Pages - Menu

Friday, June 12, 2020

PENGULANGAN TINDAK PIDANA (RECIDIVE)

 Residivis, pengulangan tindak pidana dalam hukum pidana Islam, pengulangan pidana dalam hukum positif, pengulangan pidana menurut KUHP,

1. Pengertian Pengulangan Tindak Pidana

Pengulangan tindak pidana ialah jika seseorang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi hukuman melalui putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau “inkracht van gewijsde”, kemudian melakukan tindak pidana lagi dalam jangka waktu tertentu. Pelaku pengulangan tindak pidana disebut sebagai “recidivist”. Recidive menjadi salah satu alasan untuk memperberat pidana yang akan dijatuhkan karena hukuman yang terdahulu dipandang belum mampu memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan oleh karena itu hukum pidana membuat suatu aturan yang dapat memperberat pidananya, agar pemberatan pidana dapat mencapai tujuan pencegahan bagi pelaku untuk tidak lagi melakukan tindak pidana.[1]


2. Sanksi Pelaku Pengulangan Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana Islam

Dalam hukum pidana islam, pengulangan tindak pidana telah terjadi pada masa Rasulullah SAW. Misalnya dalam kasus pencurian, pemberatan hukuman terhadap pelaku pengulangan tidak pidana sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Abu Daud dan An-Nasa’i berikut ini;

وعن جابر رضي الله عنه قال: جىءبسارق الى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: اقتلوه ، فقالوا: انما سرق يرسول الله ، اقطعوه فقطع، ثم جىء به الثانية فقال: اقتلوه، فذكرمثله، ثم جىءبه الثالثة فذ كرمثله، ثم جىءبه الرابعة كذالك، ثم جىءبه الخا مسة فقال: اقتلوه ( اخرجه أبوداود والنسائ)

Dari Jabir ra ia berkata; seorang pencuri telah dibawa kehadapan Rasulullah SAW. Maka Nabi Bersabda; bunuhlah ia, para sahabat berkata; ya rasulullah ia hanya mencuri, nabi mengatakan potonglah tangannya. Kemudian ia dipotong. Kemudian ia dibawa lagi untuk kedua kalinya, lalu nabi mengatakan bunuhlah ia, kemudian disebutkan seperti tadi, lalu ia dibawa lagi untuk ketiga kalinya maka nabi menyebutkan seperti tadi. Kemudian dibawa lagi untuk keempat kalinya dan nabi mengatakan seperti tadi. Dan akhirnya dibawa lagi untuk kelima kalinya. Lalu nabi mengatakan bunuhlah ia (Hadis dikeluarkan oleh Abu Daud dan An-nasa’i).

Dalam hadis lain dan kasus yang sama yakni pencurian, Rasulullah SAW telah menjelaskan secara rinci mengenai hukuman bagi pengulangan tindak pidana, sebagaimana telah diriwayatkan oleh Imam Ad-Daruquthni dari Abu Hurairah dijelaskan bahwa Rasulullah SAW bersabda;

إن سرق فاقطعوا يده، ثم إن سرق فاقطعوا رجله، ثم إن سرق فاقطعوا يده، ثم إن سرق فاقطعوا رجله،

Jika ia mencuri potonglah tangannya (yang kanan), jika ia mencuri lagi maka potonglah kaki (kaki kirinya), jika ia mencuri lagi maka potonglah tangannya (tangan kiri), kemudian jika ia mencuri lagi maka potonglah kakinya (kaki kanan).

Kedua hadis diatas menjelaskan hukuman bagi pelaku pengulangan tindak pidana bisa ditingkatkan bahkan bisa mencapai hukuman mati. Namun, mengenai persyaratan, pelaksanaan dan lain-lain para fuqaha tidak  membahas secara rinci. Untuk itu, perincian mengenai pengulangan tindak pidana diserahkan kepada penguasa (ulil amri).[2]

 

3. Pengulangan Tindak Pidana dalam hukum positif (KUHP)


Ketentuan mengenai pengulangan tindak pidana diatur dalam buku ke II BAB XXXI berjudul “Aturan Pengulangan Kejahatan Yang Bersangkutan Dengan Berbagai Bab”, yang terdiri dari pasal 486[3], 487[4] dan 488[5]. KUHP menganut sistem Recidive Khusus, yakni pemberatan pidana hanya dikenakan pada pengulangan-pengulangan jenis-jenis tindak pidana tertentu saja dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu.[6] Recidive dibagi menjadi dua kategori yakni Recidive Kejahatan dan Recidive Pelanggaran. Berikut uraian mengenai ketentuan persyaratan recidive terhadap kejahatan dan recidive terhadap pelanggaran serta ketentuan pemberatan pidananya;

3.1. Recidive Kejahatan

       a.  Recidive Terhadap Kejahatan-Kejahatan Tertentu Yang Sejenis

Recidive jenis ini diatur secara tersebar dalam sebelas pasal-pasal tertentu dalam Buku II KUHP yaitu dalam Pasal: 137(2)[7] tentang kejahatan terhadap martabat presiden dan wakil presiden, 144(2)[8] tentang Kejahatan terhadap kepala negara sahabat serta wakilnya, 155(2)[9] tentang kejahatan terhadap ketertiban umum, 161(2)[10], 163(2)[11], 208(2)[12] tentang kejahatan terhadap penguasa umum, 216(3)[13], 321(2)[14], 393(2)[15] dan 303 bis (2)[16] KUHP. Jadi ada 11 jenis kejahatan yang apabila ada pengulangan menjadi alasan pemberatan pidana. Persyaratan recidive disebutkan dalam masing-masing pasal. Adapun persyaratan recidive pada umumnya adalah sebagai berikut;[17]

a)  Kejahatan yang harus diulangi harus sama atau sejenis dengan kejahatan yang terdahulu;

b)  Antara kejahatan yang terdahulu dan kejahatan yang diulangi harus sudah ada keputusan hakim berupa pemidanaan yang telah mem-punyai kekuatan hukum tetap. Dengan adanya syarat keputusan hakim yang berupa pemidanaan dan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka tidak ada recidive dalam hal;

Ø  Keputusan hakim tersebut tidak merupakan pemidanaan, misalnya keputusan yang berupa “pembebasan dari segala tuduhan” (vrijs-praak) dan yang berupa “pelepasan dari segala tuntutan” (onslag van alle rechtvervolging) berdasar Pasal 191 KUHAP.

Ø  Keputusan hakim tersebut masih dapat diubah dengan upaya-upaya hukum yang berlaku (misalnya dengan upaya banding atau kasasi);

Ø Keputusan hakim tersebut berupa penetapan (beschikking) missalnya: keputusan yang menyatakan tidak berwenangnya hakim untuk memeriksa perkara yang bersangkutan, keputusan tentang tidak diterimanya tuntutan jaksa karena terdakwa tidak melakukan kejahatan, dan tidak diterimanya perkara karena penuntutannya sudah daluwarsa.

c)  Si pelaku melakukan kejahatan yang bersangkutan pada waktu menjalankan pencahariannya (khusus untuk Pasal 216, 303 bis dan 393 KUHP syarat ini tidak ada);

d)  Pengulangannya dilakukan dalam tenggang waktu tertentu yang disebut dalam pasal-pasal tersebut, yaitu: 2 tahun sejak adanya keputusan hakim yang tetap (untuk delik-delik dalam Pasal 137, 144, 208, 216, 303 bis dan 321 KUHP), atau 5 tahun sejak adanya keputusan hakim yang tetap (untuk delik-delik dalam Pasal 155, 157, 161, 163, dan 393 KUHP).

 

Mengenai pemberatan pidana dalam sistem recidive kejahatan yang sejenis ini berbeda-beda, yaitu:

1.  Dapat diberikan pidana tambahan berupa pelarangan atau penca-butan hak untuk menjalankan mata pencahariannya (untuk delik-delik yang pengulangannya dilakukan pada waktu menjalankan mata pencahariannya);

2.  Pidananya dapat ditambah sepertiga (khusus untuk delik dalam Pasal 216 KUHP); Pasal 216 ayat (3) KUHP hanya menyebut “pidana” saja yang berarti ancaman pidana penjara atau denda yang disebut dalam Pasal 216 ayat (1) KUHP dapat ditambah sepertiga.

3.  Pidana penjaranya dapat dilipatkan dua kali, yaitu khusus untuk Pasal 393 KUHP dari 4 bulan 2 minggu menjadi 9 bulan penjara.

 

b. Recidive Terhadap Kejahatan-kejahatan Tertentu yang Masuk Dalam Satu Kelompok Jenis

Kelompok jenis recidive ini diatur dalam Pasal 486, 487, 488 KUHP. Adapun persyaratan recidive menurut ketentuan pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut:[18]

1. Kejahatan yang diulangi harus termasuk dalam satu kelompok jenis dengan kejahatan yang pertama atau terdahulu. Kelompok jenis keja-hatan yang dimaksud ialah:

Ø  Kelompok jenis kejahatan dalam Pasal 486 KUHP yang pada umumnya kejahatan harta benda dan pemalsuan yaitu pemalsuan mata uang (Pasal 244-248 KUHP), pemalsuan surat (Pasal 263-264 KUHP), pencurian (Pasal 362, 363, 365 KUHP), pemerasan (Pasal 368 KUHP), pengancaman (Pasal 369 KUHP), penggelapan (Pasal 372, 374, 375 KUHP), penipuan (Pasal 378 KUHP), kejaha-tan jabatan (Pasal 415, 417, 425, 432 KUHP), penadahan (Pasal 480, 481 KUHP).

Ø  Kelompok jenis kejahatan dalam Pasal 487 KUHP pada umumnya mengenai kejahatan terhadap orang yaitu penyerangan dan makar kepada Kepala Negara (Pasal 131, 140, 141 KUHP), pembunuhan (Pasal 338, 339, 340 KUHP), pembunuhan anak (Pasal 341,342 KUHP), euthanasia (Pasal 344 KUHP), pengguguran kandungan (Pasal 347, 348 KUHP), penganiayaan (Pasal 351, 353, 355 KUHP), kejahatan pembajakan pelayaran (Pasal 438-443 KUHP), insubordinasi (Pasal 459-460 KUHP).

Ø  Kelompok jenis kejahatan dalam Pasal 488 KUHP pada umumnya mengenai kejahatan penghinaan dan yang berhubungan dengan penerbitan/percetakan yaitu penghinaan kepada Presiden/Wakil Presiden (Pasal 134-138 KUHP), penghinaan kepada Kepala Negara Sahabat (Pasal 142-144 KUHP), penghinaan kepada pengua-sa badan umum (Pasal 207,208 KUHP), penghinaan kepada orang pada umumnya (Pasal 310-321 KUHP), kejahatan penerbitan/ percetakan (Pasal 483 dan 484 KUHP)

Dengan adanya kelompok jenis kejahatan-kejahatan seperti dikemukakan di atas, maka tidak dapat dikatakan ada recidive apabila seseorang yang melakukan pencurian biasa (Pasal 362 KUHP) kemudian melakukan delik lagi yang berupa penganiayaan (Pasal 351 KUHP) ataupun penghinaan (Pasal 310 KUHP) karena masing-masing delik itu masuk dalam kelompok jenis kejahatan yang berbeda-beda. Dalam KUHP tidak semua kejahatan berat dapat dijadikan sebagai alasan recidive/pengulangan (alasan pemberatan pidana).


2.   Antara kejahatan yang kemudian (yang diulangi) dengan kejahatan yang pertama atau terdahulu, harus sudah ada putusan hakim berupa pemidanaan yang berkekuatan tetap. Dengan adanya syarat kedua ini, maka tidaklah dapat dikatakan recidive dalam hal putusan hakim tidak berupa pemidanaan atau belum mempunyai kekuatan hukum tetap atau yang berupa beschikking.

3.  Pidana yang dijatuhkan hakim terdahulu harus berupa pidana penjara. Dengan adanya syarat ini maka tidak ada alasan recidive untuk pemberatan pidana apabila pidana yang pernah dijatuhkan terdahulu berupa pidana kurungan atau pidana denda.

4.   Ketika melakukan pengulangan, tenggang waktunya adalah:

Ø  Belum lewat 5 tahun: Sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian pidana pen-jara yang dijatuhkan terdahulu, atau Sejak pidana penjara tersebut sama sekali dihapuskan

Ø  Belum lewat tenggang waktu daluarsa kewenangan menjalankan pidana penjara yang terdahulu. Misalnya: A pada tahun 2002 di-nyatakan bersalah melakukan pembunuhan (Pasal 338 KUHP) dijatuhi pidana penjara 8 tahun. Ada beberapa kemungkinan teng-gang waktu pengulangan untuk kejahatan yang berikutnya antara lain: Apabila A menjalani seluruhnya, maka tenggang waktu pengu-langannya adalah sebelum lewat tahun 2015 (perhitungan : 2002 + 8 + 5). Apabila A setelah menjalani sebagian, misalnya 2 tahun, mendapat grasi atau pelepasan bersyarat pada tahun 2004, maka tenggang waktu penggulangannya adalah sebelum lewat 2009 (perhitungan : 2002 + 2 + 5). Apabila A setelah menjalani sebagian misalnya 2 tahun pada tahun 2004 melarikan diri, maka tenggang waktu pengulanganya adalah sebelum lewat tenggang waktu daluarsa kewenangan menjalankan pidana penjara yang terdahulu. Berdasarkan Pasal 85 (2) KUHP tenggang waktu daluarsanya dihitung sejak terdakwa melarikan diri. Jadi tenggang waktu recidive-nya adalah sebelum lewat tahun 2020 yaitu dihitung mulai tahun 2004 ditambah 16 tahun (tenggang waktu daluarsa kewenangan menjalankan pidana untuk Pasal 338 KUHP lihat Pasal 84 KUHP). Dari contoh ini dapatlah ditarik kesimpulan bahwa tenggang waktu recidive dapat lebih dari 5 tahun.

Jonkers dalam hal ini mempermasalahkan bagaimana seandainya hakim di dalam putusannya memperhitungkan jumlah pidana yang dijatuhkan dengan penahanan sementara (berdasarkan Pasal 33 KUHP) yang telah dijalani terdakwa, sehingga dianggap terdakwa telah menjalani seluruhnya?. Menurut Jonkers bahwa jika terjadi demikian maka apabila terdakwa melakukan kejahatan lagi tetap dinyatakan ada recidive. Sedangkan menurut Utrecht, dalam keputusan Rechtbank Rotterdam 1918 ditetapkan bahwa dalam hal pidana yang dijatuhkan terhadap delik yang telah ditebus oleh dijalaninya satu tahanan sementara, tidak ada pengulangan.

Adapun pemberatan pidana untuk recidive masing-masing kelompok jenis kejahatan seperti dikemukakan di atas pada prinsipnya dipakai sistem pemberatan/penambahan sepertiga dari maksimum ancaman pidana untuk kejahatan yang diulangi.  Untuk kejahatan dalam kelompok jenis Pasal 486 dan 487 KUHP yang dapat diperberat hanyalah ancaman pidana pokok yang berupa pidana penjara, sedangkan untuk kelompok Pasal 488 KUHP tidak hanya pidana penjara karena dalam pasal tersebut hanya digunakan istilah “pidana” saja sehingga semua jenis pidana yang disebut dalam masing-masing pasal yang masuk dalam kelompok Pasal 488 KUHP tersebut dapat diperberat sepertiga.

 

3.2.   Recidive Pelanggaran

Ketentuan recidive terhadap pelanggaran-pelanggaran tertentu yang terdapat dalam Buku III KUHP. Ada 14 jenis pelanggaran didalam Buku III KUHP yang apabila diulangi dapat merupakan alasan untuk adanya pemberatan pidana, yaitu pelang-garan-pelanggaran terhadap: Pasal 489[19], 492[20], 495[21], 501[22], 512[23], 516[24], 517[25], 530[26], 536[27], 540[28], 541[29], 544[30], 545[31], 549[32] KUHP. Adapun pemberatannya pada umumnya mengikuti salah satu sistem pemberatan pidana sebagai berikut:

a.  Pidana denda diganti atau ditingkatkan menjadi pidana kurungan

b.  Pidana denda/kurungan dilipat dua kali

Adapun persyaratan recidive pelanggaran disebutkan dalam masing-masing pasal yang bersangkutan, yang pada umumnya sebagai berikut:

1.  Pelanggaran yang diulangi harus sama atau sejenis dengan pelanggaran yang terdahulu, jadi baru dapat dikatakan recidive pelanggaran apabila yang bersangkutan melanggar pasal yang sama.

2.  Harus sudah ada putusan hakim berupa pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap untuk pelanggaran yang terdahulu;

3.  Tenggang waktu pengulangannya belum lewat 1 atau 2 tahun sejak adanya putusan pemidaan yang berkekuatan tetap.

 



[1] Andi Sofyan dan Nur Azisa, Buku Ajar Hukum Pidana, (Sulawesi Selatan; Puataka Pena Press, 2016) hlm. 226

[2] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta:PT Sinar Grafika, 2004) hlm. 165-166. Lihat juga di Asadullah Al-Faruk, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam (Jakarta; Ghalia Indonesia|) hlm. 92-93

[3] Pasal 486 KUHP: “Pidana penjara yang ditentukan dalam Pasal 127, 204 ayat pertama, 244-248, 253-260 bis, 263, 264, 266-268, 274, 362, 363, 365 ayat pertama, kedua dan ketiga, 368 ayat pertama dan kedua sepanjang di situ ditunjuk kepada ayat kedua dan ketiga Pasal 365, Pasal 369, 372, 374, 375, 378, 380, 381-383, 385-388, 397, 399, 400, 402, 415, 417, 425, 432 ayat penghabisan, 452, 466, 480 dan 481, begitupun pidana penjara selama waktu tertentu yang dijatuhkan menurut Pasal 204 ayat kedua, 365 ayat keempat dan 368 ayat kedua sepanjang di situ ditunjuk kepada ayat keempat pasal 365, dapat ditambahkan dengan sepertiga, jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian dari pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, baik karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal-pasal itu, maupun karena salah satu kejahatan, yang dimaksud dalam salah satu dari Pasal 140-143, 145 dan 149, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan (kwijtgescholde) atau jika pada waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut belum daluwarsa.”

[4] Pasal 487 KUHP; Pidana penjara yang ditentukan dalam Pasal 130 ayat pertama, 131, 133, 140 ayat pertama, 353-355, 438-443, 459 dan 460, begitupun pidana penjara selama waktu tertentu yang dijatuhkan menurut Pasal 104, 105, 130 ayat kedua dan ketiga, Pasal 140 ayat kedua dan ketiga, 339, 340 dan 444, dapat ditambah sepertiga. Jika yang bermasalah ketika melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian, pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, baik karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal-pasal itu, maupun karena salah satu kejahatan yang dimaksudkan dalam Pasal 106 ayat kedua dan ketiga, 107 ayat kedua dan ketiga, 108 ayat kedua, 109, sejauh kejahatan yang dilakukan itu atau perbuatan yang menyertainya menyebabkan luka-luka atau mati, Pasal 131 ayat kedua dan ketiga, 137 dan 138 KUHP Tentara, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan, atau jika pada waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut belum daluwarsa.”

[5] Pasal 488 KUHP, disebutkan:“Pidana yang ditentukan dalam Pasal 134-138, 142-144, 207, 208, 310-321, 483 dan 484, dapat ditambah sepertiga, jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian, pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, karena salah satu kejahatan diterangkan pada pasal itu, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan atau jika waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut belum daluwarsa.”

[6] Secara umum pengulangan pidana yang didasarkan pemberatan pidana digolongkan kedalam 2 sistem yaitu;[6] 1) Sistem Recidive Umum, dalam sistem ini, pemberatan tindak pidana diberikan keseluruh jenis tindak pidana apapun dan tenggang waktu pengulangannya tidak ditentukan atau tidak ada daluarsa recidive. 2) Sistem Recidive Khusus, dalam sistem ini pemberatan pidana hanya dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu dan yang dilakukan dalam tenggang waktu yang tertentu pula.

[7] Pasal 137 (1); Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan di muka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, dengan maksud supaya isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan pada waktu menjalankan pencariannya, dan pada saat itu belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, maka terhadapnya dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.

[8] Pasal 144 KUHP; (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap raja yang memerintah, atau kepala negara sahabat, atau wakil negara asing di Indonesia dalam pangkatnya, dengan maksud supaya penghinaan itu diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu pada waktu menjalankan pencariannya, dan pada saat itu belum lewat dua tahun sejak ada pemidanaan yang tetap karena kejahatan semacam itu juga, ia dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.

[9] Pasal 155 KUHP; (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya menjadi tetap karena melakukan kejahatan semacam itu juga, yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.

[10] Pasal 161 KUHP; (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan yang menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, menentang penguasa umum dengan kekerasan, atau menentang sesuatu hal lain seperti tersebut dalam pasal di atas, dengan maksud supaya isi yang menghasut diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.

[11] Pasal 163 KUHP; (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan yang berisi penawaran untuk memberi keterangan, kesempatan atau sarana guna melakukan tindak pidana dengan maksud supaya penawaran itu diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.

[12] Pasal 208 KUHP; (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum suatu tulisan atau lukisan yang memuat penghinaan terhadap penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia dengan maksud supaya isi yang menghina itu diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam pencariannya dan ketika itu belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, maka yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.

[13] Pasal 216 KUHP; (1) Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undangundang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah. (2) Disamakan dengan pejabat tersebut di atas, setiap orang yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi tugas menjalankan jabatan umum. (3) Jika pada waktu melakukan kejahatan belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, maka pidananya dapat ditambah sepertiga.

[14] Pasal 321 KUHP; (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan atau gambaran yang isinya menghina atau bagi orang yang sudah mati mencemarkan namanya, dengan maksud supaya isi surat atau gambar itu diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama satu bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencariannya, sedangkan ketika itu belum lampau dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, maka dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian tersebut. (3) Kejahatan ini tidak dituntut kalau tidak ada pengaduan dari orang yang ditunjuk dalam pasal 319 dan pasal 320, ayat kedua dan ketiga.

[15] Pasal 393 KUHP; (1) Barang siapa memasukkan ke Indonesia tanpa tujuan jelas untuk mengeluarkan lagi dan Indonesia, menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagibagikan, barang-barang yang diketahui atau sepatutnya harus diduganya, bahwa pada barangnya itu sendiri atau pada bungkusnya dipakaikan secara palsu, nama, firma atau merek yang menjadi hak orang lain atau untuk menyatakan asalnya barang, nama sebuah tempat tertentu, dengan ditambahkan nama atau firma yang khayal, ataupun pada barangnya sendiri atau pada bungkusnya ditirukan nama, firma atau merek yang demikian sekalipun dengan sedikit perubahan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah. (2) Jika pada waktu melakukan kejahatan belum lewat lima tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap, karena kejahatan semacam itu juga, dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama sembilan bulan.

[16] Pasal 303 bis KUHP; (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sepuluh juta rupiah: 1. barang siapa menggunakan kesempatan main judi, yang diadakan dengan melanggar ketentuan pasal 303; 2. barang siapa ikut serta main judi di jalan umum atau di pinggir jalan umum atau di tempat yang dapat dikunjungi umum, kecuali kalau ada izin dari penguasa yang berwenang yang telah memberi izin untuk mengadakan perjudian itu. (2) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak ada pemidanaan yang menjadi tetap karena salah satu dari pelanggaran ini, dapat dikenakan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak lima belas juta rupiah.

[17] Andi Sofyan dan Nur Azisa, Buku Ajar Hukum Pidana, (Sulawesi Selatan; Puataka Pena Press, 2016) hlm. 229

[18] Andi Sofyan dan Nur Azisa, Buku Ajar Hukum Pidana, (Sulawesi Selatan; Puataka Pena Press, 2016) hlm.

[19] Pasal 489 KUHP: kenakalan terhadap orang atau barang, denda maksimal Rp 225 diganti kurungan maksimal 3 hari.

[20] Pasal 492 KUHP : masuk di muka umum merintangi lalu lintas/ mengganggu ketertiban dan keamanan orang lain, kurungan mak-simal 6 hari ditingkatkan menjadi kurungan maksimal 2 minggu

[21] Pasal 495 KUHP : memasang perangkap/alat untuk membunuh binatang buas tanpa izin, denda maksimal Rp 375 diganti kurungan maksimal 6 hari.

[22] Pasal 501 KUHP : menjual/membagikan makanan/minuman yang palsu, busuk atau yang berasal dari ternak sakit atau mati, denda maksimal Rp 375 diganti kurungan maksimal 6 hari.

[23] Pasal 512 KUHP : melakukan pencaharian tanpa keharusan/kewe-nangan atau melampaui batas kewenangannya, denda maksimal Rp 4500/Rp 2250 diganti kurungan maksimal 2 bulan/1 bulan.

[24] Pasal 516 KUHP : mengusahakan tempat bermalam tanpa register/ catatan tamu atau tidak menunjukkan register tersebut kepada pejabat yang memintanya, denda maksimal Rp. 375 diganti kuru-ngan maksimal 6 hari.

[25] Pasal 517 KUHP : membeli dan sebagainya barang-barang ang-gota militer tanpa izin, kurungan maksimal 1 bulan atau denda maksimal Rp 2250 maka hukuman ditingkatkan menjadi dapat dilipat dua kali.

[26] Pasal 530 KUHP : petugas agama yang melakukan upacara per-kawinan sebelum persyaratan padanya bahwa pelangsungan di muka pejabat catatan sipil/B.S. telah dilakukan, denda maksimal Rp. 4500 diganti kurungan maksimal 2 bulan

[27] Pasal 536 KUHP : dalam keadaan mabuk berada di jalan umum, denda maksimal Rp 225 maka pengulangan untuk kedua kalinya hukuman denda diganti kurungan maksimal 3 hari dan jika pengulangan ketiga kalinya atau selanjutnya maka hukumannya ditingkatkan menjadi kurungan maksimal 3 bulan.

[28] Pasal 540 KUHP : mempekerjakan hewan melebihi kekuatan atau menyakitinya, kurungan maksimal 8 hari atau denda maksimal Rp 2250 ditingkatkan menjadi kurungan maksimal 14 hari.

[29] Pasal 541 KUHP : menggunakan kuda muatan yang belum tukar gigi, denda maksimal Rp 225 diganti kurungan maksimal 3 hari

[30] Pasal 544 KUHP : mengadakan sabung ayam/jangkrik di jalan umum tanpa izin, kurungan maksimal 6 hari atau denda maksimal Rp 375 maka hukuman ditingkatkan menjadi dapat dilipat dua kali.

[31] Pasal 545 KUHP : melakukan pencaharian sebagai tukang ramal, kurungan 6 hari atau denda maksimal Rp 375 maka hukumannya ditingkatkan menjadi dapat dilipat dua kali.

[32] Pasal 549 KUHP : membiarkan ternaknya berjalan di kebun/tanah yang terlarang, denda maksimal Rp 375 diganti kurungan maksimal 14 hari.


No comments:

Post a Comment