Penggabungan tindak pidana terjadi ketika seseorang melakukan beberapa tindak pidana, baik pidana yang dilakukan adalah pidana yang sama maupun berbeda jenisnya, tapi antara tindak pidana yang pertama dengan tindak pidana selanjutnya belum ada keputusan hakim. Mengenai hukuman terhadap gabungan tindak pidana dalam hukum pidana Islam sudah dikenal oleh para fuqaha, yakni
1. Teori
saling melengkapi (at-Tadakhul)
Dalam teori ini, jika terjadi gabungan tindak pidana maka hukuman-hukumannya
saling melengkapi sehingga pelaku hanya dijatuhi satu kali hukuman saja,
seperti melakukan satu kali tindak pidana. teori ini didasarkan atas dua
pertimbangan, yakni;
a. Meskipun
tindak pidana yang dilakukan ganda/ banyak tetapi semua jenisnya sama. Maka
dikenakan satu jenis hukuman saja. Misalnya; seseorang meminum khamr berulang
kali kemudian dihadirkan pada hakim maka hakim cukup menjatuhi hukuman jilid
sebanyak 40 kali bukan dikalikan dengan jumlah ia meminum khamr
b. Meskipun
perbuatan-perbuatan yang dilakukan berganda dan berbeda-beda jenisnya, namun
hukumannya bisa saling melengkapi dan cukup satu hukuman yang dijatuhkan guna
melindungi kepentingan yang sama. Misalnya; seseorang memakan daging babi,
darah, dan bangkai maka cukup dijatuhi satu hukuman yaitu hukuman yang
bertujuan sama-sama melindungi kesehatan, melindungi masyarakat dan kepentingan
perseorangan.
Menurut fuqaha Malikiyah, teori at-tadakhul dapat diterapkan jika
tujuan penjatuhan hukuman suatu tindak pidana itu sama. Seperti; hukuman
jarimah qadzaf, dan meminum-minuman keras (khamr). Akan tetapi jika
hukuman-hukuman jarimah berganda atau tindak pidana gabungan tersebut
berbeda-beda maka teori yang digunakan ialah teori gabungan tindak pidana biasa
sesuai dengan ketentuan hukuman jarimah/tindak pidana yang dilakukan maka semua
hukuman tindak pidana yang dilanggar dapat diterapkan.
2. Teori penyerapan (Al-Jabb)
Teori penyerapan ini belum disepakati oleh fuqaha, berikut
penjelasan singkat mngenai pendapat tersebut;
a. Menurut
imam malik apabila hukuman had berkumpul dengan hukuman mati maka hukuman had
menjadi gugur karena telah diserap dengan hukuman mati, kecuali hukuman had
qadzaf. Artinya ketika ada beberapa tindak pidana yang dilakukan, dimana salah
satunya diancam dengan hukuman mati maka hukuman selain hukuman mati tidak
perlu dilakukan. Karena hukuman mati telah menyerap atau menggantikan hukuman
lainnya.
b. Menurut
imam ahmad jika terjadi dua jarimah hudud yang salah satunya diancam dengan
hukuman mati, maka hukuman mati saja yang diterapkan. Akan tetapi, jika hukuman
hudud (merupakan hak allah) berkumpul dengan hukuman yang menjadi hak manusia,
dimana salah satunya diancam hukuman mati maka hak-hak manusia (hak adami)
harus dilaksanakan terlebih dahulu, baru hukuman mati dan hukuman had lainnya
yang tidak menyinggung hak manusia menjadi gugur karena telah diserap hukuman
mati.
c. Menurut
Imam Abu Hanifah, jika terdapat gabungan hak dalam hukuman yakni hak allah dan
hak manusia, maka hak manusia didahulukan dan hukuman yang menjadi hak allah
gugur. Jika masih bisa dilaksanakan dan hukuman yang merupakan hak allah lebih
dari satu maka cukup terapkan satu hukuman saja yang dapat menggugurkan
hukuman-hukuman lainnya.
d. Menurut Imam Syafi’i semua hukuman harus dijatuhkan selama tidak saling melengkapi. Caranya dengan mendahulukan hukuman karena hak-hak manusia (selain hukuman mati) kemudian melaksanakan hukuman karena hak allah (selain hukuman mati) dan terakhir hukuman mati. Apabila orang yang dihukum meninggal dunia ketika menjalani hukuman-hukuman lain sebelum hukuman mati diterapkan maka gugurlah seluruh hukuman tersebut.
GABUNGAN TINDAK PIDANA (CONCURSUS) DALAM HUKUM POSITIF
Pengertian gabungan tindak pidana menurut KUHP yaitu
- Concursus Idealis, suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana (Pasal 63)
- Concursus realis dan perbuatan berlanjut, Seseorang melakukan beberapa perbuatan pidana baik berupa pelanggaran atau kejahatan antara perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut. Kemudian antara satu perbuatan pidana ke perbuatan pidana selanjutnya belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (putusan inkrach).
Sanksi Pidana
Sebagaimana yang telah tercantum dalam KUHP Indonesia yakni;
1.
Concursus
Idealis
- Menurut
pasal 63 ayat 1[1]
digunakan system absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu pidana pokok yang
terberat. Misal: perkosaan dijalan umum, melanggar pasal 285 (12 th penjara) dan
pasal 281 (2 tahun 8 bulan penjara). Maksimum pidana penjara yang dapat dikenakan
ialah 12 tahun
- Apabila Hakim menghadapi pilihan antara dua pidana pokok sejenis yang maksimumnya sama, maka dikenakan pidana pokok dengan tambahan yang paling berat.
- Apabila menghadapi dua pilihan antara dua pidana pokok yang tidak sejenis, maka penetuan pidana yang terberat didasarkan pada urut-urutan jenis pidana seperti tersebut dalam pasal 10[2] (pasal 69 ayat (1) jo pasal 10). Misalnya memilih antara 1 minggu penjara, 1 tahun kurungan dan denda 5 juta rupiah, maka pidana yang terberat adalah 1 minggu penjara.
- Dalam pasal 63 ayat (2) diatur ketentuan Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan (lex specialis derogate legi generali). Contoh: seorang ibu membunuh anaknya sendiri pada saat anaknya dilahirkan. Perbuatan ibu ini dapat masuk dalam pasal 338[3] (15 tahun penjara dan pasal 341[4] (7 tahun penjara). Maksimum pidana penjara yang dikenakan ialah yang terdapat dalam pasal 341 (lex specialis) yaitu 7 tahun penjara.
2.
Concursus
Realis (pasal 65 s/d 71 KUHP).
a. Untuk
concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok sejenis, berlaku
pasal 65 yaitu hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah
maksimum pidana tidak boleh lebih dari maksimum terberat ditambah sepertiga.
Misal: A melakukan 3
jenis kejahatan yang masing-masing diancam pidana 4 tahun, 5 tahun dan 9 tahun.
Dalam hal ini yang dapat digunakan ialah 9 tahun + (1/3 x 9) tahun = 12 tahun
penjara. Jadi disini berlaku system absorbsi yang dipertajam.
b. Untuk concursus realis berupa kejahatan yang
diancam pidana pokok tidak sejenis berlaku pasal 66 yaitu semua jenis ancaman
pidana untuk tiap-tiap kejahatan dijatuhkan, tetapi jumlahnya tidak boleh
melebihi maksimum piudana yang terberat ditambah sepertiga, system ini disebut
system Kumulasi yang diperlunak. Misal: A melakukan 2 jenis kejahatan yang
masing-masing diancam pidana 9 bulan kurungan dan dua tahun penjara. Dalam hal ini semua jenis pidana (penjara dan kurungan) harus
dijatuhkan. Adapun maksimumnya adalah 2 tahun ditambah (1/3 x 2) tahun = 2
tahun 9 bulan atau 33 bulan. Dengan demikian pidana yang dijatuhkan misalnya
terdiri dari 2 tahun penjara dan 8 bulan kurungan.
c. Untuk
Concursus Realis berupa pelanggaran, berlaku pasal 70 yang menggunakan system
kumulasi. Misal A melakukan dua pelanggaran yang masing-masing diancam pidana
kurungan 6 bulan dan 9 bulan, maka maksimumnya adalah (6+9) bulan = 15 bulan.
Namun menurut pasal 70 ayat 2, system kumulasi itu dibatasi sampai maksimum 1
tahun 4 bulan kurungan. Jadi misal A melakukan dua pelanggaran yang
masing-masing diancam pidana kurungan 9 bulan, maka maksimum pidana kurungan
yang dapat dijatuhkan bukanlah (9+9) bulan = 18 bulan, tetapi maksimumnya
adalah 1 tahun 4 bulan atau hanya 16 bulan.
d. Untuk
Concursus Realis berupa kejahatan ringan, khusus untuk pasal 302 (1), 352, 364,
373, 379 dan 482 berlaku pasal 70 yang menggunakan system kumulasi tetapi
dengan pembatasan maksimum untuk penjara 8 bulan. Misal: A melakukan pencurian
ringan (pasal 364) dan penggelapan ringan (pasal 373) yang masing-masing
diancam pidana 3 bulan penjara. Maksimum pidana yang dapat dijatuhkan adalah 6
bulan penjara (system kumulasi). Tetapi apabila A misalnya melakukan 3
kejahatan ringan yang masing-masing diancam pidana penjara 3 bulan, maka
maksimumnya bukan 9 bulan penjara (kumulasi) tetapi 8 bulan penjara.
e. Untuk
Concursus Realis, baik kejahatan maupun pelanggaran untuk diadili pada saat
berlainan, berlaku pasal 71 yang berbunyi sbb: “Jika seseorang setelah dijatuhi
pidana kemudian dinyatakan salah lagi karena melakukan kejahatan atau
pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana yang dahulu
diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan hal
perkara-perkara diadili pada saat yang sama”. Misal: A melakukan
kejahatan-kejahatan sbb:
1)
Tgl.
1/1 : pencurian (pasal 362, ancaman pidana 5 tahun penjara);
2)
Tgl.
5/1 : penganiayaan biasa (pasal 351 diancam 2 tahun 8 bulan);
3)
Tgl. 10/1 : penadahan (pasal 480, diancam 4 tahun penjara);
4)
Tgl.
20/1 : penipuan (pasal 378, diancam 4 tahun penjara).
Kemudian
A ditangkap dan diadili dalam satu
keputusan. Maksimum pidana yang dapat
dijatuhkan ialah 5 tahun + (1/3 x 5 tahun)
= 6 tahun 8 bulan. Andaikata untuk
keempat tindak pidana itu, hakim menjatuhkan
pidana 6 tahun penjara, maka jika kemudian ternyata bahwa A pada tanggal 14/1 (jadi sebelum ada keputusan)
melakukan penggelapan (pasal
372 yang diancam pidana penjara 4
tahun), maka keputusan yang kedua kalinya
ini untuk penggelapan itu paling banyak
hanya dijatuhi pidana penjara selama
6 tahun 8 bulan (putusan sekaligus) dikurangi 6 tahu (putusanI) yaitu 8 bulan penjara.
Dengan contoh diatas, dapatlah bunyi pasal 71 diatas dirumuskan secara singkat sbb: Putusan ke II = (putusan sekaligus) – (putusan ke-I).
3.
Perbuatan
berlanjut (pasal 64).
a.
Menurut
pasal 64 ayat (1), pada prinsipnya berlaku system absorbsi yaitu hanya
dikenakan satu aturan pidana, dan jika berbeda-beda dikenakan satu aturan
pidana, dan jika berbeda-beda dikenakan ketentuan yang memuat ancaman pidana
pokok yang terberat.
b.
Pasal
64 ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata
uang. Misal A setelah memalsu mata uang (pasal 244 dengan ancaman pidana
penjara 15 tahun) kemudian menggunakan / mengedarkan mata uang yang palsu itu (pasal
245 dengan ancaman pidana penjara 15 tahun). Dalam hal ini perbuatan A tidak dipandang
sebagai concursus Realis, tetapi tetap dipandang sebagai perbuatan berlanjut sehingga
ancaman maksimum pidananya dapat dikenakan 15 tahun penjara
c.
Pasal
64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam hal kejahatan-kejahatan ringan
yang terdapat dalam pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 379
(penipuan ringan) dan 407 (1) (perusakan barang ringan) yang dilakukan sebagai
perbuatan berlanjut. Apabila nilai kerugian yang timbul dari kejahatan-kejahatan
ringan yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut itu lebih dari Rp. 250,- .
Maka menurut pasal 64 ayat (3) dikenakan aturan pidana yang berlaku untuk
kejahatan biasa. Berarti yang dikenakan adalah pasal 362 (pencurian), 372 (penggelapan),
378 (penipuan) atau 406 (perusakan barang).
[1]
Pasal 63 ayat 1; Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan
pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; jika
berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat
[2] Pasal
10 KUHP; Pidana terdiri atas: a. pidana pokok: 1. pidana mati; 2. pidana
penjara; 3. pidana kurungan; 4. pidana denda; 5. pidana tutupan. b. pidana
tambahan terdiri dari 1. pencabutan hak-hak tertentu; 2. perampasan
barang-barang tertentu; 3. pengumuman putusan hakim.
[3] Pasal 338 KUHP: “Barang
siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
[4] Pasal 341 KUHP; Seorang ibu yang karena takut akan
diketahui bahwa ia melahirkan anak dengan sengaja menghilangkan nyawa anaknya
pada saat anak itu dilahirkan atau tidak lama kemudian, diancam karena membunuh
anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
No comments:
Post a Comment