Sunday, June 28, 2020

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

pertanggungjawaban pidana, hukum pidana


1. Pengertian Pertanggunjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana adalah pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang dikerjakan dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya itu. Pertanggungjawaban Pidana merupakan salah satu unsur terjadinya suatu jarimah yang disebut dengan istilah unsur moril. Dalam syariat Islam pertanggungjawaban pidana harus didasarkan pada tiga hal yaitu:

1.      Adanya perbuatan yang dilarang

2.      Perbuatan dikerjakan atas kemauan sendiri

3.      Pelaku mengetahui akibat dari perbuatannya.

Ke-tiga hal tersebut harus ada pada diri pelaku jika tidak ada maka tidak dapat pertanggungjawaban bagi pelaku. Ini berarti pertanggungjawaban pidana hanya dapat diberikan pada seorang mukallaf. Jika orang tersebut sakit ingatannya (gila), anak dibawah umur atau belum mencapai usia baligh, dan orang yang dipaksa dan terpaksa untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu maka orang tersebut tidak dapat di bebani pertanggungjawaban. Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW berikut ini:

عن عا ئشة رضى الله عنها قا لت : قالرسول الله صلى الله عليه وسلم : رفع القلم عن ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ وعن المبتلى حتى يبرأ وعن الصبى حتى يكبر (رواه احمد وابى داود )

Artinya: Dari Aisyah ra, ia berkata: telah bersabda Rasulullah SAW: dihapuskan ketentuan dari tiga hal: dari orang yang tidur sampai ia bangun, dari orang yang gila sampai ia sembuh, dan dari anak kecil sampai ia dewasa (H.R. Ahmad dan Abu Dawud)

Dalam Al-qur’an Surat An-Nahl ayat 106:

`tB txÿŸ2 «!$$Î/ .`ÏB Ï÷èt/ ÿ¾ÏmÏZ»yJƒÎ) žwÎ) ô`tB on̍ò2é& ¼çmç6ù=s%ur BûÈõyJôÜãB Ç`»yJƒM}$$Î/ `Å3»s9ur `¨B yyuŽŸ° ̍øÿä3ø9$$Î/ #Yô|¹ óOÎgøŠn=yèsù Ò=ŸÒxî šÆÏiB «!$# óOßgs9ur ëU#xtã ÒOŠÏàtã ÇÊÉÏÈ  

Artinya; Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. 

Mengenai pengartian pertanggungjawaban pidana dalam hukum positif dan hukum pidana Islam pada dasarnya sama yakni adanya kemampuan bertanggungjawab dari pelaku dan adanya kesalahan/ perbuatan pidana yang dilakukan. Menurut Van Hamel: kemampuan bertanggung jawab adalah suatu keadaan normalitas psychis dan kematangan (kecerdasan) yang membawa 3 kemampuan:

  1. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri
  2. Mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkan
  3. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatannya-perbuatannya itu

Menurut Moeljatno, unsur terbentuknya kesalahan adalah sebagai berikut:

  1. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum)
  2. Diatas umur tertentu mampu bertanggungjawab
  3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan
  4. Tidak adanya alasan pemaaf

2. Siapa Yang Dibebani Pertanggungjawaban

Pertanggungjawaban pidana dibebankan pada subjek hukum yakni orang dan badan hukum. Orang yang dimaksud adalah orang yang melakukan perbuatan baik kejahatan atau pelanggaran dan orang tersebut bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri bukan orang lain. Sebagaimana firman Allah dalam surat Fathir ayat 18:

Ÿwur âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 2t÷zé& 4 bÎ)ur äíôs? î's#s)÷WãB 4n<Î) $ygÎ=÷H¿q Ÿw ö@yJøtä çm÷ZÏB ÖäóÓx« öqs9ur tb%x. #sŒ #n1öè% 3 $yJ¯RÎ) âÉZè? tûïÏ%©!$# šcöqt±øƒs Nåk®5u Í=øtóø9$$Î/ (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# 4 `tBur 4ª1ts? $yJ¯RÎ*sù 4ª1utItƒ ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 4 n<Î)ur «!$# 玍ÅÁyJø9$# ÇÊÑÈ  

Artinya: dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu Tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihatNya dan mereka mendirikan sembahyang. dan Barangsiapa yang mensucikan dirinya, Sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. dan kepada Allahlah kembali(mu).

 

ô`¨B Ÿ@ÏHxå $[sÎ=»|¹ ¾ÏmÅ¡øÿuZÎ=sù ( ô`tBur uä!$yr& $ygøŠn=yèsù 3 $tBur y7/u 5O»¯=sàÎ/ ÏÎ7yèù=Ïj9 ÇÍÏÈ  

Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu Menganiaya hamba-hambaNya (QS. Fushshiilat: 46)

Kemudian, pertanggungjawaban pidana tidak hanya bagi orang tetapi berlaku juga untuk badan hukum, meskipun badan hukum tidak berbuat secara langsung mempertanggungjawabkan perbuatannya tetapi pertanggungjawaban dikenakan kepada orang yang mewakili badan hukum tersebut.

3. Sebab Dan Tingkat Pertanggungjawaban Pidana

Adanya pertanggungjawaban pidana dikarenakan adanya perbuatan melawan hukum baik berupa kejahatan atau pelanggaran atau dalam Islam disebut dengan perbuatan maksiat. Perbuatan melawan hukum atau perbuatan maksiat ada kalanya dilakukan dengan sengaja, semi sengaja,  karena kekeliruan dan keadaan yang disamakan dengan keliru. Berikut penjelasan mengenai tingkat pertanggungjawaban pidana tersebut:

a. Sengaja (al-‘amdu)

Sengaja artinya melakukan perbuatan yang dilarang disertai dengan adanya niat. Misalnya; seseorang melakukan tindak pidana pembunuhan dan orang tersebut menghendaki akibat dari perbuatan tersebut yakni kematian korban. Pertanggungjawaban pidana ditinggak ini sangatlah berat dibanding dengan tingkat dibawahnya

b. Menyerupai sengaja (syibhul ‘amdi)

Menyerupai sengaja (syibhul ‘amdi) adalah bermaksud melakukan perbuatan melawan hukum akan tetapi akibat yang ditimbulkan perbuatan tersebut tidak dikehendaki. Dalam jarimah pembunuhan yang menjadi tolak ukur menyerupai sengaja (syibhul ‘amdi) adalah alat yang digunakan. Jika alat yang digunakan adalah alat yang biasa untuk membunuh maka perbuatan tersebut termasuk kedalam jarimah pembunuhan menyerupai sengaja.

c. Keliru (al-khata’)

Keliru adalah terjadinya suatu perbuatan yang tidak dikehendaki pelaku dan tanpa disertai dengan maksud melawan hukum. Perbuatan ini terjadi karena adanya kelalaian atau kurangnya kehati-hatian. Kekeliruan terbagi menjadi dua macam yakni: pertama keliru dalam perbuatan. Misalnya; seorang tentara menembak burung ternyata peluru menganai orang. Kedua keliru dalam dugaan. Misalnya: seorang tentara menembak orang lain yang dianggap anggota pasukan musuhnya tetapi setelah diteliti ternyata anggota pasukannya sendiri.

d. Keadaan yang disamakan dengan keliru

Ada dua bentuk perbuatan yang disamakan dengan kekeliruan

  • Pelaku sama sekali tidak berniat melakukan perbuatan yang dilarang tetapi terjadi diluar pengetahuannya dan kelalaiannya. Misal; seseorang yang tidur didekat bayi di barak penampungan dan ia menindih bayi tersebut sehingga mati.
  • Pelaku melakukan suatu perbuatan yang awalnya tidak dilarang namun karena kelalaiannya perbuatan tersebut menjadi perbuatan melawan hukum dan akibat yang dihasilkan tidak dikehendaki. Misalnya; seorang menggali parit ditengah jalan tapi ia lupa memberikan tanda bahaya sehingga pada malam hari terjadi kecelakaan atas kendaraan yang lewat. 

Pertanggungjawaban pidana keadaan yang disamakan dengan keliru lebih ringan dari pertanggungjawaban perbuatan jarimah yang keliru.

4. Beberapa Hal Yang Mempengaruhi Pertanggungjawaban Pidana diantaranya adalah sebagai berikut;

a. Pengaruh tidak tahu

Dalam syariat Islam pelaku tidak dapat dihukum karena suatu perbuatan yang dilarang kecuali ia mengetahui dengan sempurna tentang dilarangnya perbuatan tersebut. Oleh karenanya jika tidak tahu mengenai perbuatan yang dilarang tersebut maka tidak dapat dikenai pertanggungjawaban. Akan tetapi pengertian mengetahui disini bukan pengetahuan secara hakiki tetapi hanya adanya kemungkinan untuk mengetahui. Jika seseorang telah dewasa, berakal sehat dan memperoleh kesempatan untuk mengetahui perbuatan-perbuatan yang dilarang melalui jalan belajar maupun bertanya kepada orang yang pandai maka orang tersebut dianggap mengetahui semua perbuatan yang dilarang dan ia tidak dapat beralasan tidak tahu. Oleh karena itu para fuqaha menyatakan bahwa didalam negeri Islam tidak dapat diterima alasan tidak mengetahui ketentuan-ketentuan hukum. Alasan tidak tahu hanya diterima dari mualaf (orang yang baru memeluk agama Islam) dan orang-orang yang tertinggal/ orang yang hidup dipedalaman tidak pernah bergaul dengan kaum muslimin yang lain.

b. Pengaruh lupa

Lupa ialah tidak siapnya sesuatu pada waktu yang diperlukan. Dalam syariat Islam lupa disejajarkan dengan keliru. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW;

رفع عن أمتى الخطا والنسيان ومااستكرهوا عليه

Artinya; dihapuskan dari umatku kekeliruan, lupa, dan perbuatan yang dipaksakan atasnya.

Dalam AL-Qur’an surat Al-baqarah ayat 286; yang Artinya; ..."Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah...

Mengenai hukum dan pengaruh lupa para fuqaha berbeda pendapat; pendapat pertama, menyatakan bahwa lupa adalah alasan yang umum, baik dalam urusan pidana maupun dalam urusan ibadah. Oleh karenanya mereka berpegang pada prinsip umum yang menyatakan bahwa orang yang mengerjakan perbuatan yang dilarang karena lupa maka ia tidak berdosa dan dibebaskan dari hukuman. Akan tetapi jika perbuatan yang dilarang tersebut menimbulkan kerugian bagi oarang lain maka ia tetap dikenakan pertanggungjawaban perdata.

Pendapat kedua, menyatakan bahwa lupa hanya menjadi alasan hapusnya hukuman akhirat karena hukuman akhirat didasarkan pada unsur adanya kesengajaan. Untuk hukuman dunia, lupa tidak bisa menjadi alasan dihapuskan pidana kecuali dalam hal-hal yang berhubungan dengan hak Allah dengan syarat ada motif yang wajar untuk melakukan perbuatan itu dan tidak ada yang mengingatkan tentang perbuatan tersebut.

Meskipun demikian, pengakuan lupa dari pelaku tidak bisa membebaskannya dari hukuman karena pelaku harus dapat membuktikan dari perbuatan tersebut. Dan lupa tidak menghapuskan kewajiban pelaku terhadap sesuatu yang seharusnya wajib dikerjakan oleh pelaku.

c. Pengaruh keliru

Keliru adalah terjadinya suatu perbuatan diluar kehendak pelaku, dengan kata lain perbuatan jarimah terjadi tanpa adanya niat atau kesengajaan tetapi terjadi karena kelalaian dan ketidak hati-hatian. Dalam syariat Islam pertanggujawaban hanya dikenakan pada perbuatan sengaja yang diharamkan oleh syara’ dan tidak dikenakan pada perbuatan karena kekeliruan. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam Surat Al-Ahzab ayat 5; Artinya; ...dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang...

Dalam keadaan tertentu, syara’ membolehkan penjatuhan hukuman atas kekeliruan sebagai pengecualian. Misalnya dalam jarimah pembunuhan. Sebagaimana dalam surat An-Nisa ayat 92; yang artinya dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja) dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diatyang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah  (membebaskan si pembunuh dari pembayaran diat).  jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada Perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya (tidak memperoleh hamba sahaya yang beriman atau tidak mampu membelinya untuk dimerdekakan), Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Dari ayat diatas terdapat dua ketentuan yakni ayat pertama berisi ketentuan pokok bahwa perbuatan karena kekeliruan tidak  dikenakan hukuman . dan ayat kedua berisi ketentuan penngecualian dari ketentuan pokok. Oleh karena itu untuk dapat dikenakan hukuman atas perbuatan karena kekeliruan harus ada ketentuan secara tegas dari syara’.

5. Pengaruh Rela Menjadi Objek Jarimah Atas Pertanggungjawaban Pidana

Dalam syariat Islam, kerelaan dan persetujuan korban untuk menjadi objek jarimah tidak mengubah sifat jarimah itu sendiri dan tidak mempengaruhi pertanggungjawaban pidana tetapi hanya dapat menghapuskan salah satu unsur jarimah tersebut. Misalnya; jarimah pencurian, unsur pokok dari pencurian adalah mengambil harta milik orang lain tanpa ada persetujuan dari pemiliknya tapi jika pemilik menyetujui pengambilan hartanya tersebut maka hukumnya adalah mubah bukan termasuk jarimah. Ketentuan tentang tidak berpengaruhnya kerelaan tersebut berlaku untuk semua jarimah, kecuali jarimah pembunuhan dan jarimah penganiayaan karena dalam kedua jarimah ini terdapat unsur pengaruh pemaaf dari korban atau dari keluarganya yang dapat menghapuskan hukuman qishash atau diyat.

Dengan adanya ketentuan tidak berpengaruhnya kerelaan dan adanya hak pemaaf dari korban atau keluarga korban maka dalam penerapannya terdapat perbedaan dalam dua jarimah tersebut, yakni sebagai berikut;

a. Rela dibunuh

Para fuqaha sepakat bahwa rela dibunuh atau pembunuhan yang disertai persetujuan korban tetap dianggap sebagai jarimah pembunuhan sengaja, karena jaminan atas keselamatan jiwa tidak dapat dihapuskan kecuali dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh syara’. Mengenai hukumannya para fuqaha berbeda pendapat;

  • Menurut Imam Zufar (murid Imam Abu Hanifah) dan sebagian ulama Malikiyah, hukuman yang dikenakan bagi pelakunya atau orang yang membunuh adalah hukuman qishash karena persetujuan tidak dapat dianggap syubhat yang dapat menghapuskan hukuman had.
  • Imam Abu Hanifah, Imam Abu Yusuf, Imam Muhammad Ibn Hasan, sebagian ulama Malikiyah dan sebagian ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa hukuman yang harus dijatuhkan adalah hukuman diat karena unsur kerelaan dari korban dianggap sebagai hal yang syubhat yang dapat menghapuskan hukuman had.
  • Menurut ulama Hanabilah, sebagian fuqaha Malikiyah (suhnun) dan sebagian ulama Syafi’iyah, rela dibunuh dapat menghapuskan hukuman qishash atau diyat, karena kerelaan korban untuk dibunuh sama statusnya dengan pengampunan yang merupakan hak korban.

b. Rela dianiaya

Para fuqaha berbeda pendapat mengenai korban rela dianiaya atau dipotong anggota badannya, berikut pendapat mengenai hal tersebut;

  • Menurut Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, beberapa ulama Syafi’iyah dan Imam Ahmad berpendapat bahwa rela dianaiaya dapat menghapuskan hukuman, karena sesuatu yang bukan nyawa (anggota tubuh) disamakan dengan harta benda. Mengenai harta benda, pemilik mempunyai kebebasan dan hak untuk tetap menguasainya atau melepaskannya. Jadi, apabila seseorang telah merelakan anggota badannya untuk dipotong oleh orang lain maka pelaku bisa dibebaskan dari hukuman. Imam Syafi’i menambahkan bahwa persyaratan untuk pembebasan ini berlaku jika pelaku tidak dijatuhi hukuman ta’zir oleh pengadilan.
  • Menurut Imam Malik, rela dianiaya tidak dapat menghapuskan hukuman, kecuali jika korban tetap rela setelah terjadinya penganiayaan, jika setelah terjadi penganiayaan korban mencabut kerelaannya maka pelaku tetap dijatuhi hukuman qishash.

Selanjutnya, jika penganiayaan menyebabkan kematian maka;

  1. Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik perbuatan tersebut dianggap sebagai pembunuhan sengaja. Hukuman terhadap pelaku (menurut Imam Malik) adalah di qishash sedangkan menurut Imam Abu Hanifah pelaku dijatuhi hukuman diyat karena kerelaan tersebut dianggap sebagai syubhat.
  2. Menurut Imam Abu Yusuf, Imam Muhammad Ibnu Hasan, beberapa ulama Syafi’yah dan Imam Ahmad ibn Hanbal penganiayaan yang menyebabkan kematian sesudah disetujui korban tidak mengakibatkan hukuman kecuali hukuman ta’zir, karena persetujuan atas penganiayaan berarti setuju juga terhadap konsekuensi atau akibat yang akan ditimbulkan.

6. Perbuatan-Perbuatan Yang Berkaitan Dengan Jarimah Dan Hubungannya Dengan Pertanggungjawaban Pidana

Perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan jarimah terbagi menjadi tiga macam, yaitu

  1. Perbuatan langsung, adalah suatu perbuatan tanpa perantara telah menimbulkan jarimah dan menjadi illat (sebab) bagi jarimah tersebut. Misalnya; penembakan seseorang dengam pistol terhadap orang lain dan mengakibatkan kematian.
  2. Perbuatan sebab, adalah perbuatan yang secara tidak langsung menimbulkan jarimah dan menjadi illat tetapi dengan perantaraan perbuatan lain. Seperti persaksian palsu atas orang-orang yang sebenarnya tidak bersalah dalam jarimah pembunuhan. Dengan persaksian ini menjadi illat (sebab) adanya hukuman mati bagi orang yang tidak bersalah tersebut tetapi tidak langsung menimbulkan kematian, melainkan melalui perantara al-gojo yang melaksanakan hukuman mati tersebut.
  3. Perbuatan syarat, adalah suatu perbuatan yang tidak menimbulkan jarimah dan tidak menjadi illat (sebab). Misalnya; seseorang membuat sumur untuk keperluan sehari-hari, kemudian oleh orang lain (orang ke-dua) untuk menjerumuskan orang ketiga hingga mati. Dalam contoh ini adanya sumur menjadi syarat kematian korban dan penjerumusan yang dilakukan termasuk dalam perbuatan langsung.

Mengenai pertanggungjawaban pidana, perbuatan syarat tidak ada pertanggungjawaban pidana selama perbuatan tersebut tidak bermaksud untuk memudahkan, memberi bantuan dan turut serta dalam melakukan jarimah. Sedangkan perbuatan langsung dan perbuatan sebab dikenakan pertanggungjawaban pidana karena kedua perbuatan tersebut menjadi illat (sebab) adanya jarimah. Akan tetapi, jika korban dapat menghindarkan diri dari perbuatan sebab dan perbuatan langsung maka para fuqaha memberikan ketentuan-ketentuan berikut ini;

  1. Apabila penolakan terhadap akibat perbuatan langsung dan perbuatan sebab tidak dapat dikuasai oleh korban dan perbuatan itu sendiri sudah cukup menimbulkan akibat maka pertanggungjawaban atas akibat tersebut dibebankan seluruhnya kepada pelaku
  2. Apabila perbuatan tersebut tidak cukup menimbulkan akibat yang terjadi dan korban masih bisa menghindarkan akibat tersebut tapi korban tidak melakukannya maka pelaku hanya bertanggungjawab atas perbuatannya bukan karena akibatnya.alasannya ialah akibat timbul karena tidak adanya usaha dari korban untuk menghindarkannya.
  3. Apabila perbuatan tersebut cukup menimbulkan akibat, tetapi mudah dilakukan, seperti melemparkan orang yang pandai berenang kedalam laut, tapi ia tidak mau berenang dan mati. Maka menurut sebagian fuqaha, pelaku bertanggungjawab atas akibat yang terjadi, dan menurut sebagian fuqaha lainnya pelaku hanya bertanggungjawab atas perbuatannya saja.

REFERENSI

Ahmad Wardi Waslih, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta: PT Sinar Grafika, 2006)
Rahmat Hakim. Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah) (Bandung: Pustaka Setia, 2010) 
Modul Azas-azas Hukum Pidana, 2010, Jakarta: Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta:Rineka Cipta, 2009) 
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’iy Al-Islamy, (Beirut: Al-Kitab Al-‘araby, Tt) 


r

Related Posts

0 comments:

Post a Comment