Saturday, July 4, 2020

Sebab Diperbolehkannya Perbuatan Yang Dilarang (Asbab Al-ibahah)

pengecualian dalam hukum pidana

Pada umumnya hapusnya pertanggungjawaban pidana karena dua hal yakni pertama karena hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan atau disebut juga dengan asbab al-ibahah (sebab diperbolehkannya perbuatan yang dilarang). Kedua karena hal-hal yang berkaitan dengan keadaan pelaku disebut dengan asbab raf’i al-uqubah atau sebab hapusnya hukuman.

Asbab Al-Ibahah (Sebab Diperbolehkannya Perbuatan Yang Dilarang), 

Menurut Abdul Qadir Audah sebab-sebab diperbolehkannya perbuatan yang dilarang itu ada enam macam, diantaranya adalah pembelaan yang sah, pendidikan dan pengajaran, pengobatan, permainan olahraga, hapusnya jaminan keselamatan, menggunakan wewenang dan melaksanakan kewajiban. Berikut uraian lengkapnya: 

1. Pembelaan Yang Sah (الدفاع الشرعي  )

Pembelaan yang sah dalam syariat Islam terbagi menjadi dua macam yaitu pembelaan yang bersifat khusus (daf ‘ush sha’il) dan pembelaan umum atau disebut dengan istilah amar ma’ruf nahi munkar.

a. Pembelaan Khusus

Pembelaan Khusus (daf ‘ush sha’il) adalah kewajiban seseorang untuk mempertahankan atau melindungi diri (diri sendiri atau diri orang lain) dan harta sendiri atau harta orang lain dengan tenaganya dari setiap serangan yang datang. Pembelaan khusus, baik yang bersifat wajib maupun mempertahankan hak hanya bertujuan untuk menolak serangan bukan sebagai hukuman atas serangan tersebut. Hal ini dapat dipahami bahwa meskipun sudah ada pembelaan namun penjatuhan hukuman atas penyerangannya masih bisa dilakukan.
Adapun dasar hukum pembelaan khusus adalah sebagai berikut;
Artinya:...Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu...( QS. Al-Baqarah 194)

 عن سعيدبن زيد قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من قتل دون ماله فهو شهيد (رواه الأربعة وصححه الترمذى

Artinya; Dari Sa’id Ibn Zaid berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW “barang siapa yang dibunuh karena mempertahankan hartanya, maka ia termasuk mati syahid” (Hadis diriwayatkan oleh imam yang empat dan di shahihkan oleh At-Tirmidzi)

Kemudian, Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan di shahihkan oleh At-Tirmidzi, bahwa Nabi SAW bersabda;
من قتل دون دينه فهو شهيد ومن قتل دون دمه فهو شهيد ومن قتل دون أهله فهو شهيد

Artinya; barang siapa yang dibunuh karena mempertahankan agamanya maka ia mati syahid, dan barangsiapa yang dibunuh karena mempertahankan  jiwanya maka ia mati syahid, dan barang siapa yang dibunuh karena mempertahankan hartanya maka ia mati syahid.

عن أنس رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: انصر اخك ظالما اومظلوما قيل كيف انصره ظالما ؟ قال تحجزه عن الظلم فإن ذلك نصره (رواه أحمد والبخارى والترمذى )
Artinya; dari Anas ra, ia berkata telah bersabda Rasulullah SAW; “tolonglah saudaramu yang menganiaya atau dianiaya”. Rasul ditanya bagaimana caranya menolong saudara yang menganiaya? Nabi menjawab; kamu halangi dia dari perbuatan zalimnya, itulah cara menolongnya (HR. Ahmad, Al-Bukhari, dan At-Tirmidzi).

Dari kedua dasar hukum diatas (al-qur’an dan hadis) terdapat petunjuk tentang keharusan/ perintah membela diri, harta dan kehormatan diri sendiri, syara’ juga memerintahkan untuk membela diri, harta dan kehormatan orang lain. Hal ini bisa menjadi sebab terlepasnya si terserang dari pertanggungjawaban pidana. Meskipun demikian, seseorang dapat dikatakan melakukan pembelaan yang sah apabila memenuhi empat syarat berikut ini:
  • Adanya tindakan melawan hukum. Maksud syarat pertama ini ialah perbuatan si penyerang merupakan perbuatan yang melawan hukum, jika tidak melawan hukum maka tidak boleh melakukan pembelaan atau penolakan. Untuk menilai suatu perbuatan dianggap sebagai serangan, tidak ada batasan yang pasti. Boleh jadi serangan itu berat dan bisa juga serangan ringan tetapi tidak menghalangi adanya pembalasan. Berikut ini pendapat para fuqaha mengenai serangan; Menurut Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Imam Malik mengemukakan bahwa penyerangan tidak perlu berupa jarimah yang diancam dengan hukuman tetapi cukup dengan perbuatan yang tidak benar (perbuatan yang tidak sah). Kecakapan si penyerang tidak diperlukan oleh karena itu serangan dari orang gila dan anak kecil dapat dilawan. Menurut Imam Abu Hanifah dan murid-murinya mengemukakan bahwa serangan harus berupa perbuatan yang diancam dengan hukuman dan dilakukan oleh orang yang mampu dimintai pertanggungjawaban pidana. oleh karena itu, jika suatu perbuatan (serangan) yang tidak diancam dengan hukuman melainkan hanya perbuatan yang tidak sah dan si penyerang tidak cakap (tidak bisa dimintai petanggungjawaban) maka orang yang diserang hanya berada dalam keadaan yang terpaksa. Menurut Imam Abu Yusuf seorang murid Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa serangan (perbuatan) diisyaratkan harus berupa jarimah yang diancam dengan hukuman tetapi pelakunya tidak harus orang yang cakap (mampu dimintai pertanggungjawaban pidana).
  • Penyerangan harus terjadi seketika, yakni pembelaan yang dilakukan ketika terjadi penyerangan bukan dilakukan setelah jeda waktu yang lama terjadinya serangan.
  • Tidak ada jalan lain untuk mengelakkan serangan
  • Penolakan serangan dilakukan secara seimbang atau sesuai dengan kekuatan si penyerang. Serangan seseorang adakalanya ditujukan pada kehormatan jiwa atau harta benda. Jika membela diri untuk membela kehormatan, maka hukumnya wajib, para fuqaha sepakat mengenai hal ini. Misalnya seorang laki-laki hendak memperkosa seorang wanita, sedangkan cara untuk mempertahankan kehormatan tidak ada selain membunuh laki-laki tersebut maka perempuan itu wajib membunuhnya. 
Mengenai hukum membela diri untuk membela jiwa, para fuqaha berbeda pendapat. Menurut mazhab Hanafi dan pendapat yang rajih dalam mazhab maliki dan mazhab Syafi’i membela jiwa hukumnya wajib. Sedangkan menurut pendapat yang lemah dalam mazhab maliki dan mazhab syafi’i serta pendapat yang kuat di dalam mazhab hanbali membela jiwa hukumnya boleh bukan wajib.Sebagian ulama hanabilah mengadakan pemisahan antara keadaan fitnah atau hura-hura dengan keadaan lainnya. Menurut pendapat sebagian ulama syafi’iyah dan malikiyah berpendapat bahwa dalam keadaan hura-hura atau fitnah hukum membela diri adalah boleh, sedangkan dalam keadaan bukan fitnah atau hura-hura maka hukum pembelaan diri atau jiwa hukumnya wajib.
Pembelaan terhadap harta benda sebagian besar fuqaha berpendapat hukumnya boleh. Sebagian fuqaha berpendapat bahwa hukum pembelaan terhadap harta menjadi wajib jika harta tersebut berupa hewan yang bernyawa atau harta titipan atau harta orang yang diserang itu sendiri tetapi ada hak orang lain didalamnya. Seperti harta jaminan dan harta sewaan.

b. Pembelaan Umum (amar ma’ruf nahi munkar)

Pembelaan secara umum adalah suatu pembelaan untuk kepentingan umum atau sering disebut dengan amar ma’ruf nahyi munkar. Hal ini merupakan tugas yang dibebankan kepada setiap orang yang mngaku dirinya muslim agar masyarakat selalu berada pada kebenaran dan menjauhi segala bentuk keburukan. Hal ini didasarkan pada Surat Ali Imran ayat 104; “dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar  merekalah orang-orang yang beruntung. Amar ma’ruf nahi munkar adalah perbuatan yang bersifat umumdan sulit untuk merinci jenisnya. Menurut Abdul Qadir Audah mengartikan ma’ruf adalah suatu perkataan atau perbuatan yang pantas dan bersesuaian dengan ketentuan syari’at, prinsip-prinsip umum dan jiwa syari’at. Adapun kemunkaran adalah suatu perbuatan atau perkataan yang dilarang syara baik dilakukan oleh mukallaf maupun bukan mukallaf. Jadi yang dimaksud dengan amar ma'ruf nahi munkar adalah mengajak untuk berbuat atau berkata baik sesuai dengan syariat dan mengajak meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh syara'. 

Mengenai hukum amar ma'ruf nahi munkar, para ulama berbeda pendapat:
Sebagian ulama mengatakan bahwa hukum amar ma'ruf nahimunkan adalah fardhu 'ain (kewajiban setiap individu). Hal ini didasarkan pada hadis Nabi Muhammad Saw yang artinya:"barangsiapa diantara kamu melihat kemunkaran dan dia sanggup mengubahnya dengan tangannya, hendaklah ia mengubah dengan tangannya, kalau tidak dapat dengan tangannya hendaklah ia mengubah dengan lisannya, kalau tidak dapat hendaklah ia mengubah dengan hatinya dan ini adalah selemah-lemahnya iman.
Kemudian, sebagian fuqaha menyatakan bahwa hukum amar ma'ruf nahi munkar/ pembelaan umum adalah fardhu kifayah (kewajiban kolektif) karna pembelaan di samakan dengan jihad yang dapat dilakukan oleh sebagian saja dan dapat menghapuskan sebagian yang lain. Adapun yang menjadi hujjah dari pendapat ini ialah Qur'an Surat Ali Imran ayat 104:" hendaklah diantara kamu ada segolongan orang yang menyuruh pada kebaikan dan mencegah kepada keburukan mereka itulah orang-orang yang beruntung.

2. Pendidikan dan pengajaran (التأديب  )

Orang-orang yang berwenang untuk memberikan pengajaran adalah orang tua terhadap anak dan suami terhadap istri.

Pengajaran suami terhadap istri

Syariat Islam memberikan kedudukan dan wewenang kepada suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga yang bertugas mengatur dan mencukupi kebutuhan rumah tangga, baik secara materil maupun immateril. Sebagai imbalan dari kewajiban tersebut laki-laki diberi wewenang untuk memberikan pengajaran kepada istri jika tidak mentaati perintahnya. Sebagaimana firman Allah dalam al-qur'an surat An-nisa ayat 34:" kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu wanita yang shalehah adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz, nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah maha tinggi lagi maha besar.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa upaya yang dilakukan suami sebagai tindakan refresif menurut ulama harus tertib. Pertama harus diberi nasihat, jika istri mengulangi lagi maka dirumahkan ditempat tidurnya dan jika tidak berhasil, suami berhak memukul istrinya.
Sebagian ulama syafi'i dan Hanbali membolehkan suami melakukan pemukulan pada perbuatan pertama tanpa terlebih dahulu memberinya nasihat.
Adapun wilayah pemukulan dan cara pemukulan, para ulama sepakat bahwa pukulan yang dibolehkan ialah seperti halnya hukuman jilid pada jarimah ta'zir. Pemukulan tidak diarahkan ke muka, kepala dan daerah sensitif lainnya. Pukulan juga tidak boleh sampai menimbulkan noda yang suli dihilangkan, mengeluarkan darah, mematahkan tulang dan sebagainya. Jika pemukulan seperti ini yang dilakukan sebagai pengajaran maka suami tidak dikenai pertanggungjawaban pidana. Tetapi jika pemukulannya merusak anggota badan dan menghilangkan fungsi anggota badan maka suami dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

Pengajaran terhadap anak kecil

Seperti halnya seorang suami terhadap istrinya, seorang ayah dan ibu pun dapat melakukan tindakan hukuman sebagai pengajaran terhadap anak. Hak yang sama diberikan pada kakek, guru, pelatih, orang yang diberi wasiat dan orang yang menjadi wali anak tersebut. Mereka semua diberikan wewenang untuk memberikan pukulan sebagai pengajaran selama tindakannya tersebut sesuai dengan tujuan pendidikan.

3. Pengobatan ( التطبيب )

Seorang dokter dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana akibat hasil pengobatan yang membahayakan pasien jika memenuhi syarat-syarat berikut ini:
  • Orang yang melakukan pengobatan adalah dokter (orang yang ahli dalam mengobati penyakit yang diderita pasien.
  • Pengobatan dilakukan dengan tujuan untuk mengobati dan didasarkan pada niat yang baik.
  • Upaya pengobatan yang dilakukan sesuai dengan aturan-aturan ilmu kedokteran.
  • Disetujui oleh pasien (orang yang sakit) atau orang yang menjadi wakilnya
Menurut Imam Abu Hanifah yang menjadi dasar penghapusan pertanggungjawaban pidana pengobatan didasarkan pada dua sebab, yakni:
  • Kebutuhan masyarakat
  • Adanya persetujuan dari pasien atau keluarganya.
Menurut Imam Syafi'i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa sebab terhapusnya pertanggungjawaban pidana bagi dokter adalah adanya itikad baik dari dokter untuk menyembuhkan pasiennya bukan untuk menyakiti dan adanya persetujuan dari pasien.
Menurut Imam Malik yang menjadi sebab hapusnya pertanggungjawaban pidana bagi dokter ialah adanya persetujuan (izin) dari penguasa dan persetujuan dari pasien. Dengan adanya izin dari penguasa dokter dapat dengan leluasa menjalankan pekerjaannya dan dengan adanya izin dari pasien memberikan kebebasan bagi dokter untuk mengambil tindakan pengobatan demi kesehatan pasien. Jika kedua syarat tersebut terkumpul maka hapuslah pertanggungjawaban pidana selama tindakan pengobatannya tidak menyimpang dari prinsip-prinsip pengobatan dan tidak lalai dalam melakukan pekerjaannya. 

4. Permainan Olahraga ( العاب الفرو سية )

Pada pertandingan olahraga, kemungkinan terjadinya kecelakaan sangat besar, terutama pada cabang olahraga  yang berkenaan dengan kekuatan fisik dan dan adu kekuatan. Seperti tinju, gulat, sepak bola dan lain-lain. Apabila kecelakaan yang timbul karena olahraga keras dan diakibat oleh konsekuensi dari permainan itu sendiri maka tidak dikenai pertanggungjawaban. Namun, kecelakaan yang timbul karena kesengajaan atau kecurangan untuk mencelakakan lawan maka pelakunya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

5. Hilangnya jaminan keselamatan ( إهدارالأشخاص)
Yang dimaksud hilangnya jaminan keselamatan adalah kebolehan diambilnya tindakan terhadap jiwa seseorang  atau anggota badannya atau harta bendanya. Mereka yang dikategorikan telah kehilangan jaminan keselamatan jiwa atau hartanya adalah:
  • Kafir Harbi yaitu mereka yang non muslim dan berdomisili di negeri lawan atau negeri sendiri  namun tidak mempunyai perjanjian keamanan bukan musta'min.
  • Pelaku jarimah riddah (murtad)
  • Pelaku zina muhsan (orang yang telah menikah tapi kemudian berzina)
  • Pelaku jarimah hirabah (perampokan, pembegalan Baik disertai pembunuhan atau hanya perampasan harta.
  • Pelaku Makar
  • Pelaku perbuatan yang dikenai qishash
  • Pelaku jarimah pencurian yang dikenakan hukuman had.
Oleh karena itu, jika seorang muslim membunuh orang yang termasuk dalam 7 kategori diatas, ia tidak dikenai pertanggungjawaban pidana sebagai pelaku jarimah qishas karena 7 golongan/kategori tersebut telah hilang jaminan keselamatan atas jiwanya. Meskipun darah ke 7 golongan tersebut halal (boleh dibunuh) namun yang memiliki wewenang untuk melaksanakan hukuman/pembunuhan tersebut adalah penguasa, dan kita sebagai masyarakat tidak boleh main hakim sendiri. Jika tindakan main hakim sendiri terhadap 7 golongan orang tersebut terjadi maka pelakunya dikenai hukuman ta'zir.

6. Menggunakan wewenang dan melaksanakan kewajiban bagi pihak yang berwajib ( حقوق الحكاموواجباتهم )
Syarian Islam meletakkan kewajiban-kewajiban kepada para penguasa yang harus dilaksanakan untuk mewujudkan kemaslahatan bersama. Mereka yang melaksanakan kewajiban tersebut adalah petugas yang berwenang melaksanakannya sesuai dengan tugas yang dimilikinya. Jika seseorang melakukan pekerjaannya tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana meskipun pekerjaan tersebut untuk orang lain diharamkan oleh syara'. Contoh: Sniper atau penembak jitu yang melaksanakan tugasnya mengeksekusi hukuman mati. 
Dalam contoh ini menembak mati/membunuh adalah perbuatan yang tidak diperbolehkan dan pelakunya dapat dihukum atau dijatuhi pudana, namun karena sniper tersebut menjalankan tugas yang menjadi kewajibannya maka terhapuslah pertanggungjawaban pidana tersebut untuk si penembak (sniper).


Related Posts

0 comments:

Post a Comment