1. Pengertian Pengulangan Tindak Pidana
Pengulangan tindak pidana ialah jika seseorang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi hukuman melalui putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau “inkracht van gewijsde”, kemudian melakukan tindak pidana lagi dalam jangka waktu tertentu. Pelaku pengulangan tindak pidana disebut sebagai “recidivist”. Recidive menjadi salah satu alasan untuk memperberat pidana yang akan dijatuhkan karena hukuman yang terdahulu dipandang belum mampu memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan oleh karena itu hukum pidana membuat suatu aturan yang dapat memperberat pidananya, agar pemberatan pidana dapat mencapai tujuan pencegahan bagi pelaku untuk tidak lagi melakukan tindak pidana.[1]
2. Sanksi Pelaku Pengulangan Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana Islam
Dalam hukum
pidana islam, pengulangan tindak pidana telah terjadi pada masa Rasulullah SAW.
Misalnya dalam kasus pencurian, pemberatan hukuman terhadap pelaku pengulangan
tidak pidana sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Abu Daud dan An-Nasa’i
berikut ini;
وعن جابر رضي الله عنه قال: جىءبسارق الى النبي صلى الله عليه وسلم
فقال: اقتلوه ، فقالوا: انما سرق يرسول الله ، اقطعوه فقطع، ثم جىء به الثانية
فقال: اقتلوه، فذكرمثله، ثم جىءبه الثالثة فذ كرمثله، ثم جىءبه الرابعة كذالك، ثم
جىءبه الخا مسة فقال: اقتلوه ( اخرجه أبوداود والنسائ)
Dari Jabir ra ia berkata; seorang pencuri telah dibawa kehadapan
Rasulullah SAW. Maka Nabi Bersabda; bunuhlah ia, para sahabat berkata; ya
rasulullah ia hanya mencuri, nabi mengatakan potonglah tangannya. Kemudian ia
dipotong. Kemudian ia dibawa lagi untuk kedua kalinya, lalu nabi mengatakan
bunuhlah ia, kemudian disebutkan seperti tadi, lalu ia dibawa lagi untuk ketiga
kalinya maka nabi menyebutkan seperti tadi. Kemudian dibawa lagi untuk keempat
kalinya dan nabi mengatakan seperti tadi. Dan akhirnya dibawa lagi untuk kelima
kalinya. Lalu nabi mengatakan bunuhlah ia
(Hadis dikeluarkan oleh Abu Daud dan An-nasa’i).
Dalam hadis lain dan kasus yang sama yakni pencurian, Rasulullah
SAW telah menjelaskan secara rinci mengenai hukuman bagi pengulangan tindak
pidana, sebagaimana telah diriwayatkan oleh Imam Ad-Daruquthni dari Abu
Hurairah dijelaskan bahwa Rasulullah SAW bersabda;
إن سرق فاقطعوا يده، ثم إن سرق فاقطعوا رجله، ثم إن سرق فاقطعوا يده،
ثم إن سرق فاقطعوا رجله،
Jika ia mencuri potonglah tangannya (yang kanan), jika ia mencuri
lagi maka potonglah kaki (kaki kirinya), jika ia mencuri lagi maka potonglah
tangannya (tangan kiri), kemudian jika ia mencuri lagi maka potonglah kakinya
(kaki kanan).
Kedua hadis diatas menjelaskan hukuman bagi pelaku pengulangan
tindak pidana bisa ditingkatkan bahkan bisa mencapai hukuman mati. Namun,
mengenai persyaratan, pelaksanaan dan lain-lain para fuqaha tidak membahas secara rinci. Untuk itu, perincian
mengenai pengulangan tindak pidana diserahkan kepada penguasa (ulil amri).[2]
3. Pengulangan Tindak Pidana dalam hukum positif (KUHP)
Ketentuan
mengenai pengulangan tindak pidana diatur dalam buku ke II BAB XXXI berjudul “Aturan
Pengulangan Kejahatan Yang Bersangkutan Dengan Berbagai Bab”, yang terdiri
dari pasal 486[3],
487[4]
dan 488[5]. KUHP
menganut sistem Recidive Khusus, yakni pemberatan pidana hanya dikenakan
pada pengulangan-pengulangan jenis-jenis tindak pidana tertentu saja dan yang
dilakukan dalam tenggang waktu tertentu.[6] Recidive
dibagi menjadi dua kategori yakni Recidive Kejahatan dan Recidive Pelanggaran.
Berikut uraian mengenai ketentuan persyaratan recidive
terhadap kejahatan dan recidive terhadap pelanggaran serta ketentuan
pemberatan pidananya;
3.1. Recidive Kejahatan
a. Recidive Terhadap Kejahatan-Kejahatan Tertentu Yang Sejenis
Recidive jenis ini diatur secara tersebar dalam sebelas
pasal-pasal tertentu dalam Buku II KUHP yaitu dalam Pasal: 137(2)[7]
tentang kejahatan terhadap martabat presiden dan wakil presiden, 144(2)[8]
tentang Kejahatan terhadap kepala negara sahabat serta wakilnya, 155(2)[9]
tentang kejahatan terhadap ketertiban umum, 161(2)[10],
163(2)[11],
208(2)[12]
tentang kejahatan terhadap penguasa umum, 216(3)[13],
321(2)[14],
393(2)[15]
dan 303 bis (2)[16] KUHP. Jadi ada 11 jenis
kejahatan yang apabila ada pengulangan menjadi alasan pemberatan pidana.
Persyaratan recidive disebutkan dalam masing-masing pasal. Adapun
persyaratan recidive pada umumnya adalah sebagai berikut;[17]
a) Kejahatan yang harus diulangi harus sama atau sejenis dengan
kejahatan yang terdahulu;
b) Antara kejahatan yang terdahulu dan kejahatan yang diulangi harus
sudah ada keputusan hakim berupa pemidanaan yang telah mem-punyai kekuatan
hukum tetap. Dengan adanya syarat keputusan hakim yang berupa pemidanaan dan
mempunyai kekuatan hukum tetap, maka tidak ada recidive dalam hal;
Ø Keputusan hakim tersebut tidak merupakan pemidanaan,
misalnya keputusan yang berupa “pembebasan dari segala tuduhan” (vrijs-praak)
dan yang berupa “pelepasan dari segala tuntutan” (onslag van alle
rechtvervolging) berdasar Pasal 191 KUHAP.
Ø Keputusan hakim tersebut masih dapat diubah dengan
upaya-upaya hukum yang berlaku (misalnya dengan upaya banding atau kasasi);
Ø Keputusan hakim tersebut berupa penetapan (beschikking)
missalnya: keputusan yang menyatakan tidak berwenangnya hakim untuk memeriksa
perkara yang bersangkutan, keputusan tentang tidak diterimanya tuntutan jaksa
karena terdakwa tidak melakukan kejahatan, dan tidak diterimanya perkara karena
penuntutannya sudah daluwarsa.
c) Si pelaku melakukan kejahatan yang bersangkutan pada waktu
menjalankan pencahariannya (khusus untuk Pasal 216, 303 bis dan 393 KUHP syarat
ini tidak ada);
d) Pengulangannya dilakukan dalam tenggang waktu tertentu yang
disebut dalam pasal-pasal tersebut, yaitu: 2 tahun sejak adanya keputusan hakim
yang tetap (untuk delik-delik dalam Pasal 137, 144, 208, 216, 303 bis dan 321
KUHP), atau 5 tahun sejak adanya keputusan hakim yang tetap (untuk delik-delik
dalam Pasal 155, 157, 161, 163, dan 393 KUHP).
Mengenai pemberatan pidana dalam sistem recidive kejahatan
yang sejenis ini berbeda-beda, yaitu:
1. Dapat diberikan pidana tambahan berupa pelarangan atau penca-butan
hak untuk menjalankan mata pencahariannya (untuk delik-delik yang
pengulangannya dilakukan pada waktu menjalankan mata pencahariannya);
2. Pidananya dapat ditambah sepertiga (khusus untuk delik dalam Pasal
216 KUHP); Pasal 216 ayat (3) KUHP hanya menyebut “pidana” saja yang berarti
ancaman pidana penjara atau denda yang disebut dalam Pasal 216 ayat (1) KUHP
dapat ditambah sepertiga.
3. Pidana penjaranya dapat dilipatkan dua kali, yaitu khusus untuk
Pasal 393 KUHP dari 4 bulan 2 minggu menjadi 9 bulan penjara.
b. Recidive Terhadap Kejahatan-kejahatan Tertentu yang Masuk Dalam Satu
Kelompok Jenis
Kelompok
jenis recidive ini diatur dalam Pasal 486, 487, 488 KUHP. Adapun
persyaratan recidive menurut ketentuan pasal-pasal tersebut adalah
sebagai berikut:[18]
1. Kejahatan yang diulangi harus termasuk dalam satu kelompok jenis
dengan kejahatan yang pertama atau terdahulu. Kelompok jenis keja-hatan yang
dimaksud ialah:
Ø Kelompok jenis kejahatan dalam Pasal 486 KUHP yang
pada umumnya kejahatan harta benda dan pemalsuan yaitu pemalsuan mata uang
(Pasal 244-248 KUHP), pemalsuan surat (Pasal 263-264 KUHP), pencurian (Pasal
362, 363, 365 KUHP), pemerasan (Pasal 368 KUHP), pengancaman (Pasal 369 KUHP),
penggelapan (Pasal 372, 374, 375 KUHP), penipuan (Pasal 378 KUHP), kejaha-tan
jabatan (Pasal 415, 417, 425, 432 KUHP), penadahan (Pasal 480, 481 KUHP).
Ø Kelompok jenis kejahatan dalam Pasal 487 KUHP pada
umumnya mengenai kejahatan terhadap orang yaitu penyerangan dan makar kepada
Kepala Negara (Pasal 131, 140, 141 KUHP), pembunuhan (Pasal 338, 339, 340
KUHP), pembunuhan anak (Pasal 341,342 KUHP), euthanasia (Pasal 344 KUHP),
pengguguran kandungan (Pasal 347, 348 KUHP), penganiayaan (Pasal 351, 353, 355
KUHP), kejahatan pembajakan pelayaran (Pasal 438-443 KUHP), insubordinasi
(Pasal 459-460 KUHP).
Ø Kelompok jenis kejahatan dalam Pasal 488 KUHP pada
umumnya mengenai kejahatan penghinaan dan yang berhubungan dengan
penerbitan/percetakan yaitu penghinaan kepada Presiden/Wakil Presiden (Pasal
134-138 KUHP), penghinaan kepada Kepala Negara Sahabat (Pasal 142-144 KUHP),
penghinaan kepada pengua-sa badan umum (Pasal 207,208 KUHP), penghinaan kepada
orang pada umumnya (Pasal 310-321 KUHP), kejahatan penerbitan/ percetakan
(Pasal 483 dan 484 KUHP)
Dengan adanya kelompok jenis kejahatan-kejahatan
seperti dikemukakan di atas, maka tidak dapat dikatakan ada recidive apabila
seseorang yang melakukan pencurian biasa (Pasal 362 KUHP) kemudian melakukan
delik lagi yang berupa penganiayaan (Pasal 351 KUHP) ataupun penghinaan (Pasal
310 KUHP) karena masing-masing delik itu masuk dalam kelompok jenis kejahatan
yang berbeda-beda. Dalam KUHP tidak semua kejahatan berat dapat dijadikan
sebagai alasan recidive/pengulangan (alasan pemberatan pidana).
2. Antara kejahatan yang kemudian (yang diulangi) dengan kejahatan
yang pertama atau terdahulu, harus sudah ada putusan hakim berupa pemidanaan
yang berkekuatan tetap. Dengan adanya syarat kedua ini, maka tidaklah dapat
dikatakan recidive dalam hal putusan hakim tidak berupa pemidanaan atau belum
mempunyai kekuatan hukum tetap atau yang berupa beschikking.
3. Pidana yang dijatuhkan hakim terdahulu harus berupa pidana
penjara. Dengan adanya syarat ini maka tidak ada alasan recidive untuk
pemberatan pidana apabila pidana yang pernah dijatuhkan terdahulu berupa pidana
kurungan atau pidana denda.
4. Ketika melakukan pengulangan, tenggang waktunya adalah:
Ø Belum lewat 5 tahun: Sejak menjalani untuk seluruhnya
atau sebagian pidana pen-jara yang dijatuhkan terdahulu, atau Sejak pidana
penjara tersebut sama sekali dihapuskan
Ø Belum lewat tenggang waktu daluarsa kewenangan
menjalankan pidana penjara yang terdahulu. Misalnya: A pada tahun 2002
di-nyatakan bersalah melakukan pembunuhan (Pasal 338 KUHP) dijatuhi pidana
penjara 8 tahun. Ada beberapa kemungkinan teng-gang waktu pengulangan untuk
kejahatan yang berikutnya antara lain: Apabila A menjalani seluruhnya, maka
tenggang waktu pengu-langannya adalah sebelum lewat tahun 2015 (perhitungan :
2002 + 8 + 5). Apabila A setelah menjalani sebagian, misalnya 2 tahun, mendapat
grasi atau pelepasan bersyarat pada tahun 2004, maka tenggang waktu
penggulangannya adalah sebelum lewat 2009 (perhitungan : 2002 + 2 + 5). Apabila
A setelah menjalani sebagian misalnya 2 tahun pada tahun 2004 melarikan diri,
maka tenggang waktu pengulanganya adalah sebelum lewat tenggang waktu daluarsa
kewenangan menjalankan pidana penjara yang terdahulu. Berdasarkan Pasal 85 (2)
KUHP tenggang waktu daluarsanya dihitung sejak terdakwa melarikan diri. Jadi
tenggang waktu recidive-nya adalah sebelum lewat tahun 2020 yaitu
dihitung mulai tahun 2004 ditambah 16 tahun (tenggang waktu daluarsa kewenangan
menjalankan pidana untuk Pasal 338 KUHP lihat Pasal 84 KUHP). Dari contoh ini
dapatlah ditarik kesimpulan bahwa tenggang waktu recidive dapat lebih
dari 5 tahun.
Jonkers
dalam hal ini mempermasalahkan bagaimana seandainya hakim di dalam putusannya
memperhitungkan jumlah pidana yang dijatuhkan dengan penahanan sementara
(berdasarkan Pasal 33 KUHP) yang telah dijalani terdakwa, sehingga dianggap
terdakwa telah menjalani seluruhnya?. Menurut Jonkers bahwa jika terjadi
demikian maka apabila terdakwa melakukan kejahatan lagi tetap dinyatakan ada recidive.
Sedangkan menurut Utrecht, dalam keputusan Rechtbank Rotterdam 1918 ditetapkan
bahwa dalam hal pidana yang dijatuhkan terhadap delik yang telah ditebus oleh
dijalaninya satu tahanan sementara, tidak ada pengulangan.
Adapun
pemberatan pidana untuk recidive masing-masing kelompok jenis kejahatan
seperti dikemukakan di atas pada prinsipnya dipakai sistem
pemberatan/penambahan sepertiga dari maksimum ancaman pidana untuk kejahatan
yang diulangi. Untuk kejahatan dalam
kelompok jenis Pasal 486 dan 487 KUHP yang dapat diperberat hanyalah ancaman
pidana pokok yang berupa pidana penjara, sedangkan untuk kelompok Pasal 488
KUHP tidak hanya pidana penjara karena dalam pasal tersebut hanya digunakan
istilah “pidana” saja sehingga semua jenis pidana yang disebut dalam
masing-masing pasal yang masuk dalam kelompok Pasal 488 KUHP tersebut dapat
diperberat sepertiga.
3.2. Recidive Pelanggaran
Ketentuan recidive terhadap pelanggaran-pelanggaran
tertentu yang terdapat dalam Buku III KUHP. Ada 14 jenis pelanggaran didalam
Buku III KUHP yang apabila diulangi dapat merupakan alasan untuk adanya pemberatan
pidana, yaitu pelang-garan-pelanggaran terhadap: Pasal 489[19],
492[20],
495[21],
501[22],
512[23],
516[24],
517[25],
530[26],
536[27],
540[28],
541[29],
544[30],
545[31],
549[32]
KUHP. Adapun pemberatannya pada umumnya mengikuti salah satu sistem pemberatan
pidana sebagai berikut:
a. Pidana denda diganti atau ditingkatkan menjadi pidana kurungan
b. Pidana denda/kurungan dilipat dua kali
Adapun persyaratan recidive pelanggaran disebutkan dalam
masing-masing pasal yang bersangkutan, yang pada umumnya sebagai berikut:
1. Pelanggaran yang diulangi harus sama atau sejenis dengan
pelanggaran yang terdahulu, jadi baru dapat dikatakan recidive
pelanggaran apabila yang bersangkutan melanggar pasal yang sama.
2. Harus sudah ada putusan hakim berupa pemidanaan yang telah
berkekuatan hukum tetap untuk pelanggaran yang terdahulu;
3. Tenggang waktu pengulangannya belum lewat 1 atau 2 tahun sejak
adanya putusan pemidaan yang berkekuatan tetap.
[1] Andi Sofyan
dan Nur Azisa, Buku Ajar Hukum Pidana, (Sulawesi Selatan; Puataka Pena
Press, 2016) hlm. 226
[2] Ahmad Wardi
Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana
Islam Fikih Jinayah, (Jakarta:PT Sinar Grafika, 2004) hlm. 165-166. Lihat
juga di Asadullah Al-Faruk, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam (Jakarta;
Ghalia Indonesia|) hlm. 92-93
[3] Pasal 486 KUHP: “Pidana
penjara yang ditentukan dalam Pasal 127, 204 ayat pertama, 244-248, 253-260
bis, 263, 264, 266-268, 274, 362, 363, 365 ayat pertama, kedua dan ketiga, 368
ayat pertama dan kedua sepanjang di situ ditunjuk kepada ayat kedua dan ketiga
Pasal 365, Pasal 369, 372, 374, 375, 378, 380, 381-383, 385-388, 397, 399, 400,
402, 415, 417, 425, 432 ayat penghabisan, 452, 466, 480 dan 481, begitupun
pidana penjara selama waktu tertentu yang dijatuhkan menurut Pasal 204 ayat
kedua, 365 ayat keempat dan 368 ayat kedua sepanjang di situ ditunjuk kepada
ayat keempat pasal 365, dapat ditambahkan dengan sepertiga, jika yang
bersalah ketika melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak menjalani
untuk seluruhnya atau sebagian dari pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya,
baik karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal-pasal itu, maupun
karena salah satu kejahatan, yang dimaksud dalam salah satu dari Pasal 140-143,
145 dan 149, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara, atau sejak pidana
tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan (kwijtgescholde) atau jika pada
waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut belum
daluwarsa.”
[4] Pasal 487 KUHP; Pidana
penjara yang ditentukan dalam Pasal 130 ayat pertama, 131, 133, 140 ayat
pertama, 353-355, 438-443, 459 dan 460, begitupun pidana penjara selama waktu
tertentu yang dijatuhkan menurut Pasal 104, 105, 130 ayat kedua dan ketiga,
Pasal 140 ayat kedua dan ketiga, 339, 340 dan 444, dapat ditambah
sepertiga. Jika yang bermasalah ketika melakukan kejahatan, belum lewat lima
tahun, sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian, pidana penjara yang
dijatuhkan kepadanya, baik karena salah satu kejahatan yang diterangkan
dalam pasal-pasal itu, maupun karena salah satu kejahatan yang dimaksudkan
dalam Pasal 106 ayat kedua dan ketiga, 107 ayat kedua dan ketiga, 108 ayat
kedua, 109, sejauh kejahatan yang dilakukan itu atau perbuatan yang
menyertainya menyebabkan luka-luka atau mati, Pasal 131 ayat kedua dan ketiga,
137 dan 138 KUHP Tentara, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah
dihapuskan, atau jika pada waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan
pidana tersebut belum daluwarsa.”
[5] Pasal 488 KUHP,
disebutkan:“Pidana yang ditentukan dalam Pasal 134-138, 142-144, 207, 208,
310-321, 483 dan 484, dapat ditambah sepertiga, jika yang bersalah
ketika melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak menjalani untuk
seluruhnya atau sebagian, pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, karena
salah satu kejahatan diterangkan pada pasal itu, atau sejak pidana tersebut
baginya sama sekali telah dihapuskan atau jika waktu melakukan kejahatan,
kewenangan menjalankan pidana tersebut belum daluwarsa.”
[6]
Secara umum pengulangan pidana yang didasarkan pemberatan pidana digolongkan
kedalam 2 sistem yaitu;[6]
1) Sistem Recidive Umum, dalam sistem ini, pemberatan tindak pidana
diberikan keseluruh jenis tindak pidana apapun dan tenggang waktu
pengulangannya tidak ditentukan atau tidak ada daluarsa recidive. 2) Sistem
Recidive Khusus, dalam sistem ini pemberatan pidana hanya dikenakan
terhadap pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu dan
yang dilakukan dalam tenggang waktu yang tertentu pula.
[7]
Pasal 137 (1); Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan di
muka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau
Wakil Presiden, dengan maksud supaya isi penghinaan diketahui atau lebih
diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.(2) Jika
yang bersalah melakukan kejahatan pada waktu menjalankan pencariannya, dan pada
saat itu belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena
kejahatan semacam itu juga, maka terhadapnya dapat dilarang menjalankan
pencarian tersebut.
[8] Pasal
144 KUHP; (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di
muka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap raja yang memerintah,
atau kepala negara sahabat, atau wakil negara asing di Indonesia dalam
pangkatnya, dengan maksud supaya penghinaan itu diketahui atau lebih diketahui
oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika yang bersalah
melakukan kejahatan itu pada waktu menjalankan pencariannya, dan pada saat itu
belum lewat dua tahun sejak ada pemidanaan yang tetap karena kejahatan semacam
itu juga, ia dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.
[9] Pasal 155
KUHP; (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan
atau lukisan di muka umum yang mengandung pernyataan perasaan permusuhan,
kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, dengan maksud supaya
isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah. (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut
pada waktu menjalankan pencariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun
sejak pemidanaannya menjadi tetap karena melakukan kejahatan semacam itu juga,
yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.
[10]
Pasal 161 KUHP; (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau
menempelkan di muka umum tulisan yang menghasut supaya melakukan perbuatan
pidana, menentang penguasa umum dengan kekerasan, atau menentang sesuatu hal
lain seperti tersebut dalam pasal di atas, dengan maksud supaya isi yang
menghasut diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah. (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu
menjalankan pencariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak
pemidanaannya menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, yang
bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.
[11]
Pasal 163 KUHP; (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau
menempelkan di muka umum tulisan yang berisi penawaran untuk memberi
keterangan, kesempatan atau sarana guna melakukan tindak pidana dengan maksud
supaya penawaran itu diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan
tersebut pada waktu menjalankan pencariannya dan pada saat itu belum lewat lima
tahun sejak pemidanaannya menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga yang
bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.
[12] Pasal
208 KUHP; (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di
muka umum suatu tulisan atau lukisan yang memuat penghinaan terhadap penguasa
atau badan umum yang ada di Indonesia dengan maksud supaya isi yang menghina
itu diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah. (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam pencariannya
dan ketika itu belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap
karena kejahatan semacam itu juga, maka yang bersangkutan dapat dilarang
menjalankan pencarian tersebut.
[13] Pasal
216 KUHP; (1) Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau
permintaan yang dilakukan menurut undangundang oleh pejabat yang tugasnya
mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang
diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barang siapa
dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna
menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat
tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau
pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah. (2) Disamakan dengan
pejabat tersebut di atas, setiap orang yang menurut ketentuan undang-undang
terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi tugas menjalankan jabatan
umum. (3) Jika pada waktu melakukan kejahatan belum lewat dua tahun
sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga,
maka pidananya dapat ditambah sepertiga.
[14] Pasal
321 KUHP; (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di
muka umum tulisan atau gambaran yang isinya menghina atau bagi orang yang sudah
mati mencemarkan namanya, dengan maksud supaya isi surat atau gambar itu
diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling
lama satu bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah. (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam
menjalankan pencariannya, sedangkan ketika itu belum lampau dua tahun sejak
adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, maka
dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian tersebut. (3) Kejahatan
ini tidak dituntut kalau tidak ada pengaduan dari orang yang ditunjuk dalam
pasal 319 dan pasal 320, ayat kedua dan ketiga.
[15] Pasal
393 KUHP; (1) Barang siapa memasukkan ke Indonesia tanpa tujuan jelas untuk
mengeluarkan lagi dan Indonesia, menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan
atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagibagikan, barang-barang yang
diketahui atau sepatutnya harus diduganya, bahwa pada barangnya itu sendiri
atau pada bungkusnya dipakaikan secara palsu, nama, firma atau merek yang
menjadi hak orang lain atau untuk menyatakan asalnya barang, nama sebuah tempat
tertentu, dengan ditambahkan nama atau firma yang khayal, ataupun pada
barangnya sendiri atau pada bungkusnya ditirukan nama, firma atau merek yang
demikian sekalipun dengan sedikit perubahan, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan
ribu rupiah. (2) Jika pada waktu melakukan kejahatan belum lewat lima
tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap, karena kejahatan semacam itu
juga, dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama sembilan bulan.
[16] Pasal 303 bis
KUHP; (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana
denda paling banyak sepuluh juta rupiah: 1. barang siapa menggunakan kesempatan
main judi, yang diadakan dengan melanggar ketentuan pasal 303; 2. barang siapa
ikut serta main judi di jalan umum atau di pinggir jalan umum atau di tempat
yang dapat dikunjungi umum, kecuali kalau ada izin dari penguasa yang berwenang
yang telah memberi izin untuk mengadakan perjudian itu. (2) Jika ketika
melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak ada pemidanaan yang menjadi
tetap karena salah satu dari pelanggaran ini, dapat dikenakan pidana penjara
paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak lima belas juta rupiah.
[17] Andi Sofyan
dan Nur Azisa, Buku Ajar Hukum Pidana, (Sulawesi Selatan; Puataka Pena
Press, 2016) hlm. 229
[18] Andi Sofyan
dan Nur Azisa, Buku Ajar Hukum Pidana, (Sulawesi Selatan; Puataka Pena
Press, 2016) hlm.
[19] Pasal 489 KUHP: kenakalan terhadap orang atau barang, denda
maksimal Rp 225 diganti kurungan maksimal 3 hari.
[20] Pasal 492 KUHP : masuk di muka umum merintangi lalu lintas/
mengganggu ketertiban dan keamanan orang lain, kurungan mak-simal 6 hari
ditingkatkan menjadi kurungan maksimal 2 minggu
[21] Pasal 495 KUHP : memasang perangkap/alat untuk membunuh
binatang buas tanpa izin, denda maksimal Rp 375 diganti kurungan maksimal 6
hari.
[22] Pasal 501 KUHP : menjual/membagikan makanan/minuman yang
palsu, busuk atau yang berasal dari ternak sakit atau mati, denda maksimal Rp
375 diganti kurungan maksimal 6 hari.
[23] Pasal 512 KUHP : melakukan pencaharian tanpa
keharusan/kewe-nangan atau melampaui batas kewenangannya, denda maksimal Rp
4500/Rp 2250 diganti kurungan maksimal 2 bulan/1 bulan.
[24] Pasal 516 KUHP : mengusahakan tempat bermalam tanpa
register/ catatan tamu atau tidak menunjukkan register tersebut kepada pejabat
yang memintanya, denda maksimal Rp. 375 diganti kuru-ngan maksimal 6 hari.
[25] Pasal 517 KUHP : membeli dan sebagainya barang-barang
ang-gota militer tanpa izin, kurungan maksimal 1 bulan atau denda maksimal Rp
2250 maka hukuman ditingkatkan menjadi dapat dilipat dua kali.
[26] Pasal 530 KUHP : petugas agama yang melakukan upacara
per-kawinan sebelum persyaratan padanya bahwa pelangsungan di muka pejabat
catatan sipil/B.S. telah dilakukan, denda maksimal Rp. 4500 diganti kurungan
maksimal 2 bulan
[27] Pasal 536 KUHP : dalam keadaan mabuk berada di jalan umum,
denda maksimal Rp 225 maka pengulangan untuk kedua kalinya hukuman denda
diganti kurungan maksimal 3 hari dan jika pengulangan ketiga kalinya atau
selanjutnya maka hukumannya ditingkatkan menjadi kurungan maksimal 3 bulan.
[28] Pasal 540 KUHP : mempekerjakan hewan melebihi kekuatan atau
menyakitinya, kurungan maksimal 8 hari atau denda maksimal Rp 2250 ditingkatkan
menjadi kurungan maksimal 14 hari.
[29] Pasal 541 KUHP : menggunakan kuda muatan yang belum tukar
gigi, denda maksimal Rp 225 diganti kurungan maksimal 3 hari
[30] Pasal 544 KUHP : mengadakan sabung ayam/jangkrik di jalan
umum tanpa izin, kurungan maksimal 6 hari atau denda maksimal Rp 375 maka
hukuman ditingkatkan menjadi dapat dilipat dua kali.
[31] Pasal 545 KUHP : melakukan pencaharian sebagai tukang
ramal, kurungan 6 hari atau denda maksimal Rp 375 maka hukumannya ditingkatkan
menjadi dapat dilipat dua kali.
[32]
Pasal
549 KUHP : membiarkan ternaknya berjalan di kebun/tanah yang terlarang, denda
maksimal Rp 375 diganti kurungan maksimal 14 hari.
0 comments:
Post a Comment