW (agama
Islam) adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Namun dalam penerapannya tidak
semua orang percaya kepada syariat Islam dan syariat ini tidak mungkin
dipaksakan. Oleh karenanya, dalam hubungan dengan lingkungan berlakunya
peraturan pidana Islam para fuqaha membagi menjadi dua bagian yakni negara
Islam dan negara bukan Islam. Di negeri Islam seluruh penduduk beragama Islam
dapat menjalankan syariat/ hukum Islam. Penduduk negeri Islam dibagi menjadi 2
bagian
a. Penduduk muslim yaitu penduduk yang memeluk dan percaya kepada Agama Islam
b. Penduduk bukan muslim yaitu mereka yang tinggal dinegeri Islam tetapi masih
tetap dalam agama asal mereka (non muslim). Penduduk non muslim/ kafir dibagi
menjadi 2 yaitu kafir zimmi dan kafir mu’ahad atau musta’man[19].
Dinegeri Islam, baik
penduduk muslim maupunn non muslim dijamin keselamatan jiwa dan hartanya oleh
syari’at Islam, karena jaminan itu bisa diperoleh melalui keamanan dan
keimanan.
Mengenai penerapan hukum
pidana Islam para ulama memiliki beberapa pendapat, yakni:[20]
a. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa aturan pidana hanya berlaku secara penuh
diwilayah-wilayah negeri muslim. Diluar negeri muslim aturan pidana Islam tidak
berlaku kecuali untuk kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan hak
perseorangan (haq al-Adamiy). Teori ini mirip dengan asas teritorialitas.
b. Imam Abu Yusuf berpendapat bahwa aturan pidana Islam diterapkan atas
jarimah-jarimah yang terjadi dinegeri Islam baik dilakukan oleh penduduk muslim,
penduduk kafir zimmi maupun muasta’man. Adapun yang menjadi alasan pemberlakuan
tersebut adalah bagi penduduk muslim pemberlakuan aturan pidana islam karena
keislamannya, untuk kafir zimmi karena telah ada perjanjian untuk tunduk dan
taat pada peraturan negeri Islam dan terhadap musta’man karena janji keamanan
yang memberi hak kepadanya untuk tinggal sementara di negeri Islam, diperoleh
berdasarkan kesanggupannya untuk tunduk kepada hukum Islam selama ia tinggal di
Negeri Islam. Untuk jarimah yang dilakukan diluar negeri Islam tidak dikenakan
hukuman meskipun pelakunya penduduk negeri Islam. Teori ini mirip dengan teori
nasionalitas.
c. Imam Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad berpendapat bahwa aturan pidana itu
tidak terikat dengan wilayah melainkan terikat dengan subjek hukum. Jadi setiap
muslim tidak boleh melakukan hal-hal yang dilarang dan meninggalkan hal-hal
yang diwajibkan oleh syari’at.. teori ini mirip dengan teori
nternasionalitas.
5) Asas Pelaku
Atau Terhadap Siapa Berlakunya Aturan-Aturan Pidana Islam
Penerapan hukum pidana
Islam tidak membeda-bedakan tingkatan manusia, dihadapan hukum semuanya sama.
Tidak membedakan antara si kaya, si miskin, bangsawan dan rakyat jelata.
Didalam Islam yang membedakan tingkatan itu hanya takwa. Sebagaimana firman
Allah dalam surat Al-hujarat ayat 13;
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
Artinya; Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Adapun dalam hadis
rasulullah menjelaskan bahwa; “Dari Aisyah ra bahwa kaum quraisy telah
dihebohkan oleh peristiwa wanita Makhzumiah yang melakukan pencurian. Salah
seorang dari mereka bertanya; siapa yang bisa menghadap kepada rasulullah untuk
membicarakan masalah ini? Mereka berkata tidak ada yang berani kecuali Usamah
kesayangan Rasulullah SAW. Kemudian Usamah menghadap dan berbicara dengan
Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah SAW bersabda; apakah engkau akan mengadakan
pembelian terhadap salah satu ketentuan Allah SWT? Rasulullah SAW kemudian
berdiri dan berpidato dan akhirnya mengakatakan; sesungguhnya hancurnya
orang-orang sebelum kamu adalah karena apabila diantara mereka terdapat
bangsawan yang mencuri, mereka tidak menghukumnya. Akan tetapi apabila yang
mencuri itu orang yang lemah, mereka baru melaksanakan hukuman. Demi Allah
andaikata Fathimah anak Muhammad SAW mencuri, saya pasti memotong tangannya
(HR. Bukhari).
Hadist tersebut menegaskan
bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana maka harus dihukum baik
pejabat, rakyat dan kepala negara sekalipun tidak ada diskriminasi. Apabila
yang melakukan tindak pidana adalah kepala negara atau imam yang tertinggi para
fuqaha berbeda pendapat;[21]
a. Menurut Imam Abu Hanifah, jika tindak pidana yang dilanggar oleh imam
tertinggi tersebut mewajibkan hukuman had dan menyinggung Hak Allah maka ia
tidak dikenakan hukuman. Alasanya adalah karena hukuman had dibebankan kepada
imam untuk melaksanakannya dan akan merasa kesulitan jika imam untuk
melaksanakan hukuman terhadap dirinya sendiri. Jika imam malakukan jarimah yang
menyinggung hak individu maka dapat dituntut dan dihukum karena hak pelaksanaan
hukuman adalah hak sikorban.
b. Menurut Imam Syafi’i, Imam ahmad dan Imam Malik berpendapat bahwa apabila
imam tertinggi melakukan tindak pidana baik yang menyinggung hak individu
maupun hak Allah (hak masyarakat)
maka tetap dituntut dan harus dikenakan hukuman
karena semuan nash dan ketentuan pidana bersifat umum dan semua jarimah
diharamkan atas semua orang termasuk imam.
2.
UNSUR MATERIL
Unsur materil atau disebut juga dengan Rukun maddi adalah ucapan atau perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian terhadap masyarakat atau individu. Sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Abu Zahrah bahwa unsur materil adalah melakukan perbuatan atau perkataan yang dilarang dan telah ditetapkan hukumannya dan dilaksanakan oleh pengadilan. Contoh; jarimah pembunuhan unsur materilnya ialah perbuatan yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, jarimah qadzab unsur materilnya berisi ucapan bohong yang berisi tuduhan. Perbuatan-perbuatan tersebut adakalanya dilakukan hingga selesai dan ada kalanya tidak selesai karena sebab-sebab tertentu. Dalam hukum positif jarimah tidak selesai ini disebut dengan istilah tindak pidana percobaan. Kemudian suatu tindak pidana adakalanya dilakukan oleh beberapa orang/bersama-sama dan adakalanya dilakukan secara sendiri. Jadi, pembahasan dalam unsur tindak pidana materil meliputi jarimah belum selesai atau percobaan, jarimah selesai, dan turut serta melakukan jarimah.[22]
3.
UNSUR MORAL
Unsur moral atau Rukun adabi yaitu pelaku perbuatan itu dapat diminta
pertanggung jawaban hukum. Tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang
tidak bisa dimintai pertanggung jawaban hukum, seperti anak kecil, orang gila,
atau orang yang terpaksa tidak dapat dihukum. jadi, unsur moral membahas
mengenai pertanggungjawaban pidana dan hapusnya pertanggungjawaban pidana. [23]
Demikianlah pembahasan menegnai
unsur-unsur umum tindak pidana. Adapun unsur khusus adalah unsur-unsur yang
harus ada dan melekat pada setiap bentuk tindak pidana yang dilakukan.
Unsur-unsur tersebut berbeda-beda sesuai dengan tindak pidananya. Unsur yang
terkandung di dalam pencurian tidak sama dengan unsur yang terkandung di dalam
perzinahan
[1] Ijma’ berasal
dari kata jamaa yang artinya himpunan atau kumpulan. Menurut istilah
fikih ijma’ ialah persetujuan pendapat dari para mujtahid atau kesepakatan dari
para mujtahid atas suatu hukum syara’ (A. Syafi’i Karim, FIQIH-ushul fiqih (
Bandung: Pustaka Setia, 2001) hlm. 65
[2] Qiyas (analogi)
menurut bahasa ukuran atau perbandingan. Para fuqaha mendefenisikan qiyas
adalah menghubungkan suatu peristiwa yang ada nash hukumnya dengan masalah kotemporer yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash (al-qur’an, sunnah dan
ijma’) karena ada kesamaan ‘illat
hukumnya ((A. Syafi’i Karim, FIQIH-ushul fiqih ( Bandung: Pustaka Setia,
2001) hlm. 70.
[3] Rahmat Hakim, Hukum
Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Bandung; Pustaka Setia), hlm 41
[4] Renny
Supriyatni, Pengantar Hukum Islam (Dasar-dasar dan Aktualisasinya Dalam
Hukum Positif) (Bandung; Widya Padjadjaran, 2011) hlm 29
[5] Istihsan
secara bahasa artinya mencari kebaikan
atau menganggap sesuatu lebih baik. Menurut istilah istihsan adalah
berpaling pada suatu masalah dari sesuatu hukum yang sama menuju hukum yang
lain karena ada alasan hukum yang lebih kuat. Kedudukannya sebagai sumber
hukum; Golongan Hanafiyah sangat mengagungkan atau menjadikan Istihsan sebagai
hujjah. Golongan Hambali dan Maliki juga menggunakan istihsan sebagai hujjah
tetapi masih membatasi penggunaannya karena bukanlah sumber yang berdiri
sendiri. Golongan Syafi’i menentang Istihsan karena akan membuka pintu untuk
menetapkan hukum sesuai kehendaknya. (A. Syafi’i Karim, FIQIH-ushul fiqih (
Bandung: Pustaka Setia, 2001) hlm. 79-81
[6] Istishab menurut
bahasa berarti membawa atau menemani. Secara
istilah istishab ialah berlangsungnya hukum yang telah ada semenjak masa yang
lalu berdasarkan apa yang telah ada/ menetapkan sesuatu keadaan sebelumnya
sehingga yang baru merubahnya. Contoh; seseorang yang ragu apakah dia duduk berwudu atau belum, maka dia harus berwudhu
sebelum mengerjakan shalat. Karena salah
satu syarat sah shalat ialah berwudu (A. Syafi’i Karim, FIQIH-ushul fiqih (
Bandung: Pustaka Setia, 2001) hlm. 81-82
[7] Rahmat Hakim, Hukum
Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Bandung; Pustaka Setia), hlm 43-44
[8] Ahmad Wardi
Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Jakarta;
Sinar Grafika, 2006) hlm. 29
[9] Rahmat Hakim, Hukum
Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Bandung; Pustaka Setia), hlm 46
[10] Ahmad Wardi
Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Jakarta;
Sinar Grafika, 2006) hlm. 30
[11] Rahmat Hakim, Hukum
Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Bandung; Pustaka Setia), hlm 48
[12] Ahmad Wardi
Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Jakarta;
Sinar Grafika, 2006) hlm 46
[13] Pendapat Ali
Bin Abi Thalib; Seseorang apabila ia
minum maka ia mabuk, jika ia mabuk maka ia akan mengigau dan jika ia mengigau
maka ia membuata kebohongan (yaknia menuduh
orang lain berbuat zina sedangkan sebenarnya tuduhan itu tidak benar).
Oleh karena itu jatuhilah ia dengan hukuman orang yang membuat kebohongan
(hukuman qadzaf) (Ahmad Wardi Muslich, Pengantar
dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Jakarta; Sinar Grafika, 2006)
hlm 47)
[14] Andi Hamzah, KUHP
dan KUHAP, (Jakarta; Rineka Cipta, 2011
[15] Abdullah
Al-Faruk , Hukum Pidana Islam Dalam Sistem Hukum Islam, (Bogor; Ghalia
Indonesia, 200) hlm 10
[16] Ahmad Wardi
Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Jakarta;
Sinar Grafika, 2006) hlm. 49
[17] Peristiwa
tersebut ialah jarimah Qadzab (menuduh zina),
yang terjadi pada Aisyah RA istri rasulullah yang dituduh telah berzina
dengan shafwan. Tuduhan itu ternyata hanya fitnah yang kemudian turunlah surat
An-nur ayat 4; dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik
(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah
mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.
Setelah turun ayat ini maka rasulullah menerapkan hukuman had terhadap pelaku
meskipun tuduhan tersebut terjadi sebelum turunnya nash. Hal ini disebabkan karena
menggangu ketertiban umum dan menimbulkan kehebohan dikalangan kaum muslimin
bahkan hampir terjadi perang antara suku aus dan suku khazraj. Adapun hukuman
had tersebut sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT dalam surat
An-nur ayat 4 yakni didera (dicambuk) 80 kali. Ahmad Wardi Muslich, Pengantar
dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Jakarta; Sinar Grafika, 2006)
hlm 50-51
[18] Ahmad Wardi
Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Jakarta;
Sinar Grafika, 2006) hlm 52
[19] Kafir zimmi
iala mereka yang tidak memeluk agama Islam dan tinggal di negara Islam, tetapi
mereka tunduk kepada hukum dan peraturan Islam
berdasarkan perjanjian yang berlaku. Sedangkan kafir mu’ahad atau musta’man yaitu mereka yang bukan
penduduk negara Islam tetapi tinggal dinegara Islam untuk sementara karena
suatu keperluan dan mereka tetap dengan agama asal mereka. mereka tunduk
kepada hukum dan peraturan Islam
berdasarkan perjanjian yang berlaku sementara.
[20] A.
Dzajuli. Fiqh
Jinayah (upaya menanggulangi kejahatan dalam islam) ( Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2000) hlm. 10.
Lihat juga di Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam
(Fikih Jinayah), (Jakarta; Sinar Grafika, 2006) hlm 54-55
[21] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam
(Fikih Jinayah), (Jakarta; Sinar Grafika, 2006) hlm 56-58
[22] Ahmad Wardi
Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Jakarta;
Sinar Grafika, 2006) hlm 59
[23] Imaning Yusuf.
Fiqh Jinayah 1 (Palembang: Rafah Press, 2009) hlm 2
No comments:
Post a Comment