1. Pengertian Pertanggunjawaban Pidana
Pertanggungjawaban
pidana adalah pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya
perbuatan yang dikerjakan dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut
mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya itu. Pertanggungjawaban
Pidana merupakan salah satu unsur terjadinya suatu jarimah yang disebut dengan
istilah unsur moril. Dalam syariat Islam pertanggungjawaban pidana harus
didasarkan pada tiga hal yaitu:
1.
Adanya
perbuatan yang dilarang
2.
Perbuatan
dikerjakan atas kemauan sendiri
3.
Pelaku
mengetahui akibat dari perbuatannya.
Ke-tiga hal
tersebut harus ada pada diri pelaku jika tidak ada maka tidak dapat pertanggungjawaban
bagi pelaku. Ini berarti pertanggungjawaban pidana hanya dapat diberikan pada
seorang mukallaf. Jika orang tersebut sakit ingatannya (gila), anak
dibawah umur atau belum mencapai usia baligh, dan orang yang dipaksa dan
terpaksa untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu maka orang tersebut tidak
dapat di bebani pertanggungjawaban. Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah
SAW berikut ini:
عن عا ئشة رضى
الله عنها قا لت : قالرسول الله صلى الله عليه وسلم : رفع القلم عن ثلاثة عن
النائم حتى يستيقظ وعن المبتلى حتى يبرأ وعن الصبى حتى يكبر (رواه احمد وابى داود
)
Artinya: Dari Aisyah ra, ia berkata: telah bersabda
Rasulullah SAW: dihapuskan ketentuan dari tiga hal: dari orang yang tidur
sampai ia bangun, dari orang yang gila sampai ia sembuh, dan dari anak kecil
sampai ia dewasa (H.R. Ahmad dan Abu Dawud)
Dalam
Al-qur’an Surat An-Nahl ayat 106:
`tB txÿ2 «!$$Î/ .`ÏB Ï÷èt/ ÿ¾ÏmÏZ»yJÎ) wÎ) ô`tB onÌò2é& ¼çmç6ù=s%ur BûÈõyJôÜãB Ç`»yJM}$$Î/ `Å3»s9ur `¨B yyu° Ìøÿä3ø9$$Î/ #Yô|¹ óOÎgøn=yèsù Ò=Òxî ÆÏiB «!$# óOßgs9ur ëU#xtã ÒOÏàtã ÇÊÉÏÈ
Artinya; Barangsiapa
yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah),
kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman
(dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran,
Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.
Mengenai pengartian pertanggungjawaban pidana dalam hukum positif
dan hukum pidana Islam pada dasarnya sama yakni adanya kemampuan
bertanggungjawab dari pelaku dan adanya kesalahan/ perbuatan pidana yang
dilakukan. Menurut Van Hamel: kemampuan bertanggung jawab adalah suatu keadaan
normalitas psychis dan kematangan (kecerdasan) yang membawa 3 kemampuan:
- Mampu
untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri
- Mampu
untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak
dibolehkan
- Mampu
untuk menentukan kehendaknya atas perbuatannya-perbuatannya itu
Menurut
Moeljatno, unsur terbentuknya kesalahan adalah sebagai berikut:
- Melakukan
perbuatan pidana (sifat melawan hukum)
- Diatas
umur tertentu mampu bertanggungjawab
- Mempunyai
suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan
- Tidak
adanya alasan pemaaf
2. Siapa Yang Dibebani Pertanggungjawaban
Pertanggungjawaban
pidana dibebankan pada subjek hukum yakni orang dan badan hukum. Orang yang
dimaksud adalah orang yang melakukan perbuatan baik kejahatan atau pelanggaran
dan orang tersebut bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri bukan orang lain.
Sebagaimana firman Allah dalam surat Fathir ayat 18:
wur âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 2t÷zé& 4 bÎ)ur äíôs? î's#s)÷WãB 4n<Î) $ygÎ=÷H¿q w ö@yJøtä çm÷ZÏB ÖäóÓx« öqs9ur tb%x. #s #n1öè% 3 $yJ¯RÎ) âÉZè? tûïÏ%©!$# cöqt±øs Nåk®5u Í=øtóø9$$Î/ (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# 4 `tBur 4ª1ts? $yJ¯RÎ*sù 4ª1utIt ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 4 n<Î)ur «!$# çÅÁyJø9$# ÇÊÑÈ
Artinya: dan
orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. dan jika seseorang yang
berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu Tiadalah akan
dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum
kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang
takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihatNya dan mereka
mendirikan sembahyang. dan Barangsiapa yang mensucikan dirinya, Sesungguhnya ia
mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. dan kepada Allahlah
kembali(mu).
ô`¨B @ÏHxå $[sÎ=»|¹ ¾ÏmÅ¡øÿuZÎ=sù ( ô`tBur uä!$yr& $ygøn=yèsù 3 $tBur y7/u 5O»¯=sàÎ/ ÏÎ7yèù=Ïj9 ÇÍÏÈ
Artinya: Barangsiapa
yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan
Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri;
dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu Menganiaya hamba-hambaNya (QS.
Fushshiilat: 46)
Kemudian,
pertanggungjawaban pidana tidak hanya bagi orang tetapi berlaku juga untuk
badan hukum, meskipun badan hukum tidak berbuat secara langsung mempertanggungjawabkan
perbuatannya tetapi pertanggungjawaban dikenakan kepada orang yang mewakili
badan hukum tersebut.
3. Sebab Dan Tingkat Pertanggungjawaban Pidana
Adanya
pertanggungjawaban pidana dikarenakan adanya perbuatan melawan hukum baik
berupa kejahatan atau pelanggaran atau dalam Islam disebut dengan perbuatan
maksiat. Perbuatan
melawan hukum atau perbuatan maksiat ada kalanya dilakukan dengan sengaja, semi
sengaja, karena kekeliruan dan keadaan
yang disamakan dengan keliru. Berikut penjelasan mengenai tingkat
pertanggungjawaban pidana tersebut:
a. Sengaja
(al-‘amdu)
Sengaja
artinya melakukan perbuatan yang dilarang disertai dengan adanya niat.
Misalnya; seseorang melakukan tindak pidana pembunuhan dan orang tersebut
menghendaki akibat dari perbuatan tersebut yakni kematian korban.
Pertanggungjawaban pidana ditinggak ini sangatlah berat dibanding dengan
tingkat dibawahnya
b. Menyerupai
sengaja (syibhul ‘amdi)
Menyerupai
sengaja (syibhul ‘amdi) adalah bermaksud melakukan perbuatan melawan hukum akan tetapi akibat yang
ditimbulkan perbuatan tersebut tidak dikehendaki. Dalam jarimah pembunuhan yang
menjadi tolak ukur menyerupai sengaja (syibhul ‘amdi) adalah alat yang
digunakan. Jika alat yang digunakan adalah alat yang biasa untuk membunuh maka
perbuatan tersebut termasuk kedalam jarimah pembunuhan menyerupai sengaja.
c. Keliru
(al-khata’)
Keliru
adalah terjadinya suatu perbuatan yang tidak dikehendaki pelaku dan tanpa
disertai dengan maksud melawan hukum. Perbuatan ini terjadi karena adanya
kelalaian atau kurangnya kehati-hatian. Kekeliruan terbagi menjadi dua macam
yakni: pertama keliru dalam perbuatan. Misalnya; seorang tentara
menembak burung ternyata peluru menganai orang. Kedua keliru dalam dugaan.
Misalnya: seorang tentara menembak orang lain yang dianggap anggota pasukan
musuhnya tetapi setelah diteliti ternyata anggota pasukannya sendiri.
d. Keadaan
yang disamakan dengan keliru
Ada
dua bentuk perbuatan yang disamakan dengan kekeliruan
- Pelaku
sama sekali tidak berniat melakukan perbuatan yang dilarang tetapi terjadi
diluar pengetahuannya dan kelalaiannya. Misal; seseorang yang tidur didekat
bayi di barak penampungan dan ia menindih bayi tersebut sehingga mati.
- Pelaku
melakukan suatu perbuatan yang awalnya tidak dilarang namun karena kelalaiannya
perbuatan tersebut menjadi perbuatan melawan hukum dan akibat yang dihasilkan
tidak dikehendaki. Misalnya; seorang menggali parit ditengah jalan tapi ia lupa
memberikan tanda bahaya sehingga pada malam hari terjadi kecelakaan atas
kendaraan yang lewat.
Pertanggungjawaban
pidana keadaan yang disamakan dengan keliru lebih ringan dari
pertanggungjawaban perbuatan jarimah yang keliru.
4. Beberapa Hal Yang Mempengaruhi Pertanggungjawaban Pidana
diantaranya adalah sebagai berikut;
a. Pengaruh tidak tahu
Dalam syariat Islam pelaku tidak
dapat dihukum karena suatu perbuatan yang dilarang kecuali ia mengetahui dengan
sempurna tentang dilarangnya perbuatan tersebut. Oleh karenanya jika tidak tahu
mengenai perbuatan yang dilarang tersebut maka tidak dapat dikenai
pertanggungjawaban. Akan tetapi pengertian mengetahui disini bukan pengetahuan
secara hakiki tetapi hanya adanya kemungkinan untuk mengetahui. Jika seseorang
telah dewasa, berakal sehat dan memperoleh kesempatan untuk mengetahui
perbuatan-perbuatan yang dilarang melalui jalan belajar maupun bertanya kepada
orang yang pandai maka orang tersebut dianggap mengetahui semua perbuatan yang
dilarang dan ia tidak dapat beralasan tidak tahu. Oleh karena itu para fuqaha menyatakan
bahwa didalam negeri Islam tidak dapat diterima alasan tidak mengetahui
ketentuan-ketentuan hukum. Alasan tidak tahu hanya diterima dari mualaf (orang
yang baru memeluk agama Islam) dan orang-orang yang tertinggal/ orang yang
hidup dipedalaman tidak pernah bergaul dengan kaum muslimin yang lain.
b. Pengaruh lupa
Lupa ialah tidak siapnya sesuatu pada waktu yang diperlukan. Dalam
syariat Islam lupa disejajarkan dengan keliru. Sebagaimana sabda Rasulullah
SAW;
رفع عن أمتى الخطا والنسيان ومااستكرهوا عليه
Artinya;
dihapuskan dari umatku kekeliruan, lupa, dan perbuatan yang dipaksakan
atasnya.
Dalam
AL-Qur’an surat Al-baqarah ayat 286; yang Artinya;
..."Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami
tersalah...
Mengenai hukum dan pengaruh lupa para fuqaha berbeda pendapat; pendapat
pertama, menyatakan bahwa lupa adalah alasan yang umum, baik dalam urusan
pidana maupun dalam urusan ibadah. Oleh karenanya mereka berpegang pada prinsip
umum yang menyatakan bahwa orang yang mengerjakan perbuatan yang dilarang
karena lupa maka ia tidak berdosa dan dibebaskan dari hukuman. Akan tetapi jika
perbuatan yang dilarang tersebut menimbulkan kerugian bagi oarang lain maka ia
tetap dikenakan pertanggungjawaban perdata.
Pendapat kedua, menyatakan
bahwa lupa hanya menjadi alasan hapusnya hukuman akhirat karena hukuman akhirat
didasarkan pada unsur adanya kesengajaan. Untuk hukuman dunia, lupa tidak bisa
menjadi alasan dihapuskan pidana kecuali dalam hal-hal yang berhubungan dengan
hak Allah dengan syarat ada motif yang wajar untuk melakukan perbuatan itu dan
tidak ada yang mengingatkan tentang perbuatan tersebut.
Meskipun demikian, pengakuan lupa dari pelaku tidak bisa
membebaskannya dari hukuman karena pelaku harus dapat membuktikan dari
perbuatan tersebut. Dan lupa tidak menghapuskan kewajiban pelaku terhadap
sesuatu yang seharusnya wajib dikerjakan oleh pelaku.
c. Pengaruh keliru
Keliru adalah
terjadinya suatu perbuatan diluar kehendak pelaku, dengan kata lain perbuatan
jarimah terjadi tanpa adanya niat atau kesengajaan tetapi terjadi karena
kelalaian dan ketidak hati-hatian. Dalam syariat Islam pertanggujawaban hanya
dikenakan pada perbuatan sengaja yang diharamkan oleh syara’ dan tidak
dikenakan pada perbuatan karena kekeliruan. Hal ini didasarkan pada firman
Allah SWT dalam Surat Al-Ahzab ayat 5; Artinya;
...dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi
(yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang...
Dalam keadaan
tertentu, syara’ membolehkan penjatuhan hukuman atas kekeliruan sebagai
pengecualian. Misalnya dalam jarimah pembunuhan. Sebagaimana dalam surat
An-Nisa ayat 92; yang artinya ; dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja) dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diatyang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah (membebaskan si pembunuh dari pembayaran diat). jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada Perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya (tidak memperoleh hamba sahaya yang beriman atau tidak mampu membelinya untuk dimerdekakan), Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dari ayat
diatas terdapat dua ketentuan yakni ayat pertama berisi ketentuan pokok bahwa
perbuatan karena kekeliruan tidak
dikenakan hukuman . dan ayat kedua berisi ketentuan penngecualian dari
ketentuan pokok. Oleh karena itu untuk dapat dikenakan hukuman atas perbuatan
karena kekeliruan harus ada ketentuan secara tegas dari syara’.
5. Pengaruh Rela Menjadi Objek Jarimah Atas Pertanggungjawaban Pidana
Dalam
syariat Islam, kerelaan dan persetujuan korban untuk menjadi objek jarimah
tidak mengubah sifat jarimah itu sendiri dan tidak mempengaruhi
pertanggungjawaban pidana tetapi hanya dapat menghapuskan salah satu unsur
jarimah tersebut. Misalnya; jarimah pencurian, unsur pokok dari pencurian
adalah mengambil harta milik orang lain tanpa ada persetujuan dari pemiliknya
tapi jika pemilik menyetujui pengambilan hartanya tersebut maka hukumnya adalah
mubah bukan termasuk jarimah. Ketentuan tentang tidak berpengaruhnya kerelaan
tersebut berlaku untuk semua jarimah, kecuali jarimah pembunuhan dan jarimah
penganiayaan karena dalam kedua jarimah ini terdapat unsur pengaruh pemaaf dari
korban atau dari keluarganya yang dapat menghapuskan hukuman qishash atau
diyat.
Dengan
adanya ketentuan tidak berpengaruhnya kerelaan dan adanya hak pemaaf dari
korban atau keluarga korban maka dalam penerapannya terdapat perbedaan dalam
dua jarimah tersebut, yakni sebagai berikut;
a. Rela
dibunuh
Para
fuqaha sepakat bahwa rela dibunuh atau pembunuhan yang disertai persetujuan
korban tetap dianggap sebagai jarimah pembunuhan sengaja, karena jaminan atas
keselamatan jiwa tidak dapat dihapuskan kecuali dalam batas-batas yang telah
ditentukan oleh syara’. Mengenai hukumannya para fuqaha berbeda pendapat;
- Menurut
Imam Zufar (murid Imam Abu Hanifah) dan sebagian ulama Malikiyah, hukuman yang
dikenakan bagi pelakunya atau orang yang membunuh adalah hukuman qishash karena
persetujuan tidak dapat dianggap syubhat yang dapat menghapuskan hukuman had.
- Imam
Abu Hanifah, Imam Abu Yusuf, Imam Muhammad Ibn Hasan, sebagian ulama Malikiyah
dan sebagian ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa hukuman yang harus dijatuhkan
adalah hukuman diat karena unsur kerelaan dari korban dianggap sebagai hal yang
syubhat yang dapat menghapuskan hukuman had.
- Menurut
ulama Hanabilah, sebagian fuqaha Malikiyah (suhnun) dan sebagian ulama
Syafi’iyah, rela dibunuh dapat menghapuskan hukuman qishash atau diyat, karena
kerelaan korban untuk dibunuh sama statusnya dengan pengampunan yang merupakan
hak korban.
b. Rela
dianiaya
Para
fuqaha berbeda pendapat mengenai korban rela dianiaya atau dipotong anggota
badannya, berikut pendapat mengenai hal tersebut;
- Menurut
Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, beberapa ulama Syafi’iyah dan Imam Ahmad
berpendapat bahwa rela dianaiaya dapat menghapuskan hukuman, karena sesuatu
yang bukan nyawa (anggota tubuh) disamakan dengan harta benda. Mengenai harta
benda, pemilik mempunyai kebebasan dan hak untuk tetap menguasainya atau
melepaskannya. Jadi, apabila seseorang telah merelakan anggota badannya untuk
dipotong oleh orang lain maka pelaku bisa dibebaskan dari hukuman. Imam Syafi’i
menambahkan bahwa persyaratan untuk pembebasan ini berlaku jika pelaku tidak
dijatuhi hukuman ta’zir oleh pengadilan.
- Menurut
Imam Malik, rela dianiaya tidak dapat menghapuskan hukuman, kecuali jika korban
tetap rela setelah terjadinya penganiayaan, jika setelah terjadi penganiayaan
korban mencabut kerelaannya maka pelaku tetap dijatuhi hukuman qishash.
Selanjutnya,
jika penganiayaan menyebabkan kematian maka;
- Menurut
Imam Abu Hanifah dan Imam Malik perbuatan tersebut dianggap sebagai pembunuhan
sengaja. Hukuman terhadap pelaku (menurut Imam Malik) adalah di qishash
sedangkan menurut Imam Abu Hanifah pelaku dijatuhi hukuman diyat karena
kerelaan tersebut dianggap sebagai syubhat.
- Menurut
Imam Abu Yusuf, Imam Muhammad Ibnu Hasan, beberapa ulama Syafi’yah dan Imam
Ahmad ibn Hanbal penganiayaan yang menyebabkan kematian sesudah disetujui
korban tidak mengakibatkan hukuman kecuali hukuman ta’zir, karena persetujuan
atas penganiayaan berarti setuju juga terhadap konsekuensi atau akibat yang
akan ditimbulkan.
6. Perbuatan-Perbuatan Yang Berkaitan Dengan Jarimah Dan Hubungannya
Dengan Pertanggungjawaban Pidana
Perbuatan-perbuatan
yang berkaitan dengan jarimah terbagi menjadi tiga macam, yaitu
- Perbuatan
langsung, adalah suatu perbuatan tanpa perantara telah menimbulkan jarimah dan
menjadi illat (sebab) bagi jarimah tersebut. Misalnya; penembakan
seseorang dengam pistol terhadap orang lain dan mengakibatkan kematian.
- Perbuatan
sebab, adalah perbuatan yang secara tidak langsung menimbulkan jarimah dan
menjadi illat tetapi dengan perantaraan perbuatan lain. Seperti
persaksian palsu atas orang-orang yang sebenarnya tidak bersalah dalam jarimah
pembunuhan. Dengan persaksian ini menjadi illat (sebab) adanya hukuman
mati bagi orang yang tidak bersalah tersebut tetapi tidak langsung menimbulkan
kematian, melainkan melalui perantara al-gojo yang melaksanakan hukuman mati
tersebut.
- Perbuatan
syarat, adalah suatu perbuatan yang tidak menimbulkan jarimah dan tidak menjadi
illat (sebab). Misalnya; seseorang membuat sumur untuk keperluan
sehari-hari, kemudian oleh orang lain (orang ke-dua) untuk menjerumuskan orang
ketiga hingga mati. Dalam contoh ini adanya sumur menjadi syarat kematian
korban dan penjerumusan yang dilakukan termasuk dalam perbuatan langsung.
Mengenai
pertanggungjawaban pidana, perbuatan syarat tidak ada pertanggungjawaban pidana
selama perbuatan tersebut tidak bermaksud untuk memudahkan, memberi bantuan dan
turut serta dalam melakukan jarimah. Sedangkan perbuatan langsung dan perbuatan
sebab dikenakan pertanggungjawaban pidana karena kedua perbuatan tersebut
menjadi illat (sebab) adanya jarimah. Akan tetapi, jika korban dapat
menghindarkan diri dari perbuatan sebab dan perbuatan langsung maka para fuqaha
memberikan ketentuan-ketentuan berikut ini;
- Apabila
penolakan terhadap akibat perbuatan langsung dan perbuatan sebab tidak dapat
dikuasai oleh korban dan perbuatan itu sendiri sudah cukup menimbulkan akibat
maka pertanggungjawaban atas akibat tersebut dibebankan seluruhnya kepada
pelaku
- Apabila
perbuatan tersebut tidak cukup menimbulkan akibat yang terjadi dan korban masih
bisa menghindarkan akibat tersebut tapi korban tidak melakukannya maka pelaku
hanya bertanggungjawab atas perbuatannya bukan karena akibatnya.alasannya ialah
akibat timbul karena tidak adanya usaha dari korban untuk menghindarkannya.
- Apabila
perbuatan tersebut cukup menimbulkan akibat, tetapi mudah dilakukan, seperti
melemparkan orang yang pandai berenang kedalam laut, tapi ia tidak mau berenang
dan mati. Maka menurut sebagian fuqaha, pelaku bertanggungjawab atas akibat
yang terjadi, dan menurut sebagian fuqaha lainnya pelaku hanya bertanggungjawab
atas perbuatannya saja.
REFERENSI
Ahmad Wardi Waslih, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta: PT
Sinar Grafika, 2006)
Rahmat Hakim. Hukum Pidana Islam (Fiqh
Jinayah) (Bandung: Pustaka Setia, 2010)
Modul Azas-azas Hukum Pidana, 2010, Jakarta:
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana,
(Jakarta:Rineka Cipta, 2009)
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’iy
Al-Islamy, (Beirut: Al-Kitab Al-‘araby, Tt)
r