Thursday, June 4, 2020

SUMBER HUKUM PIDANA ISLAM DAN UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA ISLAM

sumber hukum pidana islam, sumber hukum islam, al-qur'an, sunnah, ijma' dan qiyas


A.    SUMBER HUKUM PIDANA ISLAM (JINAYAH)

Sumber hukum  pidana Islam materil yakni berisi ketentuan-ketentuan tentang macam-macam tindak pidana (jarimah) dan sanksinya sama dengan sumber hukum Islam pada umunya yakni Al-qur’an, As-sunnah, Ijma[1] dan Qiyas[2].

 Menurut Ahmad Hanafi yang dikutip oleh Rahmat Hakim berpendapat bahwa yang menjadi sumber hukum yang utama ialah al-qur’an dan as-sunnah sedangkan ijma’ dan qiyas merupakan cara untuk pengambilan hukum (istinbat hukum) karena ijma’ dan qiyas tidak membawa aturan dasar yang baru yang bersifat umum dengan kata lain ijma’ dan qiyas sebenarnya berasal dari al-qur’an dan as-sunnah.[3]

Penggunaan empat sumber hukum tersebut harus sesuai dengan urutan karena hal tersebut menggambarkan tingkat prioritas kekuatan sumber hukum tersebut untuk dijadikan sebagai hujjah. Urutan terakhir dapat dipertimbangkan jika tidak ditemukan dalam urutan sebelumnya. Sebagaimana firman Allah dalam surat An-nisa; 59 berikut;

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (Q.S. An-nisa; 59)

 

Imam Syafei menguraikan bahwa yang dimaksud dengan taatilah Allah dan taatilah rasul dalam ayat tersebut menunjuk pada Al-qur’an dan As-sunnah sebagai sumber hukum Islam. Kemudian kata ulil amri adalah orang-orang yang memegang kekuasan yakni menunjuk pada Al-ijma’ sebagai sumber hukum. Kemudian kata jika kamu berbeda pendapat mengenai sesuatu maka kembalikanlah kepada allah dan rasul, menunjuk kepada qiyas sebagai sumber hukum. [4]

Selanjutnya, sumber hukum Islam juga dijelaskan dalam Hadis yang menceritakan tanya jawab antara Nabi Muhammad SAW dengan Muadz Bin Jabal ketika dilantik Nabi menjadi gubernur Yaman;

...كيف تقضى اذا عرض لك قضا ؟ قال اقضى بكتاب الله قال: فان لم تجد فى كتاب الله؟ قال فبسنة رسول الله قال: فان لم تجد فى سنة رسول الله؟ اجتهد رأ يى ولاالوا. فضرب رسول الله.ص.م. صدره وقال الحمد لله الذى وفق رسول رسول الله لما ير ضى الله ورسو له ( رواه احمد وابوداود والترمذى )

Rasulullah SAW          ; bagaimana kamu memutuskan suatu perkara?

Mu’adz                        ; Kuhukumi dengan kitab Allah,

Rasulullah SAW          ; bagaimana jika kamu tidak mendapatkannya dalam kitab    Allah?.

Mu’adz                        ; dengan sunnah Rosulullah SAW,

Rasulullah SAW          ; jika tidak kau temukan dalam sunnah Rosulullah SAW?

Mu’adz                        ; aku akan menggunakan ijtihad pikiranku dan aku tidak akan meninggalkannya.

Rasulullah lalu menepuk dadanya seraya memuji sambil berkata; Alhamdulillah, Allah telah memberikan taufik  kepada utusan Rasulullah sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasulnya (H.R. Ahmad, Abu Dawud dan Turmudzi)

 

Dari kedua dalil tersebut memberikan penjelasan kepada kita tentang tata cara penggunaan dalil dalam berhujjah yakni harus tertib berdasarkan urutan. Urutan pertama harus menggunakan dalil al-qur’an selama didalamnya terdapat ketentuan hukum baik secara eksplisit maupun implisit. Jika tidak ditemukan dalam al-quran maka langkah selanjutnya mencari dalam sunnah rasulullah, jika didalam kedua sumber yang disepakati tersebut tidak ditemukan maka kita harus mengikuti pendapat para ulil amri (pemegang segala urusan/ pemerintahan yang berwenang/para pemimpin, ulama, umara’ dan lain-lain) dan apabila para ulil amri telah sepakat mengenai suatu hukum maka seluruh rakyat wajib mematuhinya  sama halnya dengan mematuhi perintah Allah dan Rasulullah SAW. Jika tidak ditemukan dalam ketiga sumber tersebut maka kita berupaya secara  sungguh-sungguh dengan menggunakan metode qiyas yakni menganalogikan perkara yang belum ada ketentuan hukumnya dengan peristiwa serupa yang telah ada ketentuan hukum yang jelas. Akan tetapi tidak semua masalah kotemporer dapat diqiyaskan karena penetapan hukum dengan metode qiyas hanya dapat dilakukan jika syarat-syarat hukum tersebut telah terpenuhi.

Selain keempat sumber hukum tersebut terdapat sumber hukum islam yang masih diperselisihkan mengikat atau tidaknya yakni istihsan[5], istishab[6], maslahatul mursalah, ‘urf (adat/ kebiasaan yang berlaku di masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash), madzhab sahabat (pendapat para sahabat), syar’u man qoblana (syari’at-syari’at nabi terdahulu sebelum datangnya nabi Muhammad SAW), sadduzzara’i (menolak kerusakan).[7] Untuk hukum pidana Islam formil semua sumber hukum tersebut dapat digunakan.

 

unsur-unsur tindak pidana Islam, tindak pidana Islam


B.     UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA

Di dalam hukum islam, suatu perbuatan tidak dapat dihukum, kecuali jika dipenuhi semua unsurnya, baik unsur umum maupun unsur khusus. Menurut Ahmad Wardi Muslich unsur-unsur tindak pidana terdiri dari unsur formal, unsur materil dan unsur moral, berikut penjelasan ketiga unsur tersebut:

1.         UNSUR FORMAL

Unsur formal atau disebut juga dengan Rukun Syara’ ( yang berdasarkan Syara’), yaitu adanya nash Syara’ yang jelas melarang perbuatan itudilakukan dan jika dilakukan akan dikenai hukuman. Nash Syara’ ini menempati posisi yang sangat penting sebagai azas legalitas dalam hukup pidana islam, sehingga dikenal suatu prinsip la hukma li af al al-uqala’ qal wurud an-nass (tidak ada hukum bagi perbuatan orang yang berakal sebelum datangnya nash. Menurut Ahmad Wardi Muslich dalam pembahasan unsur formal terdapat lima masalah pokok yakni; asas legalitas dalam pidana Islam, sumber-sumber aturan pidana Islam, masa berlakunya aturan-aturan pidana Islam, lingkungan berlakunya aturan-aturan pidana Islam dan asas pelaku atau terhadap siapa berlakunya pidana Islam. Berikut uraian dari lima pokok bahasan tersebut;

1)        Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Islam

Asas legalitas ialah asas yang berarti bahwa tiada suatu perbuatan dapat dihukum sebelum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya atau suatu perbuatan baru dianggap sebagai jarimah yang dapat dihukum jika telah ada nash yang melarang perbuatan tersebut dan mengancamnya dengan hukuman.[8]

Suatu peraturan sebelum diberlakukan harus disebarluaskan, disosialisasikan sehingga khalayak/ masyarakat mengetahui adanya peraturan yang mengharuskan untuk berbuat sesuatu  atau meninggalkan sesuatu  perbuatan. Tanpa adanya sosialisasi akan rentan pelanggaran karena masyarakat tidak mengetahui aturan tersebut.[9]  Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Al-Isra; 15 dan Surat Al-Qashash; 59 berikut ini;

... $tBur $¨Zä. tûüÎ/ÉjyèãB 4Ó®Lym y]yèö6tR Zwqßu ÇÊÎÈ    

Artinya; ...dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul (Q.S. Al-Isra; 15)

$tBur tb%x. y7/u y7Î=ôgãB 3tà)ø9$# 4Ó®Lym y]yèö7tƒ þÎû $ygÏiBé& Zwqßu (#qè=÷Gtƒ öNÎgøŠn=tæ $uZÏF»tƒ#uä 4 $tBur $¨Zà2 Å5Î=ôgãB #tà)ø9$# žwÎ) $ygè=÷dr&ur šcqßJÎ=»sß ÇÎÒÈ  

Artinya; dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam Keadaan melakukan kezaliman (Q.S. Al-Qashas; 59).

Ayat diatas menjelaskan bahwa Allah tidak mengazab atau menghukum suatu kaum/bangsa sebelum Allah memberikan pemberitahuan dan penjelasan terlebih dahulu peraturan tersebut melalui utusan-utusan-Nya. Ayat tersebut diatas menjadi dasar hukum bagi setiap perbuatan yang dilarang atau yang diperintahkan setelah kehadiran peraturan tersebut.

Selain itu, terdapat kaidah-kaidah fikih yang dapat dijadikan sebagai sumber dari asas legalitas, yakni;

لاحكم لافعال العقلاء قبل ورود النص

Tidak ada hukuman bagi perbuatan manusia yang berakal sebelum turunnya Nash

 

Kaidah ini menerangkan bahwa setiap orang (mukallaf) memiliki kebebasan melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu sampai ada nash yang mengisyaratkan perbuatan tersebut dilarang, karena pada dasarnya hukum suatu perbuatan itu boleh. Sebagaimana bunyi kaidah berikut ini;  

الاصل فى الاشياء الاباحة حتى يد ل الدليل على التحريم

Asal segala sesuatu itu hukumnya boleh sehingga ada dalil yang menunjukkan keharamannya

Jadi, suatu perbuatan atau sikap tidak berbuat boleh dianggap sebagai jarimah kecuali karena adanya nash yang jelas yang melarang perbuatan dan sikap tidak berbuat. Apabila tidak ada nash yang demikian sifatnya maka tidak ada tuntutan atau hukuman atas pelakunya.[10] Allah SWT sebagai pembuat syari’at lebih dulu menerangkan mengenai asas legalitas ini sebelum para ahli hukum barat memperkenalkan kepada khalayak ramai melalui dunia perundang-undangan sebagai hasil revolusi Prancis pada abad 18 Masehi. Sebelum revolusi tersebut para hakim dapat bertindak sewenang-wenang dalam menentukan jarimah dan hukumannya.[11]

 

2)             Sumber-Sumber Aturan Pidana Islam

Sumber aturan hukum pidana Islam sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya yakni al-qur’an, al-hadis, ijma’, qiyas, istihsan, istishab, maslahah mursalah, ‘urf, madzhab sahabat, syar’u man qoblana, sadduzzara’i. Selain itu terdapat kaidah-kaidah fikih yang dapat dijadikan hujjah dan/atau metode dalam menyelesaikan kasus-kasus tindak pidana kotemporer.

Dari beberapa sumber diatas, akan diuraikan lebih lanjut mengenai penerapan qiyas dalam hukum pidana Islam. Dalam jarimah-jarimah ta’zir penggunaan qiyas  tidak diragukan lagi karena jarimah ta’zir diserahkan pada ulil amri (penguasa) atau hakim dan ketetapannya dihasilkan melalui ijtihad atau ra’yu. Namun, penggunaan qiyas dalam jarimah hudud dan qishash  masih diperselisihkan oleh fuqaha.[12]

Golongan Syafi’iyah berpendapat bahwa penggunaan qiyas dalam jarimah hudud dan qishash diperbolehkan karena qiyas merupakan salah satu dalil syara’ dan alasan berikut;

a.       Nabi Muhammad SAW membenarkan pemakaian qiyas atau ra’yu oleh sahabat Mu’adz bin Jabal yang terdapat di akhir hadist Mu’adz berkata اجتحد رأيى yang artinya saya berijtihad dengan menggunakan pikiran saya. Qiyas merupakan salah satu cara ijtihad dan tidak ditentukan untuk satu lapangan hukum tertentu.

b.      Qiyas sahabat. Ketika para sahabat bermusyawarah menetapkan hukuman had bagi peminum-minuman keras, Ali bin abi thalib mengqiyaskan hukuman bagi orang meminum-minuman keras dengan orang yang membuat kebohongan yakni dijilid (dicambuk) sebanyak 80 kali, namun tidak ada sanggahan dari sahabat yang lain.[13]    

Golongan Hanafiyah berepndapat bahwa qiyas dalam jarimah hudud, qishash, dan kifarat tidak boleh digunakan karena sebab-sebab berikut ini;

a.         Hukuman hudud dan kifarat sudah ditentukan batasan-batasannya tetapi tidak diketahui alasan penentuan batas-batas tersebut, sedangkan qiyas adalah pengetahuan tentang illat (sebab dan alasan) hukum peristiwa asal.

b.        Hukuman hudud adalah suatu tindakan penghukuman dan pada kafarat juga terdapat segi-segi hukuman. Qiyas itu sendiri bisa terjadi kekeliruan dan kemungkinan salah atau terjadi ketidaktegasan (syubhat). Sedangkan hukuman hudud bisa hapus karena adanya syubhat.

Qiyas dalam hukuman mengharuskan adanya qiyas dalam jarimah dan kebolehan menggunakan qiyas dalam jarimah bukan berati membuat aturan-aturan baru atau mendapatkan jarimah baru, melainkan untuk memperluas ruang lingkup aturan yang telah ada.

 

3)        Masa Berlakunya Aturan-Aturan Pidana Islam

Masa berlakunya suatu peraturan  dalam pidana Islam sama dengan masa berakunya peraturan dalam hukum positif yakni berlaku sejak dikeluarkan  dan ditetapkan undang-undang tersebut dan tidak berlaku terhadap peristiwa pidana yang terjadi sebelum adanya undang-undang tersebut atau dikenal dengan asas tidak berlaku surut. Hal ini didasarkan pada pasal 1 ayat 1 KUHP yang menyatakan  bahwa: “tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya.”[14]

Adapun ketentuan peraturan tidak berlaku surut dalam hukum pidana Islam yakni sebagai berikut;

Ÿwur (#qßsÅ3Zs? $tB yxs3tR Nà2ät!$t/#uä šÆÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# žwÎ) $tB ôs% y#n=y 4 ¼çm¯RÎ) tb$Ÿ2 Zpt±Ås»sù $\Fø)tBur uä!$yur ¸xÎ6y ÇËËÈ  

22. dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).

 

Pada masa jahiliah pemuda arab memiliki kebiasaan mengawini wanita yang pernah dinikahi ayahnya. Setelah turun ayat ini maka perbuatan tersebut secara tegas telah dilarang. Akan tetapi, bagi pemuda yang telah terlanjur menikahi bekas ibu tirinya maka tidak ada hukuman baginya.[15] dari segi pidana tampak jelas bahwa tidak berlaku asas berlaku surut tetapi dari segi perdata perkawinan semacam itu adalah yang dilakukan dimasa lampau harus diputuskan.

br&ur (#qãèyJôfs? šú÷üt/ Èû÷ütG÷zW{$# žwÎ) $tB ôs% y#n=y 3 žcÎ) ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇËÌÈ  

23.dan diharamkan bagimu menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

 

Ayat ini menegaskan larangan menikahi dua wanita bersaudara (dimadu) secara bersamaan. meskipun demikian, jika dilihat dari makna lafal ( إلاما قدسلف ) menunjukkan bahwa perkawinan itu dilakukan dimasa lalu sebelum turunnya surat an-nisa ayat 23, oleh karenanya tidak dikenakan jarimah. Dari segi pidana tidak dapat berlaku surut tetapi dari segi perdata maka perkawinan semacam ini yang terjadi dimasa lalu setelah turunnya surat anisa ayat 23 maka perkawinan tersebut harus dibatalkan dan tidak boleh dilanjutkan.[16]

Pada prinsipnya peraturan pidana syariat Islam tidak dapat berlaku surut tetapi dalam kondisi tertentu asas tidak berlaku surut dapat dikecualikan apabila:

a.       Jarimah tersebut sangat berbahaya dan mengancam ketertiban umum. Seperti Qadzab dan hirabah. Hal ini didasarkan pada peristiwa[17] sejarah yang telah terjadi sebelum turunnya nash yang melarang dan mengancamnya dengan hukuman.

b.      Dalam keadaan yang menguntungkan tersangka.

Jika suatu masa terjadi perubahan dan pergantian aturan pidana yang lebih menguntungkan bagi pelaku maka ketentuan pidana yang baru tersebut diterapkan meskipun tindak pidana yang terjadi pada peraturan lama berisi hukuman yang lebih berat. Adapun yang menjadi alasan memakai hukuman yang lebih menguntungkan pelaku adalah karena tujuan dari hukuman untuk memberantas jarimah dan memelihara masyarakat dari perbuatan buruk. Dengan demikian penjatuhan hukuman itu merupakan kebutuhan sosial yang dibutuhkan masyarakat. Sayarat pemberlakuan keadaan yang menguntungkan tersangka ialah  jika keputusan hukuman yang dijatuhkan belum memiliki kekuatan hukum tetap (inkrach). Jika telah memiliki kekuatan hukum tetap maka peraturan baru tidak dapat diberlakukan.

Contoh; suatu negara awalnya menerapkan peraturan bermazhab Hanafi kemudian terhitung tanggal tertentu diganti/berlaku Mazhab Syafi’i. Menurut mazhab Hanafi seorang yang mebunuh kafir zimmi harus dihukum qishash. Sedangkan dalam mazhab Syafi’i pelaku pembunuh kafir zimmi dikenakan hukuman ta’zir berupa hukuman kurungan yang tidak lebih dari satu tahun. Jika seorang muslim membunuh kafir zimmi pada saat berlakunya mazhab Hanafi (aturan lama) dan diadili setelah berlakunya Mazhab Syafi’i (peraturan baru) maka peraturan baru dan sanksi yang lebih ringan yang digunakan yakni hukuman ta’zir bukan hukuman qishash.[18]

  

4)        Lingkungan Berlakunya Aturan-Aturan Pidana Islam

Secara teoritis, ajaran Islam itu untuk seluruh dunia, dan seluruh umat manusia baik yang muslim maupun non muslim. Sebagaimana Firman Allah dalam surat Al-anbiya; 107

!$tBur š»oYù=yör& žwÎ) ZptHôqy šúüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ  

dan Tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad SAW), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

 

Ayat ini menerangkan bahwa ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW (agama Islam) adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Namun dalam penerapannya tidak semua orang percaya kepada syariat Islam dan syariat ini tidak mungkin dipaksakan. Oleh karenanya, dalam hubungan dengan lingkungan berlakunya peraturan pidana Islam para fuqaha membagi menjadi dua bagian yakni negara Islam dan negara bukan Islam. Di negeri Islam seluruh penduduk beragama Islam dapat menjalankan syariat/ hukum Islam. Penduduk negeri Islam dibagi menjadi 2 bagian

a.       Penduduk muslim yaitu penduduk yang memeluk dan percaya kepada Agama Islam

b.      Penduduk bukan muslim yaitu mereka yang tinggal dinegeri Islam tetapi masih tetap dalam agama asal mereka (non muslim). Penduduk non muslim/ kafir dibagi menjadi 2 yaitu kafir zimmi dan kafir mu’ahad atau musta’man[19]. 

Dinegeri Islam, baik penduduk muslim maupunn non muslim dijamin keselamatan jiwa dan hartanya oleh syari’at Islam, karena jaminan itu bisa diperoleh melalui keamanan dan keimanan.

Mengenai penerapan hukum pidana Islam para ulama memiliki beberapa pendapat, yakni:[20]

a.       Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa aturan pidana hanya berlaku secara penuh diwilayah-wilayah negeri muslim. Diluar negeri muslim aturan pidana Islam tidak berlaku kecuali untuk kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan hak perseorangan (haq al-Adamiy). Teori ini mirip dengan asas teritorialitas.

b.      Imam Abu Yusuf berpendapat bahwa aturan pidana Islam diterapkan atas jarimah-jarimah yang terjadi dinegeri Islam baik dilakukan oleh penduduk muslim, penduduk kafir zimmi maupun muasta’man. Adapun yang menjadi alasan pemberlakuan tersebut adalah bagi penduduk muslim pemberlakuan aturan pidana islam karena keislamannya, untuk kafir zimmi karena telah ada perjanjian untuk tunduk dan taat pada peraturan negeri Islam dan terhadap musta’man karena janji keamanan yang memberi hak kepadanya untuk tinggal sementara di negeri Islam, diperoleh berdasarkan kesanggupannya untuk tunduk kepada hukum Islam selama ia tinggal di Negeri Islam. Untuk jarimah yang dilakukan diluar negeri Islam tidak dikenakan hukuman meskipun pelakunya penduduk negeri Islam. Teori ini mirip dengan teori nasionalitas.

c.       Imam Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad berpendapat bahwa aturan pidana itu tidak terikat dengan wilayah melainkan terikat dengan subjek hukum. Jadi setiap muslim tidak boleh melakukan hal-hal yang dilarang dan meninggalkan hal-hal yang diwajibkan oleh syari’at.. teori ini mirip dengan teori nternasionalitas. 

 

5)       Asas Pelaku Atau Terhadap Siapa Berlakunya Aturan-Aturan Pidana Islam

Penerapan hukum pidana Islam tidak membeda-bedakan tingkatan manusia, dihadapan hukum semuanya sama. Tidak membedakan antara si kaya, si miskin, bangsawan dan rakyat jelata. Didalam Islam yang membedakan tingkatan itu hanya takwa. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-hujarat ayat 13;

$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ  

Artinya; Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

                       

Adapun dalam hadis rasulullah menjelaskan bahwa; “Dari Aisyah ra bahwa kaum quraisy telah dihebohkan oleh peristiwa wanita Makhzumiah yang melakukan pencurian. Salah seorang dari mereka bertanya; siapa yang bisa menghadap kepada rasulullah untuk membicarakan masalah ini? Mereka berkata tidak ada yang berani kecuali Usamah kesayangan Rasulullah SAW. Kemudian Usamah menghadap dan berbicara dengan Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah SAW bersabda; apakah engkau akan mengadakan pembelian terhadap salah satu ketentuan Allah SWT? Rasulullah SAW kemudian berdiri dan berpidato dan akhirnya mengakatakan; sesungguhnya hancurnya orang-orang sebelum kamu adalah karena apabila diantara mereka terdapat bangsawan yang mencuri, mereka tidak menghukumnya. Akan tetapi apabila yang mencuri itu orang yang lemah, mereka baru melaksanakan hukuman. Demi Allah andaikata Fathimah anak Muhammad SAW mencuri, saya pasti memotong tangannya (HR. Bukhari).

Hadist tersebut menegaskan bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana maka harus dihukum baik pejabat, rakyat dan kepala negara sekalipun tidak ada diskriminasi. Apabila yang melakukan tindak pidana adalah kepala negara atau imam yang tertinggi para fuqaha berbeda pendapat;[21]

a.       Menurut Imam Abu Hanifah, jika tindak pidana yang dilanggar oleh imam tertinggi tersebut mewajibkan hukuman had dan menyinggung Hak Allah maka ia tidak dikenakan hukuman. Alasanya adalah karena hukuman had dibebankan kepada imam untuk melaksanakannya dan akan merasa kesulitan jika imam untuk melaksanakan hukuman terhadap dirinya sendiri. Jika imam malakukan jarimah yang menyinggung hak individu maka dapat dituntut dan dihukum karena hak pelaksanaan hukuman adalah hak sikorban.

b.      Menurut Imam Syafi’i, Imam ahmad dan Imam Malik berpendapat bahwa apabila imam tertinggi melakukan tindak pidana baik yang menyinggung hak  individu  maupun hak Allah  (hak masyarakat) maka tetap dituntut dan harus dikenakan hukuman  karena semuan nash dan ketentuan pidana bersifat umum dan semua jarimah diharamkan atas semua orang termasuk imam.

 

2.        UNSUR MATERIL

Unsur materil atau disebut juga dengan Rukun maddi adalah ucapan atau perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian terhadap masyarakat atau individu. Sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Abu Zahrah bahwa unsur materil adalah melakukan perbuatan atau perkataan yang dilarang dan telah ditetapkan hukumannya dan dilaksanakan oleh pengadilan. Contoh; jarimah pembunuhan unsur materilnya ialah perbuatan yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, jarimah qadzab unsur materilnya berisi ucapan bohong yang berisi tuduhan. Perbuatan-perbuatan tersebut adakalanya dilakukan hingga selesai dan ada kalanya tidak selesai karena sebab-sebab tertentu. Dalam hukum positif jarimah tidak selesai ini disebut dengan istilah tindak pidana percobaan. Kemudian suatu tindak pidana adakalanya dilakukan oleh beberapa orang/bersama-sama dan adakalanya dilakukan secara sendiri. Jadi, pembahasan dalam unsur tindak pidana materil meliputi jarimah belum selesai atau percobaan, jarimah selesai, dan turut serta melakukan jarimah.[22]

 

3.        UNSUR MORAL

Unsur moral atau Rukun adabi yaitu pelaku perbuatan itu dapat diminta pertanggung jawaban hukum. Tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bisa dimintai pertanggung jawaban hukum, seperti anak kecil, orang gila, atau orang yang terpaksa tidak dapat dihukum. jadi, unsur moral membahas mengenai pertanggungjawaban pidana dan hapusnya pertanggungjawaban pidana. [23]

Demikianlah pembahasan menegnai unsur-unsur umum tindak pidana. Adapun unsur khusus adalah unsur-unsur yang harus ada dan melekat pada setiap bentuk tindak pidana yang dilakukan. Unsur-unsur tersebut berbeda-beda sesuai dengan tindak pidananya. Unsur yang terkandung di dalam pencurian tidak sama dengan unsur yang terkandung di dalam perzinahan



[1] Ijma’ berasal dari kata jamaa yang artinya himpunan atau kumpulan. Menurut istilah fikih ijma’ ialah persetujuan pendapat dari para mujtahid atau kesepakatan dari para mujtahid atas suatu hukum syara’ (A. Syafi’i Karim, FIQIH-ushul fiqih ( Bandung: Pustaka Setia, 2001) hlm. 65

[2] Qiyas (analogi) menurut bahasa ukuran atau perbandingan. Para fuqaha mendefenisikan qiyas adalah menghubungkan suatu peristiwa yang ada nash hukumnya dengan  masalah kotemporer  yang tidak ada ketentuan  hukumnya dalam nash (al-qur’an, sunnah dan ijma’)  karena ada kesamaan ‘illat hukumnya ((A. Syafi’i Karim, FIQIH-ushul fiqih ( Bandung: Pustaka Setia, 2001) hlm. 70.

[3] Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Bandung; Pustaka Setia), hlm 41

[4] Renny Supriyatni, Pengantar Hukum Islam (Dasar-dasar dan Aktualisasinya Dalam Hukum Positif) (Bandung; Widya Padjadjaran, 2011) hlm 29

[5] Istihsan secara bahasa artinya mencari kebaikan  atau menganggap sesuatu lebih baik. Menurut istilah istihsan adalah berpaling pada suatu masalah dari sesuatu hukum yang sama menuju hukum yang lain karena ada alasan hukum yang lebih kuat. Kedudukannya sebagai sumber hukum; Golongan Hanafiyah sangat mengagungkan atau menjadikan Istihsan sebagai hujjah. Golongan Hambali dan Maliki juga menggunakan istihsan sebagai hujjah tetapi masih membatasi penggunaannya karena bukanlah sumber yang berdiri sendiri. Golongan Syafi’i menentang Istihsan karena akan membuka pintu untuk menetapkan hukum sesuai kehendaknya. (A. Syafi’i Karim, FIQIH-ushul fiqih ( Bandung: Pustaka Setia, 2001) hlm. 79-81

[6] Istishab menurut bahasa berarti membawa atau menemani.  Secara istilah istishab ialah berlangsungnya hukum yang telah ada semenjak masa yang lalu berdasarkan apa yang telah ada/ menetapkan sesuatu keadaan sebelumnya sehingga yang baru merubahnya. Contoh; seseorang yang  ragu apakah dia duduk  berwudu atau belum, maka dia harus berwudhu sebelum mengerjakan shalat.  Karena salah satu syarat sah shalat ialah berwudu (A. Syafi’i Karim, FIQIH-ushul fiqih ( Bandung: Pustaka Setia, 2001) hlm. 81-82

[7] Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Bandung; Pustaka Setia), hlm 43-44

[8] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Jakarta; Sinar Grafika, 2006) hlm. 29

[9] Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Bandung; Pustaka Setia), hlm 46

[10] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Jakarta; Sinar Grafika, 2006) hlm. 30

[11] Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Bandung; Pustaka Setia), hlm 48

[12] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Jakarta; Sinar Grafika, 2006) hlm 46

[13] Pendapat Ali Bin Abi Thalib; Seseorang  apabila ia minum maka ia mabuk, jika ia mabuk maka ia akan mengigau dan jika ia mengigau maka ia membuata kebohongan (yaknia menuduh  orang lain berbuat zina sedangkan sebenarnya tuduhan itu tidak benar). Oleh karena itu jatuhilah ia dengan hukuman orang yang membuat kebohongan (hukuman qadzaf)  (Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Jakarta; Sinar Grafika, 2006) hlm 47)

[14] Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta; Rineka Cipta, 2011

[15] Abdullah Al-Faruk , Hukum Pidana Islam Dalam Sistem Hukum Islam, (Bogor; Ghalia Indonesia, 200) hlm 10

[16] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Jakarta; Sinar Grafika, 2006) hlm. 49

[17] Peristiwa tersebut ialah jarimah Qadzab (menuduh zina),  yang terjadi pada Aisyah RA istri rasulullah yang dituduh telah berzina dengan shafwan. Tuduhan itu ternyata hanya fitnah yang kemudian turunlah surat An-nur ayat 4; dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. Setelah turun ayat ini maka rasulullah menerapkan hukuman had terhadap pelaku meskipun tuduhan tersebut terjadi sebelum turunnya nash. Hal ini disebabkan karena menggangu ketertiban umum dan menimbulkan kehebohan dikalangan kaum muslimin bahkan hampir terjadi perang antara suku aus dan suku khazraj. Adapun hukuman had tersebut sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT dalam surat An-nur ayat 4 yakni didera (dicambuk) 80 kali. Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Jakarta; Sinar Grafika, 2006) hlm 50-51

[18] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Jakarta; Sinar Grafika, 2006) hlm 52

[19] Kafir zimmi iala mereka yang tidak memeluk agama Islam dan tinggal di negara Islam, tetapi mereka tunduk kepada hukum dan peraturan Islam  berdasarkan perjanjian yang berlaku. Sedangkan kafir  mu’ahad atau musta’man yaitu mereka yang bukan penduduk negara Islam tetapi tinggal dinegara Islam untuk sementara karena suatu keperluan dan mereka tetap dengan agama asal mereka. mereka tunduk kepada hukum dan peraturan Islam  berdasarkan perjanjian yang berlaku sementara.

[20] A. Dzajuli. Fiqh Jinayah (upaya menanggulangi kejahatan dalam islam) ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000)  hlm. 10. Lihat juga di Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Jakarta; Sinar Grafika, 2006) hlm 54-55

[21]  Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Jakarta; Sinar Grafika, 2006) hlm 56-58

[22] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Jakarta; Sinar Grafika, 2006) hlm 59

[23] Imaning Yusuf. Fiqh Jinayah 1 (Palembang: Rafah Press, 2009) hlm 2


Related Posts

0 comments:

Post a Comment