Percobaan Melakukan Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana Islam
Percobaan dalam kamus bahasa indonesia berasal dari kata coba artinya melakukan sedikit pekerjaan untuk mengetahui atau merasakan hasilnya. Adapun defenisi secara etimologi dari percobaan ialah usaha mencoba sesuatu atau permulaan pelaksanaan sesuatu.[1] Percobaan melakukan tindak pidana dalam hukum pidana islam adalah seseorang yang berniat melakukan tindak pidana dengan mengadakan permulaan pelaksanaan tetapi perbuatannya tidak selesai baik karena kehendak diri sendiri maupun bukan karena kehendak diri sendiri.[2]
Percobaan tindak pidana dalam pasal 45 undang-undang hukum pidana mesir lebih dikenal dengan kata الشروع . Adapun defenisi dari kata الشروع yaitu:
الشروع ... بأنه البدء فى تنفيذ فعل بقصد ارتكاب جناية أو جنحة إذاأوقف أوخاب أثره لآسباب لادخل لآردة الفا عل فيها
“ percobaan adalah mulai melaksanakan suatu perbuatan dengan maksud melakukan (jinayah atau janhah), tetapi perbuatan tersebut tidak selesai atau terhenti karena ada sebab yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehendak pelaku”.[3]
Istilah percobaan dikalangan para fuqaha tidak didapati. Akan tetapi, apabila defenisi itu kita perhatikan maka apa yang dimaksud dengan istilah tersebut juga terdapat pada mereka, karena dikalangan mereka juga dibicarakan tentang pemisahan antara jarimah yang sudah selesai dan jarimah yang tidak selesai. Tidak adanya perhatian para fuqaha secara khusus terhadap jarimah percobaan disebabkan oleh dua hal.[4]
1. Percobaan melakukan jarimah tidak dikenakan
hukuman had atau qishas melainkan dengan hukuman ta’zir
bagimanapun macamnya jarimah-jarimah itu. Para fuqaha lebih
memperhatikan jarimah-jarimah hudud dan qishas, karena unsur dan
syarat-syaratnya sudah tetap tanpa mengalami perubahan. Disamping itu,
hukumannya juga sudah ditentukan macam dan jenisnya tanpa boleh dikurangi atau
ditambah. Akan tetapi untuk jarimah-jarimah ta’zir, hampir seluruhnya
diserahkan kepada penguasa untuk menetapkan hukumannya. Hakim diberi wewenang
yang luas dalam menjatuhkan hukuman dengan berpedoman kepada batas maksimal dan
batas minimal yang telah dtentukan oleh penguasa. Ta’zir juga mengalami
dapatmengalami perubahan sesuai dengan perubahan masyarakat. Oleh karena itu,
para fuqaha tidak mencurahkan perhatian dan pembicaraan secara khusus dan
tersendiri, karena percobaan melakukan jarimah sudah termasuk jarimah
ta’zir.
2. Dengan adanya aturan-aturan yang sudah mencakup
dalam syara’ tentang hukuman untuk jarimah ta’zir maka aturan-aturan
yang khusus untuk percobaan tidak perlu diadakan, sebab hukuman ta’zir
dijatuhkan atas perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau
kafarat.[5]
Berbicara masalah percobaan
melakukan jarimah para ulama hanya membahas secara umum, seperti ketika
mereka membicarakan tentang fase-fase pelaksanaan jarimah. Seseorang yang
melakukan jarimah setidaknya melalui tiga fase, yaitu fase pemikiran, fase
persiapan dan fase pelaksanaan.[6]
Adapun uraian dari fase-fase[7]
diatas ialah sebagai berikut:
- Fase pemikiran
Memikirkan dan merencanakan suatu
jarimah tidak dianggap sebagai maksiat yang dijatuhi hukuman,karena menurut
ketentuan yang berlaku dalam syariat hukum islam, seseorang tidak dapat
dituntut atau dipersalahkan karena lintassan hatinya atau niat yang terkandung
dalam hatinya. Hal ini didasarkan pada Hadits Nabi SAW:
عن ابى هر ير رضي الله عنه قال: قال
النبي صل الله عليه وسلم: ان الله تجاوزلى عن أمتى ما وسوست به صد وره ما لم تعمل
أوتكلم
Abu Hurairah RA
berkata: Nabi SAW Bersabda: sesungguhnya Allah mengampuni umatku
karena aku atas apa yang terlintas dalam hatinya, selama belum dikerjakan atau
diucapkan.
Ketentuan ini sudah terdapat dalam
syariat islam sejak mulai diditurunkannya tanpa mengenal pengecualian. Akan
tetapi,hukum positif baru mengenalnya pada akhir abad ke-18 Masehi, yaitu
sesudah revolusi prancis. Sebelum masa itu niat dan pemikiran terhadap
perbuatan jarimah dapat dihukum kalau dapat dibuktikan.
- Fase persiapan
Fase ini merupakan fase
yang kedua dimana pelaku menyiapkan alat-alat yang akan dipakai untuk
melaksanakan jarimah. Misalnya, membeli senjata untuk membunuh orang
lain atau membuat kunci palsu untuk mencuri. Fase persiapan juga tidak dianggap
sebagai maksiat yang dapat dihukum kecuali apabila perbuatan persiapan itu
sendiri dipandang sebagai maksiat, seperti bercumbu dengan wanita lain yang
bukan istri di tempat yang sunyi, sebagai persiapan untuk melakukan zina.
Alasan untuk tidak memasukkan fase persiapan ini sebagai jarimah bahwa
perbuatan yang dapat dihukum itu harus berupamaksiat dan baru terwujud apabila
berisi pelanggaran terhadap hak masyarakat atau hak individu.
- Fase Pelaksanaan
Fase ini merupakan fase ketiga
setelah perencanaan dan persiapan yang matang. Fase inilah perbuatan pelaku
dapat dianggap sebagai jarimah. Untuk dapat dikenakan hukuman maka dalam hal
ini cukup apabila perbuatan itu sudah dianggap sebagai maksiat, yaitu berupa
pelanggaran terhadap hak masyarakat atau hak individu dan perbuatan itu
dimaksudkan pula untuk melaksanakan unsur materil, meskipun antara perbuatan
tersebut dengan unsur materilnya masih terdapat beberapa langkah lagi.
Misalanya seseorang berniat untuk
membunuh orang lain dan untuk melaksanakannya ia menikam korban dengan pisau
sehingga korban memperoleh luka ditangannya dan korban belum sampai meninggal.
Dengan demikian kriteria untuk menentukan permulaan pelaksanaan jarimah dan
merupakan percobaan yang bisa dihukum ialah apabila perbuatan tersebut sudah
termasuk maksiat. Disamping itu niat dan tujuan pelaku juga sangat penting
untuk menentukan apakah perbuatan itu maksiat atau bukan. Hukum positif sama
pendapatnya dengan hukum islam tidak adanya hukuman pada fase pemikiran dan
fase persiapan serta membatasi hukuman pada fase pelaksanaan. Akan tetapi,
sarjana-sarjana hukum positif berbeda pendapatnya tentang penentuan saat
permulaan pelaksanaan tindak pidana itu, ada yang menganut teori subjektif ada
juga yang menganut teori objektif.
Menurut Penganut teori subjektif ini antara
lain Van Hamel. Dinamakan subjectieve pogingstheorie karena aliran ini mencari sandaran pada diri
orangnya. Alam pikirannya ialah harus ada pada permulaan pelaksanaan bila telah
nampak kehendak yang kuat dari pelaku untuk melaksanakan suatu kejahatan. Dasar hukumnya adalah karena orangnya telah
membuktikan kehendak jahatnya sehingga membahayakan kepentingan hukum. Teori
objektif menurut Simon teori ini mencari dasar pada objek diluar diri orangnya
yaitu perbuatan. Alam pikirannya ialah
dari sifat perbuatan yang dilakukan oleh orang itu dapat ditentukan apakah
perbuatan itu termasuk permulaan pelaksanaan atau tidak. Dasar hukum poging
menurut objectieve pogingstheorie, karena
perbuatan itu menurut sifatnya telah membahayakan kepentingan hukum karenanya
poger harus dipidana. Untuk menentukan perbuatan manakah yang merupakan
permulaan pelaksanaan kejahatan, teori objektif mengadakan perbedaan antara
delik formil dan delik materil. Dalam delik formil suatu perbuatan itu
merupakan permulaan pelaksanaan apabila dilakukan oleh yang mempunyai kehendak
untuk melakukan kejahatan dan merupakan permulaan dari perbuatan yang dilarang
dan diancam dengan pidana. Dalam delik materil suatu perbuatan itu merupakan
perbuatan permulaan pelaksanaan bila menurut sifatnya dapat menimbulkan akibat
yang dilarang dan diancam dengan pidana. H.R yang juga menganut teori objektif
dalam menentukan permulaan pelaksanaan bila perbuatan itu mempunyai hubungan
langsung dengan kejahatan yang dikehendaki oleh seseorang (Satochid
Kartanegara).[8]
Percobaan Kejahatan Dalam Hukum Positif
Di Indonesia, hukum pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku pada suatu masyarakat dalam suatu sistem negara yang mengadakan dasar-dasar atau aturan-aturan untuk menentukan tindakan-tindakan yang tidak dapat dilakukan dan dengan disertai ancaman hukuman bagi yang melanggar aturan tersebut. Aturan-aturan tersebut diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang terdiri dari tiga buku, yaitu: buku ke-1 berisi tentang aturan umum, buku ke-2 berisi tentang kejahatan terhadap kepentingan umum dan buku ke-3 berisi tentang pelanggaran. Dalam hukum pidana suatu kejahatan yang meskipun kejahatan tersebut belum selesai dilakukan namun pelaku masih dapat dikenakan hukuman, hal ini didasarkan pada pasal 53 KUHP tentang percobaan melakukan kejahatan.[9]
Percobaan kejahatan ialah “een
begin van uitvoering van het misfrijf” atau pelaksanaan mula suatu
kejahatan yang tidak diselesaikan. Menurut bahasa percobaan berarti usaha
mencoba sesuatu atau usaha hendak berbuat atau melakukan sesuatu. Menurut
Wirjono Prodjodikoro pada umumnya kata percobaan berarti suatu usaha mencapai
suatu tujuan yang pada akhirnya tidak atau belum tercapai.[10]
Menurut memorie van toelichting (MVT)
menjelaskan percobaan yang satu sama lainnya berbeda yaitu:
a. Percobaan adalah pelaksanaan tindakan dari kejahatan
yang telah dimulai tetapi tidak selesai
b. Percobaan adalah suatu permulaan pelaksanaan
tindakan yang dinyatakan untuk melakukan suatu kejahatan tertentu
Menurut arti kata sehari-hari
percobaan yaitu menuju suatu hal tetapi tidak sampai pada suatu hal yang dituju
itu atau hendak berbuat sesuatu sudah dimulai tetapi tidak selesai.
Misalnya membunuh orang tetapi orang
yang ditujunya tidak mati. Dalam KUHP
percobaan kejahatan dirumuskan dalam psal 53.[11]
Adapun Rumusan dari pasal 53 KUHP:
1. Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika
niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak
selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya
sendiri.
2. Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan,
dalam hal percobaan dikurangi sepertiga
3. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas
tahun
4. Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan
kejahatan selesai
Dari rumusan pasal 53 KUHP diatas
menurut C.S.T. Kansil, Pasal 53 KUHP hanya menyatakan pada hal apa suatu
percobaan untuk melakukan kejahatan diancam hukuman. Pasal 53 ayat 1
menjelaskan bahwa suatu percobaan (yang sia-sia) untuk meakukan suatu delik
dapat dihukum, apabila:” percobaan untuk melakukan kejahatan terancam hukuman
bila maksud si pembuat sudah nyata dengan dimulainya perbuatan itu dan
perbuatan itu tidak selesai hanyalah lantaran hal yang tidak bergantung kepada
kemauannya sendiri”.[12]
Didalam Hukum pidana umum,
bentuk-bentuk percobaan menurut Jonkers yang dikutip oleh Amzah dan Abidin
dalam bukunya yang berjudul bentuk-bentuk khusus perwujudan delik (percobaan,
penyertaan, dan gabungan delik) dan hukum penitensier menyatakan bahwa terdapat tiga bentuk
percobaan[13] yaitu:
1. Vooltooid
poging (delit manque) atau percobaan selesai. Umpamanya seorang
menembak musuhnya, tetapi peluru yang ditembakkannya tidak mengenai sasaran
(korban). Perbuatan menembak tersebut merupakan percobaan selesai atau delit
manque.
2. Geschorsten
poging atau percobaan terhenti atau terhalang.
Perbuatan yang lebih jauh dari delik selesai, tetapi masih termasuk delik
percobaan ialah apa yang disebut geschorste poging atau percobaan
terhalang. Contohnya: seorang mengarahkan senapannya membidik sasaran, tetapi
sebelum menarik picu senapan, tiba-tiba tangannya dipukul orang lain sehingga
senapannya jatuh.
3. Gequalificeerde
poging atau percobaan berkualifikasi. Suatu perbuatan
terlaksana sehingga mendekati delik selesai. Umpamanya, seseorang berniat untuk
membunuh orang lain dan untuk melaksanakannya ia menikam korban dengan pisau
sehingga korban memperoleh luka ditangannya. Jelaslah bahwa terdakwa melakukan
percobaan pembunuhan menurut pasal 53 Jo 338 KUHP. Perbuatan melukai tangan
korban ditinjau tersendiri, terlepas dari perbuatan percobaan adalah delik
selesai yaitu menganiaya berat pasal 354 KUHP atau menganiaya biasa pasal 351
KUHP ataupun menganiaya biasa yang mengakibatkan luka berat pasal 351 (2) KUHP.
Sedangkan menurut Hazewinkel-Suringa yang
dikutip oleh Amzah dan Abidin dalam bukunya yang berjudul bentuk-bentuk khusus
perwujudan delik (percobaan, penyertaan, dan gabungan delik) dan hukum
penitensier, hanya menyebut dua bentuk percobaan yaitu[14]:
1.
Delit manque dan tentative. delit manque atau beentigter
versuch ataupun voltooide poging, percobaan selesai oleh
Hazewinkel-Suringa diberikan contoh
kasus yang diadili oleh Hoge Raad Nederland (Mahkamah Agung Belanda) dalam arrest-nya
tanggal 24 Februari 1948 (NJ 1948, 272) yang casus positif-nya (duduk
perkaranya) adalah sebagai berikut. “terdakwa telah meracuni istrinya dengan maksud untuk menghilangkan
nyawanya. Dengan menuangkan racun kedalam makanan/minuman istrinya, ia telah
melakukan segala perbuatan untuk mencapai niatnya, yaitu pembunuhan berencana (
ex pasal 340 KUHP). Akan tetapi, kebetulan istrinya mempunyai daya tahan tubuh
yang luar biasa. Walaupun terdakwa telah melakukan perbuatan kriminal secara
sempurna (iter criminis), efeknya tertinggal.” KUHP tidak megatur
tentang percobaan selesai seperti halnya KUHP Swiss Art. 22 schweizerisches strafgesetzbuch ( O.A.
Germann, 1974: 41) menamakan vollen-deter versuch. Percobaan selesai (vollendeter
versuch) menurut art 22 KUHP Swiss terjadi jika perbuatan melawan hukum
telah dilaksanakan sampai titik akhir, tetapi delik tidak terwujud atau
akibatnya tidak terjadi, pidana yang akan dijatuhkan kepadanya dapat
diringankan. Jadi dalam hal ini hakim diberi wewenang yang luas untuk
menerapkan pidana ringan. Hal ini berbeda dengan pasal 53 KUHP kita yang
menyatakan bahwa bila hakim hendak menjatuhkan pidana tertinggi kepada pelaku
percobaan, pidana terberat adalah pidana maksimum untuk pelaku delik selesai
dikurang dengan sepertiganya.
2.
Bentuk
percobaan yang ke-2 Hazewinkel-Suringa, disebutnya tentative atau
unbeendigter versuch percobaan yang tidak selesai yang
diberikannya contoh ialah kasus yang diadili Hoge Raad pada tanggal 24 Februari
1984 (NJ 1984, 275)
Casus Positie
“ terdakwa berupaya untuk membunuh istrinya dengan
menikamnya dengan pisau beberapa kali, tetapi sebelum mengenai sasaran tubuh
yang dapat mematikan, seorang tetangganya datang menghalangi sehingga perbuatan
terakhir terhalangi.” Bentuk percobaan yang disebut tentative atau unbeendigter
versuch oleh Hazewinkel-Suringa
dinamakan unvollendeter versuch oleh pasal 21 KUHP Swiss, yang
menyatakan bahwa pembuat telah memulai perbuatan pelaksanaannya verbrechens dan
vergehens, tetapi die strafbare tatigkeit nich zu ende, ia dapat
dijatuhi pidana yang lebih ringan (pasal 65). Perlu dikemukakan bahwa pada
umumnya percobaan terdiri atas rangkaian perbuatan-perbuatan pelaksanaan.
Perbuatan terakhirlah yang belum dilaksanakan oleh terdakwa disebabkan oleh
keadaan diluar kehendaknya
Sedangkan dalam hukum pidana
Islam tidak ada bentuk-bentuk khusus tentang percobaan melakukan jarimah,
para fuqaha hanya membedakan menjadi dua yakni jarimah selesai dan jarimah
belum selesai. Tetapi jika dilihat dari segi pendirian hukuman bagi pelaku
percobaan melakukan jarimah didalam hukum pidana Islam lebih mencakup
dari hukum positif. Sebab menurut hukum pidana Islam setiap perbuatan yang
tidak selesai yang sudah melanggar hak masyarakat atau hak individu dan
perbuatan itu dimaksudkan pula untuk melaksanakan unsur materilnya, meskipun
antara perbuatan tersebut dengan unsur materilnya masih terdapat beberapa
langkah lagi, perbuatan ini harus dijatuhi hukuman, dan dalam hal ini tidak ada
pengecualiannya. Sedangkan didalam hukum pidana umum bagi yang melakukan
percobaan pelanggaran tidak bisa dikenakan hukuman. [15]
Sebab Tidak Selesainya Perbuatan
Suatu perbuatan jarimah tidak
selesai dilakukan oleh pembuat disebabkan karena salah satu dari dua hal
sebagai berikut:[16]
a.
Adakalanya karena terpaksa, misalnya karena tertangkap
b.
Adakalanya karena kehendak sendiri. Berdasarkan kehendak
sendiri ini ada dua macam, yaitu: bukan karena taubat dan karena taubat
Kalau tidak selesainya jarimah itu
karena karena terpaksa maka pelaku tetap harus dikenakan hukuman. Selama
perbuatannya itu sudah dikategorikan ma’siat. Demikian pula halnya kalau
pelaku tidak menyelesaikan jarimahnya karena kehendak sendiri tetapi bukan karena taubat. Akan tetapi,
apabila tidak selesainya itu karena taubat dan kesadarannya maka jarimah nya
itu adakalanya jarimah hirabah dan adakalanya bukan jarimah
hirabah. Apabila jarimah yang tidak selesai itu merupakan jarimah
hirabah maka pelaku dibebaskan dari hukuman. Hal ini didasarkan kepada
firman Allah dalam Surah Al-Maidah ayat 34, yang artinya: Kecuali mereka
yang taubat sebelum kamu tangkap mereka maka ketahuilah bahwa allah maha
pengampun lagi maha penyayang.[17]
Jadi orang yang melakukan jarimah
hirabah itu sudah menyatakan taubat maka hapuslah hukumannya, walaupun ia
telah menyelesaikan jarimah itu. Dengan demikian maka lebih-lebih lagi
kalau jarimah hirabahnya itu tidak diselesaikan. Apabila jarimah yang
tidak selesai itu selain jarimah hirabah maka pengaruh taubat disini
masih diperselisihkan oleh para fuqaha. Dalam hal ini ada tiga pendapat, yaitu[18]:
1.
Menurut pendapat beberapa fuqaha dari Mazhab Syafi’i dan
Hanbali, taubat bisa menghapuskan hukuman. Alasannya adalah sebagai berikut:
a. Al-qur’an menyatakan hapusnya hukuman untuk jarimah
hirabah, sedangkan jarimah hirabah adalah jarimah yang paling
berbahaya. Kalau taubat dapat menghapuskan hukuman untuk hukuman yang paling
berbahaya maka lebih-lebih lagi untuk jarimah-jarimah yang lain
b. Dalam menyebutkan beberapa jarimah,
al-Qur’an selalu mengiringinya dengan pernyataan bahwa taubat dapat
menghapuskan hukuman. Untuk hapusnya hukuman tersebut, para fuqaha memberikan
syarat sebagai berikut:
1) Jarimah yang dilakukan adalah jarimah yang
menyinggung hak Allah, seperti zina, khamr, qadzaf
2) Taubatnya itu harus dibarengi dengan tingkah
laku yang baik. Hal ini menghendaki berlakunya suatu masa tertentu yang cukup
untuk menegetahui ketulusannya itu.
2. Menurut pendapat Imam Malik, Imam Abu Hanifah
dan beberapa fuqaha dari kalangan Mazhab Syafi dan Hanbali, taubat tidak
menghapuskan hukuman, kecuali hanya untuk jarimah hirabah yang sudah ada
ketentuannya saja, karena kedudukan hukuman adalah sebagai kifarat ma’siat.
Alasnnya adalah bahwa rasulullah SAW.
Menyuruh melaksanakan hukuman rajam atas Mas’is dan wanita Ghamidiyah, walaupun
orang-orang itu sudah mengakui perbuatanya dan minta dibersihkan dari dosa
dengan jalan menjatuhkan hukuman atas diri mereka. Perbuatan mereka itu
dinamakan taubat, sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah dalam kaitan dengan
wanita Ghamidiyah tersebut. Disamping itu kalau dengan bertaubat semata-mata
hukuman dapat hapus maka akibatnya ancaman hukuman tidak akan berguna, sebab
setiap pelaku jarimah tidak sukar untuk mengatakan telah bertaubat.[19]
3. Menurut pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim
dari pengikut Mazhab Hanbali, hukuman dapat membersihkan ma’siat dan
taubat bisa menghapuskan hukuman untuk jarimah-jarimah yang berhubungan
dengan hak Allah, kecuali apabila pelaku meminta untuk dihukum seperti halnya
Ma’iz dan wanita Ghamidiyah, ia bisa dijatuhi hukuman walaupun ia telah
bertaubat.[20]
Pendapat Ibnu Taimiyyah dan Ibnu
Qayyim ini kelihatannya merupakan jalan tengah yang mengkompromikan pendapat
pertama dan kedua yang bertentangan, menurutnya bila kejahataannya merupakan
hak allah maka taubatnya itu dapat menghapuskan hukuman dan bila kejahatannya
itu merupakan hak Adami maka taubatnya tidak menghapuskan hukuman.[21]
[1] Tanti Yuniar, kamus lengkap bahasa indonesia, ( Jakarta: Agung
Media Mulia, tt) hlm. 140
6 Abdullah Al-Faruq. Hukum Pidana Dalam
Sistem Hukum Pidana Islam ( Bogor: Ghalia Indonesia, 2009) hlm. 88
[3] Ahmad Wardi Muslich, pengantar
dan asass-asas hukum pidana islam. ( jakarta: sinar grafika. 2006) hlm.60
[4] Ahmad Wardi Muslich, (2006; 60). Lihat juga di Abdullah Al-Faruq. Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Pidana Islam ( Bogor: Ghalia Indonesia, 2009) hlm. 88-89. Menerangkan bahwa mengenai percobaan, para fuqaha kurang begitu memperhtikan karenkan tiga sebab; 1) Menurut syariat Islam, memiliki niat jahat tidak dihitung sebagai kejahatan selama ia belum melakukan kejahatannya. Sebaliknya, jika ia memiliki niat baik tetapi belum sempat melakukan, maka hal itu telah dihitung sebagai satu kebaikan. 2) Percobaan melakukan tindak pidana tidak dikenal dengan istilah percobaan, melainkan dikenal dengan istilah “jarimah belum selesai”. 3) Para fuqaha lebih menaruh perhatian pada tindak pidana hudud dan tindak pidana qishash
[6] A. Dzajuli. Fiqh Jinayah (upaya menanggulangi kejahatan dalam islam)
( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000)
hlm. 22
[7] Ahmad Wardi Muslich, pengantar dan asass-asas hukum pidana islam. (
jakarta: sinar grafika. 2006) hlm. 61
[8] Ahmad Ruben, Mustafa Abdullah. Intisari Hukum Pidana (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1983) hlm.
[9] Andi Hamzah. KUHP & KUHAP. ( Jakarta: Rineka Cipta, 2011) hlm.
26
[10]
Pipin Syarifin. Hukum Pidana
Diindonesia (Bandung: Pustaka Setia, 2000) hlm. 55
[11] Andi
Hamzah. Op Cit, hlm. 26
[12] Christine S.T. Kansil. Latihan Ujian Hukum Pidana (Jakarta: Sinar Grafika) hlm. 209.
[13] A. Hamzah dan A.Z. Abidin Farid. Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik (Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Delik) Dan Hukum Penitensier. ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006) hlm. 38-39
[20] Mahmud Syaltut. Aqidah dan
Syri’ah Islam (Jakarta: Bina Aksara, 1985) hlm. 29-31
[21]A. Djazuli. Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam).
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000) hlm. 24
0 comments:
Post a Comment