Friday, July 3, 2020

Sebab Hapusnya Hukuman (Asbab Raf'i Al-uqubah)

Hapusnya Pertanggungjawaban Pidana dan Pembatalan Hukuman

Empat Sebab Hapusnya Hukuman

1. Karena Paksaan

Paksaan atau daya paksa dekenal dengan istilah ikrah. Adapaun pengertian paksaan menurut istilah banyak ditemukan pendapat para ahli, yaitu sebagai berikut:

Menurut Khudari Bek mengartikan paksaan adalah menyuruh orang lain berbuat sesuatu yang tidak disenanginya baik berupa ucapan atau perbuatan yang seandainya tidak disuruh, tidak akan dikerjakan.

Menurut Abdul Qadir Audah mendefenisikan paksaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan seseorang karena orang lain oleh karena itu hilanglah kerelaannya tidak sempurna pilihannya. Atau paksaan adalah ancaman oleh seseorang atas orang lain dengan sesuatu yang tidak disenangi  untuk mengerjakan sesuatu sehingga karenanya hilang kerelaannya. 
Menurut sebagian fuqaha yang dikutip oleh ahmad wardi muslich mendefinisikan paksaan adalah ancaman berupa hukuman segera dari orang yang memaksa yang mampu untuk melakukan paksaannya, dan paksaan tersebut dapat mempengaruhi orang yang berakal sehat untuk mengerjakan  apa yang dipaksakan padanya serta timbul dugaan kuat pada diri yang dipaksa bahwa ancaman tersebut benar-benar akan delakukan padanya jika ia menolak apa yang dipaksakan padanya.
Menurut Sayyid Sabiq mendefinisikan paksaan adalah memaksa seseorang atas sesuatu dengan disertai ancaman akan membunuh, memukul, memenjarakan, melenyapkan harta, kesaksian yang keras atau dengan kepedihan yang kuat.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa paksaan adalah upaya yang dilakukan oleh pemaksa untuk mengerjakan apa yang ia inginkan kepada penerima paksaan tersebut disertai ancaman. Sehingga orang yang dipaksa tidak mempunyai pilihan lain kecuali melakukan apa yang diinginkan oleh pemaksa, oleh karena itu orang yang dipaksa kehilangan pilihan (ikhtiar) dan keridhaan (kerelaan),

Dalam hukum Islam, paksaan adalah salah satu pengecualian yang menjadi sebab gugurnya pertanggungjawaban pidana. Meskipun demikian, tidak semua bentuk paksaan dapat menyebabkan hilangnya pertanggungjawaban pidana. Paksaan terbagi terbagi menjadi dua macam yaitu:
  • Paksaan yang menghilangkan kerelaan tapi tidak menghilangkan pilihan bagi yang dipaksa. Artinya meskipun hilang sifat kerelaan dari si terpaksa namun ia masih memiliki pilihan untuk melakukan (menerima) atau tidak melakukan (menolak). Akibat Paksaan jenis ini tergolong ringan karena hanya menghilangkan kebebasan dan rasa sakit yang relatif ringan. Paksaan jenis ini dalam hukum islam disebut dengan ikrah ghair mulji dan dalam hukum positif disebut dengan paksaan relatif (relative overmarch).karena sifat paksaan ini relatif maka tidak bisa sepenuhnya menghilangkan pertanggujawabannya.
  • Paksaan yang menghilangkan kerelaan dan hak pilih yaitu paksaan yang dikhawatirkan menghilangkan nyawa atau anggota badan. Dalam hukum pidana Islam disebut dengan istilah ikrah mulji dan dalam hukum positif disebut dengan istilah daya paksa absolut (absolute overmarch). Mengenai pertanggujawaban pidana dalam kasus pembunuhan (menghilangkan nyawa) atau penganiayaan para ulama sepakat bahwa pemaksaan tersebut tidak dapat menghilangkan pertanggungjawaban pidana.
Menurut sebagian ulama mazhab hanbali, suatu perbuatan dianggap sebagai paksaan apabila terdapat perbuatan materil atau adanya siksaan, seperti pukulan, cekikan dan sebagainya. Jika tidak ada perbuatan materil yang mendorongnya dan mendahului perbuatan yang dilakukan oleh orang yang dipaksa maka tidak dapat disebut sebagai paksaan.
Menurut pendapat dari imam Malik, imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i dan diikiti jg oleh pendapat yang rajih dari imam Hanbali menyatakan bahwa ancaman tanpa harus didahuli dengan pukulan atau siksaan sudah cukup dikatakan sebagai paksaan. Justru jika ancaman sudah diwujudkan dalam perbuatan nyata maka orang yang dipaksa sudah tidak merasa takut dan khawatir lagi terhadap ancaman. Menurut pendapat kelompok ini ancaman berupa siksa, pukulan dan dibunuh merupakan pendorong terjadinya perbuatan yang dipaksakan. 

Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai paksaan jika memenuhi syarat-syarat berikut ini:

  • Ancaman yang menyertai paksaan adalah berat. Seperti ancaman dibunuh, disiksa jika tidak menuruti keinginan pemaksa. Ukuran berat ringannya suatu ancaman sifatnya subjektif dan berbeda-beda menurut kadar dan cara pemaksaannya. Para ulama sepakat bahwa suatu ancaman dianggap sebagai paksaan jika ditujukan pada diri orang yang dipaksa. Jika ancaman tersebut ditujukan pada orang lain yang terdapat bersama-sama dengan orang yang dipaksa maka para ulama berbeda pendapat. Menurut ulama Malikiyah ancaman sudah merupakan meskipun ditujukan pada orang lain dan bukan keluarganya. Menurut ulama Hanafiah ancaman tidak dianggap paksaan apabila ditujukan pada selain orang yang dipaksa. Tetapi menurut ulama Hanafiah yang lain, ulama Syafi'i dan ulama Hanabilah berpendapat bahwa suatu paksaan dianggap ada apabila ancaman tersebut ditujukan pada anak, orang tua dan keluarga terdekat si penerima paksaan. Kemudian ancaman juga harus berupa perbuatan yang tidak sah.
  • Ancaman harus seketika yang diduga kuat pasti terjadi, jika si terpaksa tidak melakukan perintah si pemaksa.
  • Orang yang memaksa mempunyai kemampuan untuk melaksanakan ancamannya, meskipun ia bukan penguasa atau petugas tertentu.
  • Ada keyakinan kuat pada diri oarang yang dipaksa bahwa yang diancamkan tersebut benar-benar akan terjadi.

2. Mabuk

Mabuk adalah hilangnya akal sebagai akibat dari minum-minuman keras atau khamr atau yang sejenisnya. Menurut MUhammad ibn Hasan dan Imam Abu Yusuf dan pendapat imam yang lainnya berpendapat bahwa orang mabuk adalah orang yang banya mengigau pada pembicaraannya. Hal ini didasarkan pada Q.S. An-Nisa ayat 43 yang artinya: hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan...
Menurut pendapat yang kuat dari ulama yang empat orang mabuk tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pertanggungjawaban. Akan tetapi dalam pertanggungjawaban secara perdata orang yang mabut tetap bisa dimintai pertanggungjawaban sebab harta dan jiwa orang lain harus tetap dijamin keselamatannya dan pembebasan pidana tidak mempengaruhi hukuman perdata.

3. GILA

Menurut Abdul Qadir Audah, gila adalah hilangnya akal, rusak, atau lemah. Defenisi ini bersifat umum yang mencakup gila (junun), dungu (al-'ithu) dan semua jenis penyakit kejiwaan yang sifatnya menghilangkan kemampuan berpikir.

Macam-macam gila yakni

  • Gila terus menerus (al-junun al-muthbaq) adalah keadaan seseorang yang tidak dapat berpikir sejak lahir maupun yang datang kemudian. Pelakunya tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana sama sekali
  • Gila berselang yaitu orang yang terkena penyakit gila tapi tidak terus-menerus (terkadang ia sembuh dan terkadang ia gila). Pelaku tetap dikenakan pertanggungjawaban pidan ketika ia dalam kondisi sehat
  • Gila sebagian yaitu orang yang tidak dapat berfikir dalam perkara-perkara tertentu. Mengenai pertanggungjawaban pidana  pelaku tetap dikenakan pertanggungjawaban pidana tetapi ketika tidak dapat berfikir ia bebas dari pertanggungjawaban pidana
  • Dungu (al-'ithu) adalah orang yang minim pemahamannya, pembicaraannya, bercampur baur, tidak beres pemikirannya, baik hal itu bawak an sejak lahir atau timbul kemudian karena suatu penyakit.

Pengaruh gila terhadap Pertanggujawaban pidana terbagi menjadi dua yaitu

a. Gila yang menyertai jarimah

Jika pelaku memang sudah gila ketika melakukan jarimah maka pelaku dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana. Meski demikian, keadaan gila pada dasarnya tidak membolehkan berbuat jarimah melainkan hanya menghapuskan hukuman dari pelakunya karena pada saat melakukan jarimah pelaku tidak memiliki kekuatan berfikir. Hal ini sejalan dengan hukum positif di Indonesia yang tercantum pada pasal 44 KUHP yang menyatakan:
(1). Tiada dapat dipidana barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebab kurang sempurna akal atau sakit berubah akal.
(2). Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal maka dapatlah hakim memerintahkan memasukkannya ke rumah sakit jiwa selama-lamanya satu tahun untuk diperikasa.

b. Gila Yang Datang Kemudian
Apabila seseorang atau pelaku ketika berbuat jarimah ia tidak gila kemudian karna suatu sebab, sebelum putusan hakim pelaku menjadi gila, maka para ulama berbeda pendapat:
Menurut ulama Syafi'i dan ulama Hanabilah berpendapat bahwa gila yang timbul sebelum adanya putusan hakim tidak dapat menghentikan pemeriksaan pengadilan. Sebab, adanya pembebanan hukum (taklif) ialah ketika ia melakukan jarimah.
Menurut Ulama Hanafiyah dan ulama Malikiyah berpendapat bahwa kondisi gila sebelum adanya putusan hakimdapat memberhentikan proses pemeriksaan pengadilan dan menundanya sampai keadaan gilanya hilang. Alasannya ialah untuk dikenakan hukuman diisyaratkan adanya taklif dan syarat taklif harus ada ketika proses pemeriksaan.

Apabila setelah adanya putusan hakim si terhukum menjadi gila, berikut pendapat ulama mazhab mengenai hal tersebut:
Menurut Imam Malik berpendapat bahwa keadaan gila dapat menunda pelaksanaan hukuman sampai si terhukum sembuh dari gilanya. Jika hukuman yang dikenakan berupa hukuman qishash maka dapat digantikan dengan diat (hukuman qishash menjadi gugur).
Menurut Imam Abu Hanifah berpendapat jika gila timbul setelah si terhukum diserahkan untuk dilaksanakan hukumannya maka hukuman tersebut tidak boleh ditunda.  Jika hukuman yang dikenakan berupa qishash dan si terhukum menjadi gila ketika akan diserahkan untuk dieksekusi maka hukuman qishash diganti dengan diat (menggunakan metode Istihsan).
Menurut Imam Syafi'i dan Imam Ahmad berpendapat pelaksanaan hukuman tetap dilaksanakan kecuali dalam jarimah hudud yang pembuktiannya hanya dengan pengakuan si terhukum. Karena dalam jarimah hudud si terhukum memiliki hak untuk menarik kembali pengakuannya baik sebelum pelaksanaan hukuman maupun sesudahnya. Jika ia menarik kembali pengakuannya maka pelaksanaan hukuman harus dihentikan karena dimungkinkan penarikan pengakuan tersebut adanya ketulusan dan kebenaran dari hati terhukum.

4. Anak Dibawah Umur

Pertanggungjawaban pidana dalam syariat Islam didasarkan pada dua hal yakni kekuatan berfikir (idrak) dan pilihan (ikhtiar). Berdasarkan kedua hal tersebut maka kedudukan anak dibawah umur itu berbeda-beda, sejak ia dilahirkan sampai ia memiliki kedua kemampuan tersebut. Secara alamiah terdapat 3 masa yang dialami seseorang sejak kecil sampai dewasa:
  • Masa tidak adanya kemampuan berfikir. Masa ini dimulai sejak lahir sampai usia 7 tahun anak dianggap belum mempunyai kemampuan berpikir dan ia disebut sebagai anak yang belum mumayyiz. Masa ini anak masih belum bisa dimintai pertanggungjawaban pidana.
  • Masa kemampuan berpikir yang lemah (usia 7 tahun-baligh). Usia baligh menurut kebanyakan ulama ialah usia 15 tahun dan sudah dianggap dewasa menurut hukum. Menurut Imam Abu Hanifah dan ulama Malikiyah menetapkan usia dewasa adalah usia 18 tahun. Pada periode ini, anak belum bisa dikenakan pertanggungjawaban pidana akan tetapi ia bisa dikenakan hukuman berupa pengajaran.
  • Masa Kemampuan Berpikir Penuh. Dimulai sejak usia dewasa yakni 15 tahun menurut kebanyakan pendapat ulama, dan 18 tahun menurut Imam Abu Hanifah dan pendapat termashur dari ulama Maliki. Pada usia ini anak sudah dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana.
Dalam hukum pidana Indonesia, ketentuan mengenai pertanggungjawaban anak dibawah umur siatur dalam pasal 45-pasal 47 KUHP.

Pembatalan Hukuman

Pembatalan hukuman adalah suatu hukuman yang telah dijatuhkan oleh pengadilan tidak dapat dilaksanakan karena berbagai macam sebab, baik dari usaha-usaha terhukum maupun dari diri terhukum atau berkaitan dengan masalah waktu hukuman. Berikut ini beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya pembatalan hukuman:
  • Pelaku jarimah meninggal dunia. Hukuman mati tidak bisa dilakukan tapi jika hukuman yg dijatuhkan berupa harta seperti: denda, dan diyat masih bisa diteruskan.
  • Hilangnya anggota badan yang akan dijatuhi hukuman. Misalnya dalam kasus jarimah qishash maka hukuman dipindahkan menjadi hukuman diyat
  • Bertaubat. Menurut ulama taubat hanya ada pada jarimah hirabah namun mereka juga memberikan keluwesan kepada ulil amri untuk memberikan sanksi ta'zir demi kemaslahatan umum
  • Dalam kasus yang menyangkut hak perseorangan, pelaku dimaafkan atau dibebaskan oleh keluarga korban dari hukuman qishash dan diyat
  • Lewatnya waktu tertentu (daluwarsa waktu) dalam pelaksanaan hukuman.
Baca juga artikel terkait Pengecualian dalam hukum pidanaPertanggungjawaban PidanaFikih Jinayah

Related Posts

0 comments:

Post a Comment