Sunday, May 31, 2020

Pengertian Fikih Jinayah dan Objek Pembahasan Fikih Jinayah

fikih jinayah, hukum pidana islam, objek pembahasan hukum pidana islam,

Pengertian fikih jinayah


Fikih jinayah berasal dari dua kata yakni fikih dan jinayah. Fikih secara etimologi berasal dari kata faqiha, yafqahu, fiqhan yang berarti mengerti atau paham. Fiqh secara istilah dikemukakan oleh Abdul wahab khallaf[1];

الفقه هو العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية

اوهو مجمو عة الأحكام الشرعية العملية مستفادة من أدلتها التفصيلية

Fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci atau fiqh adalah himpunan hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Sedangkan jinayah secara etimologis yaitu;

اسم لما يجنيه المرء من شرومااكتسبه

Nama bagi hasil perbuatan seseorang yang buruk dan apa yang diusahakan. Sedangkan menurut istilah fuqaha sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdul Kadir Audah berikut ini;

فالجناية اسم لفعل محرم شرعا سواء وقع الفعل على نفس اومال او غيرذالك

Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta atau lainnya.

Dari dua kata tersebut dapat disimpulkan bahwa fikih jinayah adalah ilmu tentang hukum syara’ [2]mengenai perbuatan yang dilarang baik perbuatan tersebut mengenai agama, jiwa, akal, harta dan keturunan yang hukumnya diambil dari dalil-dalil terperinci. Fikih jinayah dalam konteks hukum di Indonesia dikenal dengan istilah Hukum Pidana Islam. Pengertian fikih jinayah (hukum pidana Islam) sejalan dengan pengertian hukum pidana menurut hukum positif. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Musthafa Abdullah bahwa hukum pidana adalah hukum mengenai delik yang diancam dengan hukuman pidana, atau dengan kata lain pidana itu adalah serangkaian peraturan yang mengatur masalah tindak pidana dan hukumnya.[3]


Objek Pembahasan fikih jinayah


Objek pembahasan hukum pidana Islam secara garis besar adalah hukum-hukum syara’ yang menyangkut masalah tindak pidana[4] dan hukumannya[5]. Dengan perkataan lain, masalah yang dibahas dalam hukum pidana Islam dan juga hukum pidana umum adalah tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan hukumannya (pemidanaan). Menurut ulama’ muta’akhirin yang menjadi ruanglingkup pembahasan fikih jinayah adalah seluruh perbuatan manusia yang dinilai sebagai pelanggaran atau kejahatan kepada sesama baik kejahatan fisik maupun non fisik dan perbuatan dosa seperti kejahatan terhadap harta benda, jiwa, agama, negara, nama baik, kehormatan, tatanan hidup dan lingkungan hidup  dan lain sebagainya[6].  



[1] A. Syafi’i Karim, FIQIH-ushul fiqih ( Bandung: Pustaka Setia, 2001) hlm. 11 

[2] Hukum syara’ adalah hukum yang dijalani atau dipatuhi oleh mereka yang dibebani hukum (mukallaf), jika tidak dilaksanakan atau tidak dipatuhi maka mukallaf tersebut mendapatkan konsekuensi hukum tersebut.

[3] Musthafa Abdullah dan Ruben Ahmad, Intisari Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia, 1983), Hal. 9-10.

[4] Menurut Simons  defenisi Tindak pidana dalam hukum pidana barat adalah suatu perbuatan manusia yang diancam dengan pidana, melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. Perbuatan tersebut bisa bermakna positif maupun negatif artinya ia bisa berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu atau membiarkannya. Sedangkan menurut Abdul Kadir Audah tindak pidana (jarimah) dalam hukum pidana Islam didefenisikan sebagai larangan-larangan hukum yang diberikan allah, yang pelanggarannya membawa hukum yang ditentukan Allah. Larangan hukum dapat berarti melakukan perbuatan yang dilarang atau tidak melakukan perbuatan yang diperintahkan (Abdullah Al-Faruk, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam (Jakarta; Ghalia Indonesia|) hlm 16

[5] Hukuman menurut Abdul Kadir Audah ialah pembalasan yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan Syara’. (Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta:PT Sinar Grafika, 2004) hlm 2. 

 Sedangkan menurut Prof. Sudarto hukuman atau pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu  (Musthafa Abdullah dan Ruben Ahmad, Intisari Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia, 1983), hlm 9-10.

[6] Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Bandung; Pustaka Setia), hlm 11


PROSEDUR BERPERKARA PENGADILAN AGAMA TINGKAT PERTAMA


prosedur berperkara pengadilan agama, cerai gugat, cerai talak

CERAI GUGAT

Cerai gugat adalah gugatan perceraian yang diajukan oleh istri. Penggugat (istri) atau kuasanya mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah (Pasal 118 HIR, 142 Rbg jo. Pasal 73 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009).
Gugatan diajukan;
  1. Di daerah hukum pengadilan agama/mahkamah syar’iah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat [Pasal 73 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo.32 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974]
  2. Bila Tergugat bertempat kediaman diluar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan agama/ Makhamah Syar’iah yang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat [Pasal 73 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989]
  3. Bila Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman diluar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilana Agama/ Makhamah Syar’iah yang yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat [Pasal 73 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989]

CERAI TALAK

Cerai talak adalah perceraian yang diajukan oleh suami ke pengadilan agama. Pemohon (suami) atau kuasanya mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah (Pasal  118 HIR, 142 Rbg jo.Pasal 66 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009)
Permohonan diajukan:
  1. Didaerah hukum Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iah yang daerah hukumnya meliputi  tempat kediaman termohon [Pasal 66 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989];
  2. Bila termohon  dengan  sengaja meninggalkan bertempat kediaman yang digunkan bersama tanpa izin Pemohon , maka permohonan diajukan  di Pengadilan Agama/ Makhamah Syar’iah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon [Pasal 66 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989];
  3. Bila Termohon bertempat kediaman diluar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama/ Makhamah Syar’iah yang daerah hukumnya meliputi  tempat kediaman Pemohon [Pasal 66 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989];
  4. Bila Pemohon dan Termohon bertempat kediaman diluar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama/ Makhamah Syar’iah yang daerah hukumnya meliputi  tempat perkawinan dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat [Pasal 66 ayat (4) UU No.7 Tahun 1989].

Isi Surat Gugatan/Permohonan secara umum harus memuat;

  1. Identitas  lengkap para pihak;
  2. Posita (Fakta kejadian dan Fakta hukum);
  3. Petitum (tuntutan berdasarkan posita)

Perubahan Gugatan/Permohonan

Surat gugatan yang telah dibuat dapat dilakukan perubahan, dengan ketentuan:
  1. Sepanjang tidak merubah Posita (alasan-alasan gugatan) dan Petitum (tuntutan),  dalam hal tergugat telah menjawab surat gugatan ternyata ada perubahan, maka perubahan gugatan tersebut harus atas persetujuan Tergugat (Pasal 127 Rv);
  2. Perubahan tidak menyimpang dari kejadian materiil (Pasal 127 Rv).

Biaya Perkara

Membayar  biaya perkara ( Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg. jo Pasal 89 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989) melalui bank yang ditunjuk, kecuali yang tidak mampu dapat berperkara secara Cuma-Cuma (prodeo) [Pasal 237 HIR, 273 R.Bg.]

Kewajiban Pihak

Para pihak atau kuasanya menghadiri persidangan berdasarkan surat panggilan pengadilan [Pasal 121,124,125, HIR, dan 145 R.Bg.]

Gugatan Akibat Perceraian

Gugatan penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian atau sesudah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap (incraht) untuk CERAI GUGAT, atau diajukan setelah Ikrar Talak diucapkan untuk CERAI TALAK [Pasal 86 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989]

Anjuran

Gugatan penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta bersama   [Pasal 86 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989] sebaiknya tidak dikumulasi  dengan gugatan perceraian sesuai dengan Surat Edaran Ketua Muda Urusan Lingkungan Pengadilan Agama Nomor : 17/TUADA.AG/IX/2009 tanggal 25 September 2009, akan tetapi diajukan setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap (incraht) untuk CERAI GUGAT atau diajukan setelah ikrar talak diucapkan untuk CERAI TALAK.

Penanganan Dan Penyelesaian Perkara

Tahapan penanganan dan penyelesaian perkara;
  1. Mendaftarkan Gugatan /Permohonan;
  2. Para pihak atau kuasanya menghadiri sidang ber dasarkan surat panggilan Pengadilan;
  3. Mengikuti tahapan persidangan :
  • Pemeriksaan berkas perkara
  • Perdamaian (Pasal 82  Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989) dan Mediasi  Pasal 3 ayat (1) PERMA N0. 2 Tahun 2003 );
  • Apabila tidak terjadi perdaian, pemeriksaan dilanjutkan dengan : Pembacaan Gugatan/ Permohonan, Jawab menjawab (replik, duplik,) dan gugatan rekonvensi (Pasal 132 huruf a HIR, 158 R.Bg.), pembuktian, kesimpulan, dan putusan.
  • Putusan CERAI GUGAT yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diberikan AKTA CERAI.
  • Putusan CERAI TALAK yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan telah melaksanakan pengucapan ikrar talak dalam sidang ikrar talak dapat diberikan AKTA CERAI.
  • Untuk CERAI TALAK, Jika dalam tenggang waktu 6 bulan sejak ditetapkan sidang penyaaksian ikrar talak, suami atau kuasanya tidak melaksanakan ikrar talak didepan sidang, maka gugurlah kekuatan hukum penetapan ikrar talak tersebut dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.

Upaya Hukum

Apabila ada pihak yang tidak puas atas putusan Pengadilan Agama (Pengadilan Tingkat Pertama) dapat mengajukan upaya hukum sesuai ketentuan Undang-undang:

  1. Upaya Hukum Banding kepada Pengadilan Tinggi Agama (Pengadilan Tingkat Banding)
  2. Upaya Hukum Kasasi  kepada Mahkamah Agung RI (melalui Pengadilan Tingkat Pertama)
  3. Upaya Hukum Permohonan Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung RI (melalui Pengadilan Tingkat Pertama)
  4. VERZET, perlawanan terhadap putusan Verstek,

Prosedur Dan Proses Penyelesaian Perkara Lainnya

Langkah-langkah yang harus dilakukan Penggugat/Pemohon:

  1. Mengajukan gugatan/permohonan secara tertulis atau lisan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iyah (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg)
    1. Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat/Termohon;
    2. Bila tempat kediaman Tergugat/Termohon tidak diketahui, maka gugatan/permohnan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat/ Pemohon;
    3. Bila gugatan mengenai benda tetap, maka gugatan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat letak benda tetap tersebut. Bila  benda tetap tersebut  terletak dalam wilayah beberapa pengadilan agama/mahkamah syar’iyah, maka gugatan dapat diajukan kepada salah satu pengadilan agama/ mahkamah syar’iyah  yang dipilih oleh Penggugat (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg);
  2. Membayar biaya perkara ( Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg. jo Pasal 89 UU N0. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No.3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU No.50 Tahun 2009), bagi yang  tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma (prodeo) ( Pasal 237 HIR, 273 R.Bg.
  3. Pengugat/Pemohon dan Tergugat/Termohon atau kuasanya menghadiri sidang pemeriksaan berdasarkan panggilan pengadilan agama/mahkamah syar’iyah  (Pasal 121,124, dan 125 HIR,145 R.Bg).

Pendaftaran Perkara Tingkat Pertama

Pertama :
Pihak berperkara datang ke Pengadilan Agama/mahkamah syar’iyah dengan membawa surat gugatan atau permohonan.

Kedua :
Pihak berperkara menghadap petugas meja satu dan menyerahkan surat gugatan atau permohonan, sesuai dengan jumlah pihak dan arsip pengadilan.

Ketiga :
Petugas Meja Satu menaksir biaya perkara yang kemudian ditulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Besarnya panjar biaya perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk nenyelesaikan perkara tersebut, didasarkan pada Pasal 182 yat (1) HIR, Pasal 89,  Pasal 90 Undang-undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo. No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-undang No.7 Tahun 1989. 

Catatan :

  • Bagi yang tidak mampu dapat diijinkan secara prodeo (cuma-cuma). Ketidak mampuan tersebut dikabulkan dengan   melampirkan surat keterangan dari Lurah atau Kepala Desa setempat yang dilegalisir oleh Camat.
  • Bagi yang tidak mampu maka panjar biaya perkara ditaksir Rp.0,00 dan ditulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) didasarkan pasal 237 – 245 HIR
  • Dalam tingkat pertama para pihak yang tidak mampu atau berperkara secara prodeo (cuma-cuma). Perkara secara prodeo ini ditulis dalam surat gugatan atau permohonan bersama-sama (mdenjadi satu) dengan gugatan perkara. Dalam posita surat gugatan atau permohonan disebutkan alasan penggugat atau pemohonuntuk berperkara secara prodeo dan dalam petitumnya.


Keempat :
Petugas Meja Satu menyerahkan kembali salinan surat gugatan atau permohonan kepada pihak berperkara disertai dengan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dalam rangkap 3 (tiga).

Kelima :
Pikah berperkara  menyerahkan kepada pemegang kas (KASIR) surat gugatan atau permohonan tersebut dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM).

Keenam :
Pemegang kas menyerahkan asli surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) kepada pihak berperkara sebagai dasar penyetoran panjar biaya perkara ke Bank.

Ketujuh :
Pihak berperkara datang ke loket layanan bank yang ditunjuk dan mengisi slip penyetoran panjar biaya perkara. Pengisian dalam slip bank tersebut sesuai dengan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM), seperti nomor urut, dan besarnya biaya penyetoran. Kemudian pihak berperkara menyerahkan slip bank yang telah diisi dan menyetorkan uang sebesar yang tertera dalam slip bank tersebut.

Kedelapan :
Setelah berperkara menerima slip bank yang telah dipalidasi dari petugas layanan bank. Pihak berperkara menunjukan slip bank tersebut dan menyerahkan surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) kepada pemegang kas.

Kesembilan :
Pemegang kas setelah meneliti slip bank kemudian menyerahkan kembali kepada pikah berperkara. Pemegang kas  kemudian memberi  tanda lunas dalam surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dan menyerahkan kembali kepada pikah berperkara asli dan tindasan pertama surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) serta surat gugatan atau permohonan yang bersangkutan.

Kesepuluh :
Pihak berperkara menyerahkan kepada petugas Meja Dua surat gugatan atau permohonan sebanyak jumlah pihak ditambah 2 (dua) rangkap serta tindasan pertama surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM)

Kesebelas :
Petugas Meja Kedua mendaftarkan/mencatat surat gugatan atau permohonan dalam register bersangkutan serta memberi nomor pada surat gugatan atau permohonan tersebut yang diambil dari nomor pendaftaran yang diberikan oleh pemegang kas.

Keduabelas :
Petugas Meja Kedua meneyerahkan kembali 1 (satu) rangkap surat gugatan atau permohonan yang telah diberi nomor register kepada pihak berperkara.

Ketigabelas :
Pihak/pihak-pihak berperkara akan dipanggil oleh jurusita/jurusita pengganti untuk menghadap ke persidangan setelah ditetapkan Susunan Majelis Hakim (PMH) dan hari sidang pemeriksaan perkaranya (PHS).

Pengambilan Sisa Panjar Biaya Perkara

Pertama :

Setelah Majelis Hakim membacakan putusan dalam sidang yang terbuka untuk umum, kemudian  ketua Majelis membuat perincian biaya yang telah diputus dan diberikan kepada Pemegang Kas untuk dicatat dalam Buku Jurnal Keuangan Perkara dan Buku Induk Keuang Perkara.

Kedua :

Pemohon/Penggugat selanjutnya menghadap kepada Pemegang Kas untuk menanyakan perincian penggunaan panjar biaya perkara yang telah dibayarkan, dengan memberikan informasi nomor perkaranya.

Ketiga :

Pemegang Kas berdasarkan Buku Jurnal Keuangan Perkara memberi penjelasan mengenai rincian penggunaan biaya perkara kepada Penggugat/Pemohon.

Cacatan : Apabila terdapat sisa panjar biaya perkaranya, maka Pemegang Kas membuatkan kwitansi pengembalian sisa panjar biaya perkara dengan menuliskan jumlah uang sesuai sisa yang ada dalam buku jurnal dan diserahkan kepada Penggugat/Pemohon untuk ditanda tangani. Kwitansi pengembalian sisa panjarbiaya perkara terdiri dari 3 (tiga) lembar:

  • Lembar pertama untuk pemegang kas
  • Lembar kedua untuk Penggugat/Pemohon
  • Lembar ketiga untuk dimasukan ke dalam berkas perkara


Keempat :

Penggugat/Pemohon setelah menerima kwitansi pengembalian sisa panjar  biaya perkara dan menanda tanganinya, kemudian menyerahkan kembali kwitansi tersebut kepada Pemegang Kas.

Kelima :

Pemegang Kas menyerahkan uang sejumlah yang tertera dalam kwitansi tersebut beserta tindasan pertama kwitansi kepada pihak Penggugat/Pemohon.

Catatan : Apabilan Penggugat/Pemohon tidak hadir dalam sidang pembacaan putusan atau tidak mengambil sisa panjar pada  hari itu, maka oleh Panitera melalui surat akan diberitahukan adanya sisa panjarbiaya perkara yang berlum ia ambil.

Dalam pemberitahuan tersebut diteranghkan bahwa bilamana Penggugat/Pemohon tidak mengambil dalam waktu 6 (enam) bulan, maka uang sisa panjar biaya perkara tersebut akan dikeluarkan dari Buku Jurnal Keuangan yang bersangkutan dan dicatat dalam buku tersendiri sebagai uang tak bertuan (1948 KUHPerdata), yang selanjutnya uang tak bertuan tersebut akan disetorkan ke Kas Negara.

Saturday, May 16, 2020

Sanksi Pengkonsumsi Khamr (hukum positif indonesia dan hukum syariat diaceh)


Miras, narkotika, (khamr)

A.    Latarbelakang

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum agama, dan hukum adat. Hukum Adat adalah Selain suatu kebiasaan, yang pada umumnya harus berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan yang sifatnyanya tidak tertulis, dan dilakukan secara turun-temurun, namun hukum adat itu berlaku pada daerah masing-masing, maksudnya hukum adat hanya berlaku pada ketentuan dan aturan yang berada di suatu wilayah tersebut.
Sedangkan hukum islam ialah hukum atau aturan yang bersumber dari al-quran dan hadits. Karena notabenya indonesia mayoritas menganut hukum islam maka hukum islam itu telah menjadi rujukan. Dewasa hukum islam telah kita ketahui bahwa, hukum islam menjadi salah satu dari beberapa kaidah-kaidah hukum yang terdapat di indonesia, dan hukum islam hingga sekarang kaidah dan aturan didalam hukum islam masih diterapkan dalam kehidupan masyarakat khususnya di indonesia.
Selain dari hukum adat dan hukum islam, indonesia juga menganut sitem hukum eropa kontinental (civil law). Sistem hukum ini lahir dan berkembang diindonesia karena indonesia merupakan bekas daerah jajahan belanda sehingga hukum yang diterapkan pada masa penjajahan belanda hingga saat ini masih berlaku bahkan sudah mendarah daging diindonesia.
Berdasarkan dari uraian tersebut diatas, kami akan membahas tentang perbedaan dan persamaan dari sistem hukum civil law/ hukum positip diindonesia dengan hukum islam yang berada diaceh. Dengan studi kasus tentang khamr (miras).

b. Rumusan Masalah

1.      apa defenisi khamr (miras)?
2.      Apa sanksi bagi pengkonsumsi khamr dalam hukum positif indonesia dan hukum syariat diaceh?
3.      Bagaimana struktur hukum positip dan hukum syariat aceh? 

PEMBAHASAN

A. Definisi Miras (khamr)

Secara Etimologi, dalam kamus Arab-Indonesia Al Munawwir, kata  khamar  adalah bentuk mashdar dari kata  خمرا ـ يخمر -خمر  yang berarti tertutup atau tersembunyi. Kemudian kata khamar ini lazim digunakan untuk sebutan bagi setiap minuman atau obat-obatan yang memabukan seperti arak, alkohol, dan obat-obatan terlarang lainnya. Secara Terminologi Pengertian khamar menurut bahasa al-Qur’an adalah minuman yang terbuat dari biji-bijian atau buah-buahan yang diproses sehingga dapat mencapai kadar minuman yang memabukkan.
 Khamr menurut Qanun provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tentang minuman Khamar dan sejenisnya disebutkan Pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 20 bahwa yang dimaksud dengan Khamar dan sejenisnya adalah minuman yang memabukkan, apabila dikonsumsi dapat menyebabkan terganggu kesehatan, kesadaran dan daya pikir. Disebutkan pula pada Bab III mengenai Larangan dan Pencegahan, pasal 4 dikatakan meminum Khamar dan yang sejenisnya hukumnya adalah Haram.
Sedangkan Peraturan Menteri Kesehatan RI no. 83 tahun 1997, minuman keras (khamar) adalah semua jenis minuman yang beralkohol tetapi bukan obat, dan mempunyai kadar alkohol yang berbeda beda. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa khamar adalah segala yang memabukkan termasuk obat-obatan terlarang lainnya. Pengertian yang terakhir ini sejalan dengan apa yang dimaksud dalam hukum Islam, yaitu minuman memabukkan tidak hanya terbatas pada zat benda cair saja, tetapi termasuk pula benda padat. Pada intinya, segala sesuatu yang memabukkan itulah yang dimaksud dengan khamar.
 

B. Sanksi mengkonsumsi Miras (Khamr)

1.  Sanksi mengkonsumsi khamr di aceh

Dalam hukum syariat diaceh yang dikenai hukuman bukan hanya yang mengkonsumsi saja tetapi pihak-pihak yang bersangkutan dengan pengadaan miras akan dikenakan hukuman. Hal ini di dasarkan pada qanun no 12 tahun 2003 berdasarkan hal tersebut Larangan mengkonsumsi khamr terdapat pada pasal 5 qanun No 12 tahun2003  Setiap orang dilarang mengkonsumsi minuman khamar dan sejenisnya. Sedangkan sanksi bagi pelaku yang melanggar pasal 5 tersebut terdapat pada Pasal 26 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, diancam dengan ‘uqubat hudud 40 (empat puluh) kali cambuk.
Sedangkan bagi bagi yang memproduksi, menjual dan mengedarkan instansi terkait minuman keras (khamr) diatur dalam Pasal 6 (1) Setiap orang atau badan hukum/badan usaha dilarang memproduksi menyediakan, menjual, memasukkan, mengedarkan, mengangkut, menyimpan, menimbun, memperdagangkan, menghadiahkan dan mempromosikan minuman khamar dan sejenisnya. (2) Setiap orang atau badan hukum dilarang turut serta/membantu memproduksi, menyediakan, menjual, memasukkan, mengedarkan, mengangkut, menyimpan, menimbun, memperdagangkan dan memproduksi minuman khamar dan sejenisnya.
Pasal 8 Instansi yang berwenang menerbitkan izin usaha hotel, penginapan, losmen, wisma, bar, restoran, warung kopi, rumah makan, kedai, kios, dan tempat-tempat lain dilarang melegalisasikan penyediaan minuman khamar dan sejenisnya.
Adapun sanksinya terdapat pada pasal Pasal 26 ayat (2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaiamana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 8 diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa kurungan paling lama 1 (satu) tahun, paling singkat 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah), paling sedikit Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah).
Hukuman cambuk merupakan salah satu hukum yang berlaku dalam syariat islam NAD. Ketentuan dlam hukum cambuk antara lain:
a.       Terhukum dalam kondisi sehat.
b.      Pencambuk adalah wilayatul hisbah yang di tunjuk jaksa penuntut umum.
c.       Cambuk yang digunakan adalah rotan dengan diameter 0.75 s/d 1.00 cm.
d.       Jarak pencambuk dengan terhukum kira-kira 70 cm.
e.       Jarak pencambuk dengan orang yang menyaksikan paling dekat 10 meter.
f.       Pencambukan di hentikan jika menyebabkan luka, di minta dokter atas pertimbangan medis, atau terhukum melarikan diri.
g.      Pencambukan akan dilanjutkan setelah terhukum dinyatakan sehat atau setelah terhukum menyerahkan diri atau tertang
 

2. Sanksi bagi pengkonsumsi miras (khamr) dalam hukum positif diindonesia

Masalah minuman memabukkan dan obat-obatan terlarang lainnya adalah masalah nasional yang mesti ditangani secara professional. Sebab masalah ini mempunyai dampak yang tidak hanya mengancam kelangsungan hidup bangsa, tetapi juga bisa menghancurkan masa depan genersi muda. Pemerintah dalam KUHP memberikan sanksi atas pelaku (Pengguna khamar) hanya jika sampai mabuk dan mengganggu ketertiban umum, yakni kurungan paling lama tiga hari hingga paling lama tiga bulan (Pasal 536). KUHP juga memberi sanksi atas orang yang menyiapkan atau menjual Khamar, sanksi hukum yang dimaksud paling lama tiga minggu  (Pasal 537), apalagi jika yang diberi minuman adalah anak dibawah umur 16 tahun (Pasal 538 dan 539).
Dan Undang-Undang No.22 Tahun 1997  tentang Narkotika mengatur lebih rinci tentang sanksi pengguna narkotika. Terhadap pengolah narkotika hukumannya antara tujuh tahun hingga paling lama dua puluh tahun, sesuai dengan sifat kegiatannya dan jenis narkoba yang diproduksinya (Pasal 80,81, dan 82). Bahkan untuk kasus tertentu dapat dijatuhi hukuman penjara seumur hidup (Pasal 87). Adapun bagi pemakai narkotika untuk dirinya akan dijatuhkan sanksi hukum antara satu sampai paling lama empat tahun sesuai dengan jenis narkotika yang dikonsumsinya (Pasal 85).
 

C. Struktur Hukum

1. Struktur hukum dari mahkamah syariah Aceh

Proses penyelesaian perkara di mahkmah syariah aceh yaitu: setiap qanun diterapkan oleh pejabat daerah kemudian diawasi oleh Wilayatul hisbah, jika terjadi pelanggaran oleh masyarakat terhadap qanun yang telah ditetapkan maka wilayatul hisbah dapat menyampaikan laporan secara tertulis ke penyidik dengan catatan wilayatul hisbah menyampaikan laporan kepada penyidik bahwa telah diberikan peringatan sebelumnya. Selain wilayatul hisbah yang wajib melaporkan suatu delik adalah masyarakat sangat berperan penting dalam pemberantasan khamr diaceh.
Kemudian dilakukan penyidikan oleh penyidik. Penyidik adalah pejabat Polisi Nanggroe Aceh Darussalam (pasal 20 (a)), adapun wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud dalam huruf a Pasal 20 mempunyai wewenang :
a.       menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya jarimah khamar
b.      melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian;
c.       menyuruh berhenti tersangka dan memeriksa tanda pengenal dirinya;
d.      melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e.       melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f.       mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g.       memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h.      mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i.        menghentikan penyidikan setelah mendapat petunjuk bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan jarimah khamar dan memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya dan Wilayatul Hisbah;
j.        mengadakan tindakan lain menurut aturan hukum yang berlaku.
Setelah dilakukan penyidikan kemudian BAP diserahkan kepada penuntut umum. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi tugas dan wewenang khusus untuk melaksanakan penuntutan di bidang Syari’at dan melaksanakan penetapan dan putusan hakim Mahkamah (pasal 1 (16)). Adapun wewenang dari jaksa penuntut umum terdapat dalam pasal 25 diantaranya sebagai berikut:
a.     menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik;
b.    mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada
c.     penyidikan dan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
d.    memberi perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
e.    membuat surat dakwaan;
f.     melimpahkan perkara ke Mahkamah;
g.    menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
h.     melakukan penuntutan
i.       mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut hukum yang berlaku;
j.      melaksanakan putusan dan penetapan hakim.
Setelah itu, berkas perkara dari kejaksaan dilimpahkan ke pengadilan (mahkamah) oleh jaksa penuntut umum kemudian hakim menerima, memeriksa, memutus dan mengadili perkara yang ada dalam berkas tersebut.
 

2. proses ber-Acara di Pengadilan Umum

Dalam penyelesaian perkara pidana dilingkup pengadilan umum itu diawali dengan adanya laporan/ pengaduan dari masyarakat kepada pihak kepolisian. Kemudian kepolisian berwenang malakukan penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat.( Taufik Makarao, 24: 2010)
Kemudian setelah BAP dikepolisian lengkap lalu BAP dilimpahkan kekejaksaan. Adapun wewenang penuntut umum adalah sebagai berikut:
1.      Menerima dan Memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik
2.      Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan
3.      Memberikan penahanan, perpanjangan penahanan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik
4.      Membuat surat dakwaan
5.      Melimpahkan perkara kepengadilan
6.      Panggilan kepada pihak-pihak yang berperkara
7.      Melakukan penuntutan
8.      Menuntut perkara demi kepentingan hukum
9.      Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum
10.  Melaksanakan penetapan hakim
Kemudian setelah berkas diserahkan kepengadilan maka hakim bertugas menerima, memeriksa, memutus dan mengadili.
 

D. Budaya Hukum

a.       Sejarah penerapan hukum syariat di Aceh

1.      masa kerajaan Aceh.

Kerajaan Aceh mencapai gemilang masa pemerintahan iskandar muda (1607-1636). Salah satu usaha beliau adalah meneruskan perjuangan sultan sebelumnya untuk melawan kekuasaan portugis yang sangat membenci islam. Dia juga mendorong penyebaran agama islam keluar kerajaan Aceh, seperti malaka dan pantai barat pulau sumatera. (Zakaria Ahmad, 1973:20-22). Peradilan islam dibentuk untuk mengatur tatanan hukum yang di atur oleh ulama. Pengadilan diberikan kewenangan sepenuhnya untuk mengatur jalan roda hokum tanpa meminta persetujuan pihak atasan, peranan Qadhi malikul Adil (hakim agung kesultanan) di pusat kerajaan Aceh memiliki kewenangan seperti Mahkamah Agung sekarang ini.
Setiap kawasan ada Qadhi ulee baling yang memutuskan perkara di daerah tersebut. Jika ingin mengajukan banding diteruskan pada Qadli Maliku Adil. Kedua Qadhi ini diangkat dari kalangan ulama yang cakap dan berwibawa. ( http//www.mahkamahsyariahaceh.go.id)
Sultan Aceh merupakan pelindung ajaran islam sehingga banyak ulama datang ke Aceh. Pada masa itu hidup ulama seperti Hamzah fansuri, Syamsuddin As-samathrani dan syekh Ibrahim as-syami. Pada masa iskandar thani (1636-1641) datang Nuruddin arraniri. Pada tahun 1603, bukhari al jauhari mengarang buku tajussalatih (mahkota raja-raja), sebuah buku yang membahas tata Negara yang berpedoman pada syariat islam ( zakaria ahmad, 1973: 22).
Di bawah perintah sultan juga ditulis buku mit’at-uttullah karangan syekh abdurra’uf disusun pada masa pemerintahan sultanah safiattuddin syah ( 1641-1675 ), dan buku safinat-ulhukkamyi takhlish khashham karangan syekh jalaluddin at-tarussani disusun masa pemerintahan sultan alaiddin johansyah (1732-1760). Buku ini ditulis sebagai pegangan hakim dalam menyelesaikan perkara yang berlaku di seluruh wilayah di seluruh kerajaan Aceh sendiri dan di seluruh rantau takluknya. Kedua buku ini bersumber pada buku-buku fiqih bermazhab syafi’i.
Hukum berlaku untuk setiap lapisan masyarakat termasuk kaum bangsawan dan kerabat raja. Dari cerita mulut ke mulut iskandar muda menjatuhkan hukuman rajam kepada anak kandungnya sendiri karena terbukti berzina dengan salah seorang isteri bangsawan di lingkungan istana. Raja ling eke XIV masa sultan ala’uddin ri’ayatsyah-al qahhar (1537-1571) di jatuhi hukuman oleh qadli malikul adil untuk membayar 100 ekor kerbau kepada keluarga adik tirinya yang dia bunuh dengan sengaja ( al yasa’ abu bakar, 2006:389-390)
Masa Aceh di bawah tampuk kerajaan masa dulu sudah di terapkan syariat islam,buktinya adalah:
a.       datangnya ulama-ulama besar, berarti kebutuhan dan penghargaan terhadap ulama masa itu sangat besar
b.       Di bentuknya peradilan islam yang di atur oleh ulama tanpa campur tangan penguasa, ada keleluasaan untuk menjalankan hukum syariah.
c.       Pengadilan di buat sistematis, dari tingkat daerah hingga pusat. Masalah yang tidak selesai di tingkat daerah( qadhi ulee baling) diteruskan ke mahkamah yang lebih tinggi (qadhi malikul adil).
d.      Jika kisah iskandar muda yang menghukum anaknya berzina adanya, berarti hukum rajam bagi pelaku zina sudah diberlakukan pada saat itu.
 

2.      Masa awal kemerdekaan Indonesia dan orde baru.

Ketika kemerdekaan Indonesia di deklarasikan soekarno pada 17 agustus 1945, aceh belum menjadi bagian dari NKRI. Kesediaan bergabung dalam wilayah RI karena adanya janji soekarno yang ingin memberikan kebebasan untuk mengurus diri sendiri termasuk pelaksanaan syariat islam. Janji itu terucap pada tahun 1948, bung karno dating ke aceh mencari dukungan moril dan materil bagi perjuangan bangsa Indonesia melawan belanda. Kebebasan melaksakan syariat merupakan imbalan jika bangsa Aceh bersedia memberikan bantuan.
Gayung pun bersambut. Di bawah komando daud beureueh berhasil terkumpul dana sebanyak 500.000 dolar AS. Untuk membiayai ABRI 250.000 dolar,50.000 dolar untuk perkantoran pemerintahan,100.000 dolar untuk biaya pengembalian pemerintahan RI dari Yogya ke Jakarta. Bangsa Aceh juga menyumbang emas lantakan untuk membelia oblogasi pemerintahan dan dua pesawat terbang, selawah agam dan selawah dara.
Janji yang di lontarkan sang presiden RI di wujudkan malah provinsi Aceh di satukan dengan provinsi sumatera utara tahun 1951. Hak mengurus wilayah sendiri dicabut. Rumah rakyat,dayah,menasah yang hancur porak-porandaakibat peperangan melawam Belanda dibiarkan begitu saja. Dari sinilah daud beureueh menggulirkan ide pembentukan Negara islam Indonesia( DII ), april 1953 dia bergerilya ke hutan. Namun pada tahun 1962 bersedia menyerah karena di janjikan akan di buatkan UU syariat Islam bagi rakyat Aceh (majalah Era Muslim “untold history”. 30 September 2009 jam 22:35)
Setelah itu di berikan otonomi khusus untuk menjalankan proses keagamaan, peradatan dan pendidikan namun pelaksanaan syariat islam masih sebatas yang di izinkan pemerintah pusat. Hal itu tertuang dalam keputusan penguasa perang (panglima militer 1 Aceh/ iskandar muda, colonel M.Jasin) no KPTS/PEPERDA-061/3/1962 tentang kebijaksanaan unsur-unsur syariat agama islam bagi pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh yang berbunyi : “pertama: terlaksananya secara tertib dan seksama unsur-unsur syariat agama islam bagi pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh, dengan mengindahkan peraturan perundangan Negara. Kedua: penertiban pelaksanaan arti dan maksud ayat pertama di serahkan sepenuhnya kepada pemerintah Daerah Istimewa Aceh. (al yasa Abu Bakar, 2006:33).
Pada tahun 1966 orde baru yang berkuasa, di sahkan peraturan daerah nomor 1 tahun 1966 tentang pedoman dasar majelis permusyawaratan ulama. Fungsi majelis ini adalah sebagai lembaga pemersatu umat, sebagai penasehat pemerintah daerah dalam bidang keagamaan dan sebagai lembaga fatwa yang akan memberikan pedoman kepada umat islam dalam hidup keseharian dan keagamaanya.
Langkah untuk mewujudkan syariat islam melalui PERDA yang mengatur rambu-rambu pelaksanaan stariat islam di Aceh ditempuh dengan membuat panitia khusus yang terdiri dari cendekiawan dan ulama di luar DPRD. Rancangan ini disahkan DPRD menjadi peraturan daerah nomor 6 tahun 1968 tentang pelaksanaan unsure syariat islam Daerah Istimewa Aceh. Ketika peraturan daerah ini di ajukan kedepartemen dalam negeri untuk mengesahkan namun di tolak dan secara halus (tidak resmi) meminta DPRD dan PEMDA Aceh mencabut PERDA tersebut.
Tahun 1974 pemerintah mengesahkan undang-undang tentang pokok pemerintahan didaerah yang antara lain menyatakan bahwa sebutan Daerah Istimewa Aceh hanyalah sekedar nama, peraturan sama dengan daerah lain. Syariat islam yang berlaku di tingkat gampong dig anti dengan undang-undang no:5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa ( alyasa abu bakar, 2006:31-39). Tidak ada penerapan syariat islam sama sekali baik pada masa orde lama maupun orde baru. Syariat islam Cuma senjata politik untuk memuluskan rencana penguasa.
Periode orde lama, soekarno menggunakan janji keleluasaan penerapan syriat islam untuk mencari dukungan dari pemimpin Aceh, Abu Beureueh dan berhasil. Saat janji yang tak pernah di tepati itu ditagih melalui perlawanan bersenjata, kembali jurus syariat islam yang di pergunakan dan sekali lagi berhasil. Beberapa PERDA yang mengatur tata pelaksanaan syariat namun sebatas yang di bolehkan penguasa. Masa orde lama pun tak jauh beda. Syariat islam Cuma sekedar usaha penguatan kedudukan di mata masyarakat yang sudah hilang kesabaran menanti janji pemerintah. Setelah kepercayaan masyarakat tumbuh malah syariat islam yang di laksnakan turun-temurun tingkat desa malah di hapuskan dan di ganti dengan peraturan yang berlaku di seluruh Indonesia.
 

3.      Syariat islam era otonomi khusus (sekarang).

Penerapan syariat islam era otonomi khusus untuk aceh akrab dengan kata-kata “ penerapan syariat islam secara kaffah di Aceh”. Bisa di artikan usaha untuk memberlakukan islam sebagai dasar hukum dalam tiap tindak-tanduk umat muslim secara sempurna. Istilah kaffah digunakan karena Negara akan melibatkan diri dalam pelaksanaan syariat islam di Aceh. Membuat hukum positif yang sejalan dengan syariat, merumuskan kurikulum yang islami, dan masalah-maslah lain yang berkaitan dengan syariat.(http://alainoengvoenna.wordpress.com/2011/03/14/sejarah-penerapan-syariat-islam-di-aceh/)
Dasar hukum pelaksanaan syariat islam di Aceh adalah diundangkan UU no 44 tahun 1999 dan UU no 18 tahun 2001. Dalam undang-undang nomor 44 syariat islam didefinisikan sebagai semua aspek ajaran islam. Dalam undang-undang nomor 18 disebutkan bahwa mahkamah syar’iyah akan melaksanakan syariat islam yang di tuangkan ke dalam qanun terlebih dahulu. Qanun adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah Aceh untuk melaksanakan syariat islam bagi pemeluknya di Aceh ( al yasa abu bakar, 2004:61).
Pelaksanaan syariat islam secara kaffah mempunyai beberapa tujuan , di antaranya yaitu:
  1. Alasan agama: pelaksanaan syariat islam merupakan perintah agama untuk dapat menjadi muslim yang lebih baik,sempurna, lebih dekat dengan ALLAH.
  2. Alasan psikologis: masyarakat akan merasa aman dan tenteram karena apa yang mereka jalani dalam pendidikan, dalam kehidupan sehari-hari sesuai dan sejalan dengan kesadaran dan kata hati mereka sendiri
  3. Alasan hukum: masyarakat akan hidup dalam tata aturan yang lebih sesuai dengasn kesadaran hukum, rasa keadilan dan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat.
  4. Alasan ekonomi dan kesejahteraan sosial: bahwa nilai tambah pada kegiatan ekonomi, serta kesetiakawanan sosial dalam bentuk tolong menolong, baik untuk kegiatan ekonomi atau kegiatan sosial akan lebih mudah terbentuk dan lebih solid.
 

b.      Sejarah Hukum Civil Law diindonesia

      Civil law, Civil Law merupakan sistem yang di anut oleh negara-negara Eropa kontitental yang didasarkan atas hukum Romawi, karena hukum Romawi pada mulanya bersumber kepada karya agung Kaisar Iustinianus. Sistem civil law dianut oleh negara-negara Eropa kontinetal sehingga kerap di sebut juga dengan sebutan kontinental.
      Pada mulanya civil law di perkenalkan di indonesia bersamaan dengan kedatangan orang-orang belanda untuk berdagang di Nusantara ini. Hukum yang di maksud civil law tadi di berlakukan bagi orang Belanda dan Eropa saja, tetapi kemudian melalui berbagai upaya peraturan perundang-undangan, pernyataan berlaku penundukan sukarela, pilihan hukum dan sebagainya, hukum Barat itu dinyatakan berlaku bagi golongan Eropa, orang Timur Asing(terutama cina) dan orang indonesia.
      Saat kolonialisasi bangsa belanda terhadap wilayah wilayah nusantara, penjajah juga berusaha menancapkan pengaruhnya dengan menggunakan kebijakan penerapan hukum belanda terhadap kolonial, bangsa belanda mengagap sistem hukum civil law yang dia miliki merupakan suatu sistem hukum yang paling baik dan mapan, karena hukum mereka yang notabenya hukum yang tertulis dan telah terkodifikasi dengan baik, adalah pencapian yang sempurna, dari sebuah peradaaban, suatu bangsa yang maju, bangsa belanda mengginginkan masyarakat jajahanya yang merupakan masyarakat  yang  notabenya tradisional dan diangkat tidak memiliki hukum dalam kehidupanya, harus di kenalkan pada hukum yang baik yaitu sistem hukum belanda.
      Sehingga sampai sekarang pengaruh hukum belanda tersebut masih sangat kuat karena  bangsa ini merupakan bangsa yang di jajah oleh belanda selama 350 tahun lamanya, sehingga tidak dapat di pungkiri bahwa sejak negara ini di dirikan sebagian besar hukum yang kita gunakan adalah hasil dari mengadopsi sistem hukum penjajah(belanda).
      Dari situlah sistem hukum civil law berlaku hingga sekarang dan menjadi tumpuan hukum di indonesia dan menambah keragamaan bangsa indonesia di bidang hukum.
 
 KESIMPULAN

      Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa hukum islam ialah hukum yang bersumber dari al-quran dan hadis. Sedangkan civil law suatu sistem hukum yang aturan-aturannya dikodifikasikan menjadi suatu undang-undang, seperti KUHP. Dari segi defenisi khamr anara hukum positif dengan hukum islam sama-sama mengartikan khamr merupakan sesuatu yang apabila dikonsumsi bisa memabukkan.

      Dalam hukum positif khamr dan sanksinya diatur dalam KUHP dan proses beracaranya terdapat di KUHAP. Sedangkan dalam syariat islam diaceh masalah khamr baik defenisi, sanksi dan pelaksanaan hukumnya diatur dalam qanun no 12 tahun 2003. Adapun sanksi bagi pengkonsumsi khamr hukum positif itu dipenjara selama 3 bulan sedangkan sanksi dalam qanun bagi pengkonsumsi khamr itu dicambuk sebanyak 40 kali

      Adapun Perbedaanya dari sistem hukum civil law dengan syariat islam aceh ialah memiliki peraturan yang berlaku pada masing-masing kondisi yang telah ditentukan masyarakat tersebut dan persamaan dari ke-dua sumber tersebut, dari segi sifatnya sama-sama mengikat, dari segi pencapaianya sama-sama mencapai kehidupan yang adil dan maslahat.

 

 DAFTAR PUSTAKA

KUHP

Qanun no 12 tahun 2003

Taufik Makarao, Muhammad. 2010. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek. Bogor: Ghalia Indonesia

Ahmad,zakaria. 1973.sejarah Indonesia jilid II. Medan: Monora.

Abu Bakar. Al yasa’.2004. Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam (Pendukung Qanun Pelaksanaan Syariat Islam). Dinas syariat islam : Banda Aceh.

Abu Bakar. Al yasa’.2006. syariat islam di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam-paradigma, kebijakan dan kegiatan. Dinas syariat islam: Banda aceh.

http//www.mahkamahsyariahaceh.go.id

http://annisaervina.blogspot.com/2013/05/studi-komparatif-mengenai-khamar-antara.html

http://alainoengvoenna.wordpress.com/2011/03/14/sejarah-penerapan-syariat-islam-di aceh/

http://andrisutrisno27.blogspot.com/2013/04/mengenal-pluralisme-hukum-di-indonesia.html

http://achmadsyauqie.files.wordpress.com/2012/11/sejarah-civil-law-dan-common-law-system-hubungannya-dalam-perkembangan-hukum-di-indonesia.pdf