JARIMAH (TINDAK PIDANA)
Dalam fiqh jinayah tindak
pidana dikenal dengan istilah jarimah. Jarimah berasal dari kata ( جرم) yang sinonimnya (كسب وقطع) artinya: berusaha dan bekerja. Hanya saja pengertian usaha
disini khusus untuk usaha yang tidak baik atau usaha yang dibenci oleh manusia.
Dari pengertian tersebut dapat ditarik suatu defenisi yang jelas, bahwa jarimah
itu ialah melakukan perbuatan-perbuatan atau yang dipandang tidak baik, dibenci
oleh manusia karena bertentangan dengan keadilan, kebenaran, dan jalan yang
lurus (agama).
Menurut istilah jarimah ialah (محظورات شرعية زجرالله عنها بحداو تعزير) Artinya: larangan-larangan
Syara’ (yang apabila dikerjakan) diancam allah dengan hukuman had atau ta’zir.
Dalam hal ini seperti halnya kata jinayah sama dengan kata jarimah
pun mencakup perbuatan ataupun tidak berbuat, mengerjakan atau meninggalkan,
aktif ataupun pasif. Oleh karena itu, perbuatan jarimah bukan saja
mengerjakan perbuatan yang jelas-jelas dilarang oleh peraturan (Syara’) tetapi
juga dianggap sebagai jarimah kalau seseorang meninggalkan perbuatan
yang menurut peraturan harus dia kerjakan.
Defenisi jarimah tersebut sejalan dengan defenisi Tindak pidana dalam hukum positif. menurut Simons defenisi Tindak pidana dalam hukum pidana barat adalah suatu perbuatan manusia yang diancam dengan pidana, melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. Perbuatan tersebut bisa bermakna positif maupun negatif artinya ia bisa berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu atau membiarkannya
Secara garis besar kita bisa
meninjau jarimah dari beberapa segi, antara lain:
- Jarimah Ditinjau
Dari Segi Berat Ringannya Hukuman
Para ulama membagi masalah jinayah dari
segi berat ringannya hukuman menjadi tiga bagian, antara lain:
a. Jarimah Hudud
Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan had. Pengertian
hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara’ dan menjadi
hak Allah (hak masyarakat). Artinya jarimah had itu telah ditentukan bentuk (jumlahnya) dan
juga hukumannya secara jelas, baik
melalui melalui Al-quran maupun As-Sunnah. Jarimah-jarimah yang
menyangkut hak tuhan pada prinsipnya adalah jarimah yang
menyangkut masyarakat banyak, yaitu untuk memelihara kepentingan, ketentraman
dan keamanan masyarakat. Oleh karena itu,
hak tuhan identik dengan hak mayarakat, maka hukuman ini tidak dikenal
pemaafan atas pembuat jarimah baik oleh perseorangan yang menjadi korban
jarimah maupun oleh Negara.
Dalam hubungannya dengan hukuman had pengertian hak Allah
ialah bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan oleh perseorangan (orang
yang menjadi korban atau keluarganya) atau oleh masyarakat yang diwakili oleh
Negara. Adapun macam-macam jarimah hudud antara lain: perzinahan, qadzaf,
khamr (minim-minuman keras), sariqah (pencurian), hirabah
(pembegalan), al-baghyu (pemberontakan), riddah (murtad).
b. Jarimah Qishas dan Diyat
Secara etimologis qishash berasal dari kata (- يقص- قصصا قص) yang berarti mengikuti menelusuri jejak atau langkah. Adapun arti qishash secara terminologi yang dikemukakan oleh Al-Jurjani yaitu mengenakan sebuah tindakan kepada pelaku persis seperti tindakan yang dilakukan (sanksi hukum) kepada pelaku persis seperti tindakan yang dilakukan oleh pelaku tersebut (terhadap korban).
Jarimah qishas dan diyat adalah jarimah yang telah ditentukan oleh Syara’ dan tidak ada batas minimal atau maksimal. Perbedaannya dengan hukuman had adalah bahwa had merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan qishas dan diyat adalah hak manusia (individu). Adapun yang dimaksud dengan hak manusia menurut Mahmud Syaltut ialah suatu hak yang manfaatnya kembali kepada orang tertentu.
Dalam hubungannya dengan hukuman qishash dan diyat maka pengertian hak manusia yang dimaksud adalah bahwa hukuman tersebut bisa dihapuskan atau dimaafkan oleh korban dalam hal korban masih hidup dan kepada wali atau ahli warisnya kalau korban meninggal dunia. Oleh karena itu, seorang kepala negara dalam kedudukannya sebagai penguasa pun tidak berkuasa memberikan pengampunan bagi pembuat jarimah lain halnya kalau si korban tidak mempunyai wali atau ahli waris, maka kepala negara bertindak sebagai wali bagi seseorang tersebut.
Jarimah qishash dan diyat ini hanya ada dua macam, yaitu pembunuhan dan
penganiayaan. Namun apabila diperluas maka ada lima macam, yaitu:
1.
Pembunuhan sengaja ( القتل
العمد )
2.
Pembunuhan menyerupai sengaja (شبه العمد القتل )
3.
Pembunuhan karena kesalahan (
الخطأ القتل
)
4.
Penganiayaan sengaja ( العمدالجرح )
5.
Penganiayaan tidak sengaja (
الخطأ الجرح
)
c. Jarimah Ta’zir
1.
Pengertian ta’zir
Menurut arti bahasa
lafaz Ta’zir berasal dari kata عزر
yang sinonimnya yaitu:
1.
ورد منع yang artinya mencegah dan
menolak
2.
ادب yang artinya mendidik
3.
ووقرعظم yang artinya mengagungkan dan
menghormati
4.
آعان وقوى ونصر yang artinya
membantunya, menguatkan dan menolong
Dari keempat pengertian
tersebut yang paling relevan adalah pengertian yang pertama: المنع والرد ( mencegah dan menolak ) artinya mencegah
dan menolak agar tidak mengulangi perbuatannya. dan pengertian ke-dua: ديبالتأ
(mendidik) artinya untuk mendidik dan memperbaiki pelaku agar ia menyadari
perbuatan jarimah nya kemudian meninggalkan dan menghentikannya.
Sedangkan menurut
istilah ta’zir didefenisikan oleh Al-Mawardi:
والتعزير تأ د يب على ذنوب لم تشرع فيهاالحد ود
Ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas
perbuatan dosa yang hukumannya
Menurut Wahbah Az-Zuhaili
memberikan defenisi ta’zir yakni:
وهو شرعا : العقو بة
المشروعة على معضية او جناية لاحد فيها ولاكفا رة
Ta’zir menurut hukum syara’ adalah
hukuman yang ditetapkan atas perbuatan ma’siat atau jinayah yang tidak
dikenakan hukuman had dan tidak pula kafarat.
Dari kedua defenisi diatas dapat penulis simpulkan bahwa ta’zir
adalah bentuk hukuman yang tidak
disebutkan ketentuan kadar hukumannya oleh Syara’ dan menjadi kekuasaan waliyyul
amri atau hakim. Sebagian ulama mengartikan ta’zir sebagai hukuman
yang berkaitan dengan pelanggaran hak Allah dan hak hamba yang tidak ditentukan
Al-qur’an dan hadits. Ta’zir berfungsi memberikan pengajaran kepada si
terhukum dan sekaligus mencegahnya untuk tidak mengulangi perbuatan serupa.
2.
Dasar di syariatkan ta’zir
a.
Hadits nabi yang diriwayatkan oleh Abi Burdah
عن ابى برد ة الأنصار ىرضى الله عنه
أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : لايجلد فوق عشرة ا سوا ط ألافى حد من
حد ود الله تعالى ( متفق عليه )
Dari
Abi Budah Al-Anshari ra. Bahwa ia mendengar rasulullah SAW bersabda: tidak
boleh dijilid diatas sepuluh cambuk kecuali didalam hukuman yang telah
ditentukan oleh Allah SWT ( Muttafaq ‘alaih).
Maksud dari hadits diatas menjelaskan tentang batas hukuman ta’zir
yang tidak boleh lebih dari sepuluh kali cambukan, untuk membedakan dengan jarimah
hudud. Menurut Al-Kahlani, para ulama sepakat bahwa yang termasuk jarimah
hudud adalah zina, pencurian, minum khamr, hirabah, qadzaf
dan murtad. Selain dari jarimah tersebut termasuk kepada jarimah
ta’zir, meskipun ada juga beberapa jarimah yang diperselisihkan oleh
ulama, seperti: liwath, lesbian, dan lain-lain.
b.
Hadits nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah
وعن عءشة رضى الله عنها أن النبي صلى الله عليه
وسلم قال : أقيلوا ذوى الهيأت عشراتهم ألا الحدود ( رواه أحمد وأبو داود والنسا
ءى)
Dari
Aisah ra bahwa nabi SAW bersabda: ringankanlah hukuman bagi orang-orang yang tidak
pernah melakukan kejahatan atas perbuatan mereka, kecuali dalam jarimah-jarimah
hudud. (Diriwayatkan
oleh Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i dan Baihaqi)
Maksud dari hadits ini mengatur tentang teknis pelaksanaan hukuman ta’zir
yang bisa berbeda antara satu pelaku dengan pelaku yang lainnya, tergantung
kepada status mereka dan kondisi-kondisi lain yang menyertainya.
3. Syarat supaya hukuman ta’zir bisa dijatuhkan adalah hanya syarat berakal saja. Maka oleh karena itu, hukuman ta’zir bisa dijatuhkan kepada setiap orang yang berakal yang melakukan suatu kejahatan yang tidak memiliki ancaman hukuman had, baik laki-laki maupun perempuan, muslim maupun kafir, baligh atau anak kecil yang sudah berakal. Anak kecil yang sudah mumayyiz bisa dijatuhi hukuman ta’zir namun bukan sebagai bentuk hukuman, akan tetapi sebagai bentuk mendidik dan memberi pelajaran.
4.
Ciri-ciri tindak pidana ta’zir.
a.
Landasan dan ketentuan hukumnya didasarkan pada
ijmak
b.
Mencakup semua bentuk kejahatan/kemaksiatan
selain hudud dan qishash.
c. Pada umumnya ta’zir terjadi pada
kasus-kasus yang belum ditetapkan ukuran sanksinya oleh syara’ meskipun jenis
sanksinya telah tersedia
d.
Hukuman ditetapkan oleh penguasa qadhi (
hakim)
e.
Didasari pada ketentuan umum syari’at Islam dan
kepentingan masyarakat secara keseluruhan
5.
Kadar hukuman ta’zir
Hukuman ta’zir
disesuaikan dengan ukuran kejahatan yang dilakukan dan kadar tingkatan
pelakunya sesuai dengan hasil ijtihad hakim. Adapun tentang masalah batas
maksimal hukuman ta’zir para ulama berbeda pendapat.
a. Menurut Abu Hanifah, ulama Syafi’iyah dan ulama
Hanabilah mengatakan hukuman ta’zir tidak boleh melebihi hukuman had terendah,
akan tetapi paling tidak harus dikurangi satu dera. Menurut ulama’ Syafi’iyah,
hukuman had terendah bagi orang yang berstatus merdeka adalah empat
puluh kali dera bagi yang mengkonsumsi minuman keras. Sedagkan menurut ulama
lain, hukuman dera sebanyak empat puluh kali adalah untuk orang yang berstatus
budak.
b. Menurut ulama’ Malikiah mengatakan, imam boleh
menghukum ta’zir dengan jumlah deraan berapapun juga sesuai dengan
kebijakan dan hasil ijtihadnya, meskipun melebihi hukuman had tertinggi
sekalipun. Hukuman ta’zir boleh sama dengan hukuman had, lebih
sedikit atau banyak sesuai dengan kebijakan dan hasil ijtihad imam
6.
Ruang lingkup dan pembagian jarimah ta’zir
Ruang lingkup ta’zir ialah
sebagai berikut:
a. Jarimah hudud atau qishas-diyat yang
terdapat syubhat, dialihkan ke sanksi ta’zir. Contoh: orang yang mencuri harta anaknya dn orang tua
yang membunuh anaknya
b. Jarimah hudud atau qishas-diyat yang tidak
memenuhi syarat. Contoh: percobaan pencurian, percobaan zina, dan lain-lain
c. Jarimah yang ditentukan Al-Quran dan Hadits, namun
tidak ditentukan sanksinya. Misalnya: penghinaan, saksi palsu, dan lain-lain
d. Jarimah yang ditentukan oleh ulil amri untuk
kemaslahatan umat, seperti penipuan, pencopetan, pornografi, dan lain
sebagainya
Hukuman ta’zir dilihat dari segi
hak yang dilnggar dibagi menjadi dua yakni:
a. Jarimah ta’zir yang menyinggung hak Allah, yaitu
semua perbuatan yang berkaitan dengan kemaslahatan umum. Misalnya: berbuat
kerusakandimuka bumi, pencurian yang tidak memenuhi syarat, dll.
b. Jarimah ta’zir yang menyinggung hak individu, yaitu
setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian pada orang tertentu bukan orang
banyak. Contohnya: penghinaan, penipuan dan pemukulan.
7.
Tujuan penjatuhan Ta’zir
Secara umum tujuan diberlakukannya hukuman
ta’zir ialah sebagai berikut:
a.
Sebagai tindakan preventif ( pencegahan).
Ditujukan bagi orang lain yang belum melakukan jarimah agar tidak
melakukan jarimah
b.
Represif ( membuat pelaku jera). Tindakan dini
dimaksudkan agar pelaku tidak mengulangi perbuatan jarimah dikemudian
hari
c.
Kuratif (islah). Ta’zir harus mampu
membawa perbaikan perilaku terpidana dikemudian hari
d.
Edukatif (pendidikan). Hukuman ta’zir diharapkan
dapat mengubah pola hidup pelaku kejahatan kearah yang lebih baik.
Dilihat dari segi penjatuhan hukuman,
terbagi kedalam beberapa tujuan berikut ini:
a. Hukuman ta’zir sebagai hukuman tambahan
atau pelengkap hukuman pokok. Seperti hukuman pengasingan selama satu tahun
dari kasus zina ghairu mukhsan.
b. Hukuman ta’zir sebagai hukuman pengganti
hukuman pokok. Hukuman pokok pada setiap jarimah hanya dijatuhkan
apabila semua terbukti secara meyakinkan dan tanpa adanya keraguan sedikitpun
mengarah pada perbuatan tersebut. Oleh karena itu, apabila bukti-bukti kurang
meyakinkan atau adanya keraguan menurut peniaian hakim, hukuman pokok terebut
tidak boleh dibuktikan
c. Hukuman ta’zir sebagai hukuman
pokok bagi jarimah ta’zir Syara’.
Pentingnya pembagian jarimah hudud, qishash dan ta’zir adalah
sebagai berikut;
a.
Dari segi Pengampunan
Pengampunan dapat diberikan oleh keluarga
korban kepada pelaku jarimah qishash dan diat. Pengampunan tersebut berpengaruh
pada hukuman yang awalnya pelaku dikenakan hukuman pokok berupa qishash menjadi
gugur dan diganti dengan diat. Jika diat dimaafkan juga maka dari segi hukuman
yang menjadi hak manusia akan terhapuskan. Namun, didalam jarimah qishash dan
diat terdapat hak Allah (hak masyarakat) maka hakim masih diperbolehkan menjatuhkan
hukuman ta’zir sebagai imbangan dari hak Allah. Dalam jarimah hudud tidak ada
pengampunan sama sekali baik dari korban maupun dari penguasa tertinggi (kepala
negara).
b.
Dari Segi kompetensi hakim
Kompetensi hakim dalam jarimah qishash dan diat
sama dengan jarimah hudud, jika benar-benar terbukti maka hakim hanya
memutuskan dan melaksanakan hukuman sesuai dengan ketentuan dalam syari’at
tanpa mengurangi, menambah, atau menggantinya dengan hukuman lain. Dalam
jarimah ta’zir hakim mempunyai kebebasan berijtihad dalam memilih jenis hukuman
yang sesuai (memberatkan hukuman atau meringankan hukuman atau membebaskannya).
c.
Dari segi yang meringankan
Dalam jarimah ta’zir keadaan korban atau
suasana ketika jarimah dilakukan dapat mempengaruhi berat ringannya hukuman
yang akan dijatuhkan pada pelaku. Sedangkan dalam jarimah hudud dan qishash hukuman
tidak terpengaruh oleh keadaan-keadaan tertentu yang berkaitan dengan
pelaksanaan jarimah, kecuali pelaku tidak memenuhi syarat taklif seperti gila
atau dibawah umur.
d.
Dari segi alat-alat pembuktian
Apabila alat bukti yang digunakan berupa saksi maka syara’ telah menetapkan bilangan saksi untuk jarimah qishash dan hudud. Misalnya pembuktian dalam jarimah zina diperlukan empat orang saksi. Sedangkan dalam hukuman hudud yang lain dan jarimah qishash dan diat diperlukan minimal dua orang saksi. Akan tetapi, dalam jarimah ta’zir terkadang hanya diperlukan satu orang saksi.
2. Jarimah
Dari
Segi Niat
Ditinjau
dari segi niatnya, jarimah itu dapat dibagi kepada dua bagianyaitu:
a. Jarimah sengaja
Menurut Muhammad Abu Zahrah, yang
dimaksud dengan jarimah sengaja adalah suatu jarimah yang
dilakukan oleh seseorang dengan kesengajaan dan atas kehendaknya serta ia
mengetahui bahwa perbuatan tersebut bahwa perbuatan tersebut dilarang dan
diancam dengan hukuman.
b. Jarimah tidak sengaja
Abdul Qadir Audah mengemukakan pengertian jarimah
tidak sengaja adalah jarimah dimana pelaku tidak sengaja (berniat) untuk
melakukan perbuatan yang dilarang dan perbuatan tersebut terjadi sebagai akibat
kelalaiannya (kesalahannya).
Bentuk jarimah ini dapat terjadi karena pertama,
yaitu karena kekeliruan. Perbuatan karena kekeliruan ini sengaja dilakukannya
namun hasil yang di dapat tidak dikehendaki oleh pelakunya. Seperti seorang
melempar batu untuk mengusir binatang, tiba-tiba batu tersebut mengenai orang
lain. Celakanya orang lain tersebut adalah karena kekeliruan bukan kesengajaan,
dia hanya sengaja melempar batu untuk mengusir binatang tetapi keliru hasilnya.
Kedua, karena kelalaian yaitu suatu perbuatan yang sama sekali tidak
sengaja, baik perbuatan itu sendiri maupun hasil perbuatannya. Contohnya:
seorang membakar sampah dengan maksud membersihkan sekeliling rumahnya. Tanpa
sepengetahuannya, api membesar dan membakar sesuatu milik orang lain.
3. Ditinjau dari segi waktu
tertangkapnya
Ditinjau dari segi waktu tertangkapnya, jarimah
dapat dibagi menjadi dua bagian,
yaitu
a. Jarimah tertangkap basah adalah jarimah dimana
pelakunya tertangkap pada waktu melakukan perbuatan tersebut atau sesudahnya
tetapi dalam masa yang dekat.
b. jarimah yang
tidak tertangkap basah, yaitu jarimah dimana pelaku tidak
tertangkap pada waktu melakukan perbuatan tersebut melainkan sesudahnya dengan
lewat waktu yang tidak sedikit.
4. Jarimah
Ditinjau Dari Segi Cara Melakukannya
Ditinjau dari segi cara melakukannya, jarimah
dibagi kepada dua bagian, yaitu:
a. Jarimah positif, yaitu jarimah yang terjadi
karena melakukan perbuatan yang dilarang, seperti pencurian, zina, dan
pemukulan.
b. Jarimah negatif, yaitu jarimah yang terjadi
karena meninggalkan perbuatan yang diperintahkan.
5. Jarimah
Ditinjau Dari Segi Objeknya
Ditinjau dari segi objek atau sasaran yang
terkena jarimah maka jarimah itu dapat dibagi dua bagian,
yaitu:
a. Jarimah perseorangan adalah jarimah dimana
hukuman terhadap pelakunya dijatuhkan untuk melindungi hak perseorangan
(individu) walaupun sebenarnya apa yang menyinggung individu, juga berarti
menyinggung masyarakat.
b. Jarimah masyarakat, yaitu suatu jarimah dimana hukuman
terhadap pelakunya dijatuhkan untuk melindungi kepentingan masyarakat, walaupun
sebenarnya kadang-kadang apa yang menyinggung masyarakat juga menyinggung
perseorangan tetapi dari segi masyarakat yang terkena oleh jarimah itu lebih
menonjol.
6. Jarimah
Ditinjau Dari Segi Tabiatnya
Jarimah dari segi tabiatnya dibagi menjadi dua bagian,
yaitu:
a. Jarimah biasa, yaitu jarimah yang dilakukan oleh
seseorang tanpa mengaitkannya dengan tujuan-tujuan politik
b. Jarimah politik, menurut Muhammad Abu Zahrah yaitu jarimah
yang merupakan pelanggaran yang terhadap peraturan pemerintah atau
pejabat-pejabat pemerintah atau terhadap garis-garis politik yang telah
ditentukan oleh pemerintah.
REFERENSI
Muhammad Abu Zahrah. Al-jarimah wa Al-uqubah fi Al fiqh Al Islamy, ( Kairo: Maktabah Al Angelo Al Mishriyah, Kairo)
Rahmat Hakim. Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah) (Bandung: Pustaka Setia, 2010)
M. Nurul Irfan dan Masyrofah. Fiqh Jinayah. ( Jakarta: Amzah, 2013)
Mahmud Syaltut. Al-Islam Aqidah wa Syariah. Dar Al Qalam, cetakan III, 1966,
Abdul Qadir Audah. At-Tasyri’ Al-jina’iy Al-Islamy ( Beirut: Dar Al-kitab Al-Araby, TT)
Ahmad Wardi Muslich. Hukum Pidna Islam. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005)
Wahbah Zuhaili. Fiqh Islam Wa Adillatuhu. (Jakarta: Gema Insani Darul Fikri, 2011)
No comments:
Post a Comment