Friday, June 5, 2020

JARIMAH (TINDAK PIDANA)

Macam-macam Tindak Pidana, macam-macam jarimah, jarimah, tindak pidana,


JARIMAH (TINDAK PIDANA)


Dalam fiqh jinayah tindak pidana dikenal dengan istilah jarimah. Jarimah berasal dari kata ( جرم) yang sinonimnya (كسب وقطع) artinya: berusaha dan bekerja. Hanya saja pengertian usaha disini khusus untuk usaha yang tidak baik atau usaha yang dibenci oleh manusia. Dari pengertian tersebut dapat ditarik suatu defenisi yang jelas, bahwa jarimah itu ialah melakukan perbuatan-perbuatan atau yang dipandang tidak baik, dibenci oleh manusia karena bertentangan dengan keadilan, kebenaran, dan jalan yang lurus (agama).

Menurut istilah jarimah ialah (محظورات شرعية زجرالله عنها بحداو تعزير) Artinya: larangan-larangan Syara’ (yang apabila dikerjakan) diancam allah dengan hukuman had atau ta’zir. Dalam hal ini seperti halnya kata jinayah sama dengan kata jarimah pun mencakup perbuatan ataupun tidak berbuat, mengerjakan atau meninggalkan, aktif ataupun pasif. Oleh karena itu, perbuatan jarimah bukan saja mengerjakan perbuatan yang jelas-jelas dilarang oleh peraturan (Syara’) tetapi juga dianggap sebagai jarimah kalau seseorang meninggalkan perbuatan yang menurut peraturan harus dia kerjakan.


Defenisi jarimah tersebut sejalan dengan defenisi Tindak pidana dalam hukum positif. menurut Simons  defenisi Tindak pidana dalam hukum pidana barat adalah suatu perbuatan manusia yang diancam dengan pidana, melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. Perbuatan tersebut bisa bermakna positif maupun negatif artinya ia bisa berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu atau membiarkannya

Secara garis besar kita bisa meninjau jarimah dari beberapa segi, antara lain:

  1. Jarimah Ditinjau Dari Segi Berat Ringannya Hukuman

Para ulama membagi masalah jinayah dari segi berat ringannya hukuman menjadi tiga bagian, antara lain:

a.    Jarimah Hudud

Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan had. Pengertian hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara’ dan menjadi hak Allah (hak masyarakat). Artinya jarimah had  itu telah ditentukan bentuk (jumlahnya) dan juga hukumannya  secara jelas, baik melalui melalui Al-quran maupun As-Sunnah. Jarimah-jarimah yang menyangkut hak tuhan pada prinsipnya adalah jarimah yang menyangkut masyarakat banyak, yaitu untuk memelihara kepentingan, ketentraman dan keamanan masyarakat. Oleh karena itu,  hak tuhan identik dengan hak mayarakat, maka hukuman ini tidak dikenal pemaafan atas pembuat jarimah baik oleh perseorangan yang menjadi korban jarimah maupun oleh Negara.

Dalam hubungannya dengan hukuman had pengertian hak Allah ialah bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan oleh perseorangan (orang yang menjadi korban atau keluarganya) atau oleh masyarakat yang diwakili oleh Negara. Adapun macam-macam jarimah hudud antara lain: perzinahan, qadzaf, khamr (minim-minuman keras), sariqah (pencurian), hirabah (pembegalan), al-baghyu (pemberontakan), riddah (murtad).


b.    Jarimah Qishas dan Diyat

Secara etimologis qishash berasal dari kata (- يقص- قصصا قص) yang berarti mengikuti menelusuri jejak atau langkah. Adapun arti qishash secara terminologi yang dikemukakan oleh Al-Jurjani yaitu mengenakan sebuah tindakan kepada pelaku persis seperti tindakan yang dilakukan (sanksi hukum) kepada pelaku persis seperti tindakan yang dilakukan oleh pelaku tersebut (terhadap korban).

Jarimah qishas dan diyat adalah jarimah yang telah ditentukan oleh Syara’ dan tidak ada batas minimal atau maksimal. Perbedaannya dengan hukuman had adalah bahwa had merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan qishas dan diyat adalah hak manusia (individu). Adapun yang dimaksud dengan hak manusia menurut Mahmud Syaltut ialah suatu hak yang manfaatnya kembali kepada orang tertentu.

Dalam hubungannya dengan hukuman qishash dan diyat maka pengertian hak manusia yang dimaksud adalah bahwa hukuman tersebut bisa dihapuskan atau dimaafkan oleh korban dalam hal korban  masih hidup dan kepada wali atau ahli warisnya kalau korban meninggal dunia. Oleh karena itu, seorang kepala negara dalam kedudukannya sebagai penguasa pun tidak berkuasa memberikan pengampunan bagi pembuat jarimah lain halnya kalau si korban tidak mempunyai wali atau ahli waris, maka kepala negara bertindak sebagai wali bagi seseorang tersebut.

Jarimah qishash dan diyat ini hanya ada dua macam, yaitu pembunuhan dan penganiayaan. Namun apabila diperluas maka ada lima macam, yaitu:

1.      Pembunuhan sengaja ( القتل العمد )

2.      Pembunuhan menyerupai sengaja (شبه العمد القتل  )

3.      Pembunuhan karena kesalahan ( الخطأ القتل )

4.      Penganiayaan sengaja (  العمدالجرح )

5.      Penganiayaan tidak sengaja ( الخطأ الجرح )

 

c.        Jarimah Ta’zir 

1.      Pengertian ta’zir

      Menurut arti bahasa lafaz Ta’zir berasal dari kata عزر yang sinonimnya yaitu:

     1.       ورد منع  yang artinya mencegah dan menolak

2.      ادب yang artinya mendidik

3.       ووقرعظم yang artinya mengagungkan dan menghormati

4.         آعان وقوى ونصر yang artinya membantunya, menguatkan dan menolong

Dari keempat pengertian tersebut yang paling relevan adalah pengertian yang pertama: المنع والرد ( mencegah dan menolak ) artinya mencegah dan menolak agar tidak mengulangi perbuatannya. dan pengertian ke-dua:  ديبالتأ (mendidik) artinya untuk mendidik dan memperbaiki pelaku agar ia menyadari perbuatan jarimah nya kemudian meninggalkan dan menghentikannya.

Sedangkan menurut istilah ta’zir didefenisikan oleh Al-Mawardi:

والتعزير تأ د يب على ذنوب لم تشرع فيهاالحد ود

Ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa yang hukumannya

 

Menurut Wahbah Az-Zuhaili memberikan defenisi ta’zir  yakni:

 

وهو شرعا : العقو بة المشروعة على معضية او جناية لاحد فيها ولاكفا رة

Ta’zir menurut hukum syara’ adalah hukuman yang ditetapkan atas perbuatan ma’siat atau jinayah yang tidak dikenakan hukuman had dan tidak pula kafarat.

 

Dari kedua defenisi diatas dapat penulis simpulkan bahwa ta’zir adalah  bentuk hukuman yang tidak disebutkan ketentuan kadar hukumannya oleh Syara’ dan menjadi kekuasaan waliyyul amri atau hakim. Sebagian ulama mengartikan ta’zir sebagai hukuman yang berkaitan dengan pelanggaran hak Allah dan hak hamba yang tidak ditentukan Al-qur’an dan hadits. Ta’zir berfungsi memberikan pengajaran kepada si terhukum dan sekaligus mencegahnya untuk tidak mengulangi perbuatan serupa.

2.      Dasar di syariatkan ta’zir 

a.       Hadits nabi yang diriwayatkan oleh Abi Burdah

عن ابى برد ة الأنصار ىرضى الله عنه أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : لايجلد فوق عشرة ا سوا ط ألافى حد من حد ود الله تعالى ( متفق عليه )

Dari Abi Budah Al-Anshari ra. Bahwa ia mendengar rasulullah SAW bersabda: tidak boleh dijilid diatas sepuluh cambuk kecuali didalam hukuman yang telah ditentukan oleh Allah SWT ( Muttafaq ‘alaih).

Maksud dari hadits diatas menjelaskan tentang batas hukuman ta’zir yang tidak boleh lebih dari sepuluh kali cambukan, untuk membedakan dengan jarimah hudud. Menurut Al-Kahlani, para ulama sepakat bahwa yang termasuk jarimah hudud adalah zina, pencurian, minum khamr, hirabah, qadzaf dan murtad. Selain dari jarimah tersebut termasuk kepada jarimah ta’zir, meskipun ada juga beberapa jarimah yang diperselisihkan oleh ulama, seperti: liwath, lesbian, dan lain-lain.


b.      Hadits nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah

وعن عءشة رضى الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : أقيلوا ذوى الهيأت عشراتهم ألا الحدود ( رواه أحمد وأبو داود والنسا ءى)

Dari Aisah ra bahwa nabi SAW bersabda: ringankanlah hukuman bagi orang-orang yang tidak pernah melakukan kejahatan atas perbuatan mereka, kecuali dalam jarimah-jarimah hudud. (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i dan Baihaqi)

 

Maksud dari hadits ini mengatur tentang teknis pelaksanaan hukuman ta’zir yang bisa berbeda antara satu pelaku dengan pelaku yang lainnya, tergantung kepada status mereka dan kondisi-kondisi lain yang menyertainya.


3.      Syarat supaya hukuman ta’zir bisa dijatuhkan adalah hanya syarat berakal saja. Maka oleh karena itu, hukuman ta’zir bisa dijatuhkan kepada setiap orang yang berakal yang melakukan suatu kejahatan yang tidak memiliki ancaman hukuman had, baik laki-laki maupun perempuan, muslim maupun kafir, baligh atau anak kecil yang sudah berakal. Anak kecil yang sudah mumayyiz bisa dijatuhi hukuman ta’zir namun bukan sebagai bentuk hukuman, akan tetapi sebagai bentuk  mendidik dan memberi pelajaran.

4.      Ciri-ciri tindak pidana ta’zir.

a.       Landasan dan ketentuan hukumnya didasarkan pada ijmak

b.      Mencakup semua bentuk kejahatan/kemaksiatan selain hudud dan qishash.

c.   Pada umumnya ta’zir terjadi pada kasus-kasus yang belum ditetapkan ukuran sanksinya oleh syara’ meskipun jenis sanksinya telah tersedia

d.      Hukuman ditetapkan oleh penguasa qadhi ( hakim)

e.       Didasari pada ketentuan umum syari’at Islam dan kepentingan masyarakat secara keseluruhan


5.      Kadar hukuman ta’zir

 Hukuman ta’zir disesuaikan dengan ukuran kejahatan yang dilakukan dan kadar tingkatan pelakunya sesuai dengan hasil ijtihad hakim. Adapun tentang masalah batas maksimal hukuman ta’zir para ulama berbeda pendapat.

a.  Menurut Abu Hanifah, ulama Syafi’iyah dan ulama Hanabilah mengatakan hukuman ta’zir tidak boleh melebihi hukuman had terendah, akan tetapi paling tidak harus dikurangi satu dera. Menurut ulama’ Syafi’iyah, hukuman had terendah bagi orang yang berstatus merdeka adalah empat puluh kali dera bagi yang mengkonsumsi minuman keras. Sedagkan menurut ulama lain, hukuman dera sebanyak empat puluh kali adalah untuk orang yang berstatus budak.

b. Menurut ulama’ Malikiah mengatakan, imam boleh menghukum ta’zir dengan jumlah deraan berapapun juga sesuai dengan kebijakan dan hasil ijtihadnya, meskipun melebihi hukuman had tertinggi sekalipun. Hukuman ta’zir boleh sama dengan hukuman had, lebih sedikit atau banyak sesuai dengan kebijakan dan hasil ijtihad imam


6.      Ruang lingkup  dan pembagian jarimah ta’zir

         Ruang lingkup ta’zir ialah sebagai berikut:

a. Jarimah hudud atau qishas-diyat yang terdapat syubhat, dialihkan ke sanksi ta’zir. Contoh:  orang yang mencuri harta anaknya dn orang tua yang membunuh anaknya

b. Jarimah hudud atau qishas-diyat yang tidak memenuhi syarat. Contoh: percobaan pencurian, percobaan zina, dan lain-lain

c. Jarimah yang ditentukan Al-Quran dan Hadits, namun tidak ditentukan sanksinya. Misalnya: penghinaan, saksi palsu, dan lain-lain

d. Jarimah yang ditentukan oleh ulil amri untuk kemaslahatan umat, seperti penipuan, pencopetan, pornografi, dan lain sebagainya

        

Hukuman ta’zir dilihat dari segi hak yang dilnggar dibagi menjadi dua yakni:

a. Jarimah ta’zir yang menyinggung hak Allah, yaitu semua perbuatan yang berkaitan dengan kemaslahatan umum. Misalnya: berbuat kerusakandimuka bumi, pencurian yang tidak memenuhi syarat, dll.

b. Jarimah ta’zir yang menyinggung hak individu, yaitu setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian pada orang tertentu bukan orang banyak. Contohnya: penghinaan, penipuan dan pemukulan.


7.      Tujuan penjatuhan Ta’zir

     Secara umum tujuan diberlakukannya hukuman ta’zir ialah sebagai berikut:

     a.    Sebagai tindakan preventif ( pencegahan). Ditujukan bagi orang lain yang          belum melakukan jarimah agar tidak melakukan jarimah

b.   Represif ( membuat pelaku jera). Tindakan dini dimaksudkan agar pelaku tidak mengulangi perbuatan jarimah dikemudian hari

c.     Kuratif (islah). Ta’zir harus mampu membawa perbaikan perilaku terpidana dikemudian hari

d.   Edukatif (pendidikan). Hukuman ta’zir diharapkan dapat mengubah pola hidup pelaku kejahatan kearah yang lebih baik.

     Dilihat dari segi penjatuhan hukuman, terbagi kedalam beberapa tujuan berikut ini:

a. Hukuman ta’zir sebagai hukuman tambahan atau pelengkap hukuman pokok. Seperti hukuman pengasingan selama satu tahun dari kasus zina ghairu mukhsan.

b. Hukuman ta’zir sebagai hukuman pengganti hukuman pokok. Hukuman pokok pada setiap jarimah hanya dijatuhkan apabila semua terbukti secara meyakinkan dan tanpa adanya keraguan sedikitpun mengarah pada perbuatan tersebut. Oleh karena itu, apabila bukti-bukti kurang meyakinkan atau adanya keraguan menurut peniaian hakim, hukuman pokok terebut tidak boleh dibuktikan

c.   Hukuman ta’zir sebagai hukuman pokok bagi jarimah ta’zir Syara’.


Pentingnya pembagian jarimah hudud, qishash dan ta’zir adalah sebagai berikut;

a.         Dari segi Pengampunan

Pengampunan dapat diberikan oleh keluarga korban kepada pelaku jarimah qishash dan diat. Pengampunan tersebut berpengaruh pada hukuman yang awalnya pelaku dikenakan hukuman pokok berupa qishash menjadi gugur dan diganti dengan diat. Jika diat dimaafkan juga maka dari segi hukuman yang menjadi hak manusia akan terhapuskan. Namun, didalam jarimah qishash dan diat terdapat hak Allah (hak masyarakat) maka hakim masih diperbolehkan menjatuhkan hukuman ta’zir sebagai imbangan dari hak Allah. Dalam jarimah hudud tidak ada pengampunan sama sekali baik dari korban maupun dari penguasa tertinggi (kepala negara).

b.        Dari Segi kompetensi hakim

Kompetensi hakim dalam jarimah qishash dan diat sama dengan jarimah hudud, jika benar-benar terbukti maka hakim hanya memutuskan dan melaksanakan hukuman sesuai dengan ketentuan dalam syari’at tanpa mengurangi, menambah, atau menggantinya dengan hukuman lain. Dalam jarimah ta’zir hakim mempunyai kebebasan berijtihad dalam memilih jenis hukuman yang sesuai (memberatkan hukuman atau meringankan hukuman atau membebaskannya).

c.         Dari segi yang meringankan

Dalam jarimah ta’zir keadaan korban atau suasana ketika jarimah dilakukan dapat mempengaruhi berat ringannya hukuman yang akan dijatuhkan pada pelaku. Sedangkan dalam jarimah hudud dan qishash hukuman tidak terpengaruh oleh keadaan-keadaan tertentu yang berkaitan dengan pelaksanaan jarimah, kecuali pelaku tidak memenuhi syarat taklif seperti gila atau dibawah umur.  

d.        Dari segi alat-alat pembuktian

Apabila alat bukti yang digunakan  berupa saksi maka syara’ telah menetapkan bilangan saksi untuk jarimah qishash dan hudud. Misalnya pembuktian dalam jarimah zina diperlukan empat orang saksi. Sedangkan dalam hukuman hudud yang lain dan jarimah qishash dan diat diperlukan minimal dua orang saksi. Akan tetapi, dalam jarimah ta’zir terkadang hanya diperlukan satu orang saksi.


2.      Jarimah Dari Segi Niat

      Ditinjau dari segi niatnya, jarimah itu dapat dibagi kepada dua bagianyaitu:

a.    Jarimah sengaja

Menurut Muhammad Abu Zahrah, yang dimaksud dengan jarimah sengaja adalah suatu jarimah yang dilakukan oleh seseorang dengan kesengajaan dan atas kehendaknya serta ia mengetahui bahwa perbuatan tersebut bahwa perbuatan tersebut dilarang dan diancam dengan hukuman.

b.   Jarimah tidak sengaja

Abdul Qadir Audah mengemukakan pengertian jarimah tidak sengaja adalah jarimah dimana pelaku tidak sengaja (berniat) untuk melakukan perbuatan yang dilarang dan perbuatan tersebut terjadi sebagai akibat kelalaiannya (kesalahannya).

Bentuk jarimah ini dapat terjadi karena pertama, yaitu karena kekeliruan. Perbuatan karena kekeliruan ini sengaja dilakukannya namun hasil yang di dapat tidak dikehendaki oleh pelakunya. Seperti seorang melempar batu untuk mengusir binatang, tiba-tiba batu tersebut mengenai orang lain. Celakanya orang lain tersebut adalah karena kekeliruan bukan kesengajaan, dia hanya sengaja melempar batu untuk mengusir binatang tetapi keliru hasilnya. Kedua, karena kelalaian yaitu suatu perbuatan yang sama sekali tidak sengaja, baik perbuatan itu sendiri maupun hasil perbuatannya. Contohnya: seorang membakar sampah dengan maksud membersihkan sekeliling rumahnya. Tanpa sepengetahuannya, api membesar dan membakar sesuatu milik orang lain.

 

3.   Ditinjau dari segi waktu tertangkapnya

Ditinjau dari segi waktu tertangkapnya, jarimah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu

a.  Jarimah tertangkap basah adalah jarimah dimana pelakunya tertangkap pada waktu melakukan perbuatan tersebut atau sesudahnya tetapi dalam masa yang dekat.

b. jarimah yang  tidak tertangkap basah, yaitu jarimah dimana pelaku tidak tertangkap pada waktu melakukan perbuatan tersebut melainkan sesudahnya dengan lewat waktu yang tidak sedikit.


4.   Jarimah Ditinjau Dari Segi Cara Melakukannya

Ditinjau dari segi cara melakukannya, jarimah dibagi kepada dua bagian, yaitu:

a.  Jarimah positif, yaitu jarimah yang terjadi karena melakukan perbuatan yang dilarang, seperti pencurian, zina, dan pemukulan.

b. Jarimah negatif, yaitu jarimah yang terjadi karena meninggalkan perbuatan yang diperintahkan.

 

5.  Jarimah Ditinjau Dari Segi Objeknya

Ditinjau dari segi objek atau sasaran yang terkena jarimah maka jarimah itu dapat dibagi dua bagian, yaitu:

a.  Jarimah perseorangan adalah jarimah dimana hukuman terhadap pelakunya dijatuhkan untuk melindungi hak perseorangan (individu) walaupun sebenarnya apa yang menyinggung individu, juga berarti menyinggung masyarakat.

b.   Jarimah masyarakat, yaitu suatu jarimah dimana hukuman terhadap pelakunya dijatuhkan untuk melindungi kepentingan masyarakat, walaupun sebenarnya kadang-kadang apa yang menyinggung masyarakat juga menyinggung perseorangan tetapi dari segi masyarakat yang terkena oleh jarimah itu lebih menonjol.

 

6.  Jarimah Ditinjau Dari Segi Tabiatnya

Jarimah dari segi tabiatnya dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

a. Jarimah biasa, yaitu jarimah yang dilakukan oleh seseorang tanpa mengaitkannya dengan tujuan-tujuan politik

b. Jarimah politik, menurut Muhammad Abu Zahrah yaitu jarimah yang merupakan pelanggaran yang terhadap peraturan pemerintah atau pejabat-pejabat pemerintah atau terhadap garis-garis politik yang telah ditentukan oleh pemerintah.

 

REFERENSI

Muhammad Abu Zahrah. Al-jarimah wa Al-uqubah fi Al fiqh Al Islamy, ( Kairo: Maktabah Al Angelo Al Mishriyah, Kairo)

Rahmat Hakim. Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah) (Bandung: Pustaka Setia, 2010) 

M. Nurul Irfan dan Masyrofah. Fiqh Jinayah. ( Jakarta: Amzah, 2013)

Mahmud Syaltut.  Al-Islam Aqidah wa Syariah. Dar Al Qalam, cetakan III, 1966, 

Abdul Qadir Audah. At-Tasyri’ Al-jina’iy Al-Islamy ( Beirut: Dar Al-kitab Al-Araby, TT) 

Ahmad Wardi Muslich. Hukum Pidna Islam. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) 

Wahbah Zuhaili. Fiqh Islam Wa Adillatuhu.  (Jakarta: Gema Insani Darul Fikri, 2011)

Related Posts

0 comments:

Post a Comment