Friday, June 5, 2020

Percobaan kejahatan (Poging)

Percobaan Melakukan Tindak Pidana dalam hukum pidana Islam,

Percobaan Melakukan Tindak Pidana Dalam  Hukum Pidana Islam

Percobaan dalam kamus bahasa indonesia berasal dari kata coba artinya melakukan sedikit pekerjaan untuk mengetahui atau merasakan hasilnya. Adapun defenisi secara etimologi dari percobaan ialah usaha mencoba sesuatu atau permulaan pelaksanaan sesuatu.[1] Percobaan melakukan tindak pidana dalam hukum pidana islam adalah seseorang yang berniat melakukan tindak pidana dengan mengadakan permulaan pelaksanaan tetapi perbuatannya tidak selesai baik karena kehendak diri sendiri maupun bukan karena kehendak diri sendiri.[2] 

Percobaan tindak pidana dalam pasal 45 undang-undang hukum pidana mesir lebih dikenal dengan kata الشروع  . Adapun defenisi dari kata الشروع yaitu:

الشروع ... بأنه البدء فى تنفيذ فعل بقصد ارتكاب جناية أو  جنحة إذاأوقف أوخاب أثره لآسباب لادخل لآردة الفا عل فيها

“ percobaan adalah mulai melaksanakan suatu perbuatan dengan maksud melakukan (jinayah atau janhah), tetapi perbuatan tersebut tidak selesai atau terhenti karena ada sebab yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehendak pelaku”.[3]

Istilah percobaan dikalangan para fuqaha tidak didapati. Akan tetapi, apabila defenisi itu kita perhatikan maka apa yang dimaksud dengan istilah tersebut juga terdapat pada mereka, karena dikalangan mereka juga dibicarakan tentang pemisahan antara jarimah yang sudah selesai dan jarimah yang tidak selesai. Tidak adanya perhatian para fuqaha secara khusus terhadap jarimah percobaan disebabkan oleh dua hal.[4]

1.   Percobaan melakukan jarimah tidak dikenakan hukuman had atau qishas melainkan dengan hukuman ta’zir bagimanapun macamnya jarimah-jarimah itu. Para fuqaha lebih memperhatikan jarimah-jarimah hudud dan qishas, karena unsur dan syarat-syaratnya sudah tetap tanpa mengalami perubahan. Disamping itu, hukumannya juga sudah ditentukan macam dan jenisnya tanpa boleh dikurangi atau ditambah. Akan tetapi untuk jarimah-jarimah ta’zir, hampir seluruhnya diserahkan kepada penguasa untuk menetapkan hukumannya. Hakim diberi wewenang yang luas dalam menjatuhkan hukuman dengan berpedoman kepada batas maksimal dan batas minimal yang telah dtentukan oleh penguasa. Ta’zir juga mengalami dapatmengalami perubahan sesuai dengan perubahan masyarakat. Oleh karena itu, para fuqaha tidak mencurahkan perhatian dan pembicaraan secara khusus dan tersendiri, karena percobaan melakukan jarimah sudah termasuk jarimah ta’zir.

2.  Dengan adanya aturan-aturan yang sudah mencakup dalam syara’ tentang hukuman untuk jarimah ta’zir maka aturan-aturan yang khusus untuk percobaan tidak perlu diadakan, sebab hukuman ta’zir dijatuhkan atas perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau kafarat.[5]

Berbicara masalah percobaan melakukan jarimah para ulama hanya membahas secara umum, seperti ketika mereka membicarakan tentang fase-fase pelaksanaan jarimah. Seseorang yang melakukan jarimah setidaknya melalui tiga fase, yaitu fase pemikiran, fase persiapan dan fase pelaksanaan.[6] Adapun uraian dari fase-fase[7] diatas ialah sebagai berikut:

  1. Fase pemikiran

Memikirkan dan merencanakan suatu jarimah tidak dianggap sebagai maksiat yang dijatuhi hukuman,karena menurut ketentuan yang berlaku dalam syariat hukum islam, seseorang tidak dapat dituntut atau dipersalahkan karena lintassan hatinya atau niat yang terkandung dalam hatinya. Hal ini didasarkan pada Hadits Nabi SAW:

عن ابى هر ير رضي الله عنه قال: قال النبي صل الله عليه وسلم: ان الله تجاوزلى عن أمتى ما وسوست به صد وره ما لم تعمل أوتكلم

Abu Hurairah RA berkata: Nabi SAW Bersabda: sesungguhnya Allah mengampuni umatku karena aku atas apa yang terlintas dalam hatinya, selama belum dikerjakan atau diucapkan.

Ketentuan ini sudah terdapat dalam syariat islam sejak mulai diditurunkannya tanpa mengenal pengecualian. Akan tetapi,hukum positif baru mengenalnya pada akhir abad ke-18 Masehi, yaitu sesudah revolusi prancis. Sebelum masa itu niat dan pemikiran terhadap perbuatan jarimah dapat dihukum kalau dapat dibuktikan.

  1. Fase persiapan

Fase ini merupakan fase yang kedua dimana pelaku menyiapkan alat-alat yang akan dipakai untuk melaksanakan jarimah. Misalnya, membeli senjata untuk membunuh orang lain atau membuat kunci palsu untuk mencuri. Fase persiapan juga tidak dianggap sebagai maksiat yang dapat dihukum kecuali apabila perbuatan persiapan itu sendiri dipandang sebagai maksiat, seperti bercumbu dengan wanita lain yang bukan istri di tempat yang sunyi, sebagai persiapan untuk melakukan zina. Alasan untuk tidak memasukkan fase persiapan ini sebagai jarimah bahwa perbuatan yang dapat dihukum itu harus berupamaksiat dan baru terwujud apabila berisi pelanggaran terhadap hak masyarakat atau hak individu.

  1. Fase Pelaksanaan

Fase ini merupakan fase ketiga setelah perencanaan dan persiapan yang matang. Fase inilah perbuatan pelaku dapat dianggap sebagai jarimah. Untuk dapat dikenakan hukuman maka dalam hal ini cukup apabila perbuatan itu sudah dianggap sebagai maksiat, yaitu berupa pelanggaran terhadap hak masyarakat atau hak individu dan perbuatan itu dimaksudkan pula untuk melaksanakan unsur materil, meskipun antara perbuatan tersebut dengan unsur materilnya masih terdapat beberapa langkah lagi. Misalanya  seseorang berniat untuk membunuh orang lain dan untuk melaksanakannya ia menikam korban dengan pisau sehingga korban memperoleh luka ditangannya dan korban belum sampai meninggal. Dengan demikian kriteria untuk menentukan permulaan pelaksanaan jarimah dan merupakan percobaan yang bisa dihukum ialah apabila perbuatan tersebut sudah termasuk maksiat. Disamping itu niat dan tujuan pelaku juga sangat penting untuk menentukan apakah perbuatan itu maksiat atau bukan. Hukum positif sama pendapatnya dengan hukum islam tidak adanya hukuman pada fase pemikiran dan fase persiapan serta membatasi hukuman pada fase pelaksanaan. Akan tetapi, sarjana-sarjana hukum positif berbeda pendapatnya tentang penentuan saat permulaan pelaksanaan tindak pidana itu, ada yang menganut teori subjektif ada juga yang menganut teori objektif.

Menurut Penganut teori subjektif ini antara lain Van Hamel. Dinamakan subjectieve pogingstheorie  karena aliran ini mencari sandaran pada diri orangnya. Alam pikirannya ialah harus ada pada permulaan pelaksanaan bila telah nampak kehendak yang kuat dari pelaku untuk melaksanakan suatu kejahatan.  Dasar hukumnya adalah karena orangnya telah membuktikan kehendak jahatnya sehingga membahayakan kepentingan hukum. Teori objektif menurut Simon teori ini mencari dasar pada objek diluar diri orangnya yaitu perbuatan.  Alam pikirannya ialah dari sifat perbuatan yang dilakukan oleh orang itu dapat ditentukan apakah perbuatan itu termasuk permulaan pelaksanaan atau tidak. Dasar hukum poging menurut objectieve pogingstheorie,  karena perbuatan itu menurut sifatnya telah membahayakan kepentingan hukum karenanya poger harus dipidana. Untuk menentukan perbuatan manakah yang merupakan permulaan pelaksanaan kejahatan, teori objektif mengadakan perbedaan antara delik formil dan delik materil. Dalam delik formil suatu perbuatan itu merupakan permulaan pelaksanaan apabila dilakukan oleh yang mempunyai kehendak untuk melakukan kejahatan dan merupakan permulaan dari perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Dalam delik materil suatu perbuatan itu merupakan perbuatan permulaan pelaksanaan bila menurut sifatnya dapat menimbulkan akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana. H.R yang juga menganut teori objektif dalam menentukan permulaan pelaksanaan bila perbuatan itu mempunyai hubungan langsung dengan kejahatan yang dikehendaki oleh seseorang (Satochid Kartanegara).[8]

 

       Percobaan Kejahatan Dalam Hukum Positif

Di Indonesia, hukum pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku pada suatu masyarakat dalam suatu sistem negara yang mengadakan dasar-dasar atau aturan-aturan untuk menentukan tindakan-tindakan yang tidak dapat dilakukan dan dengan disertai ancaman hukuman bagi yang melanggar aturan tersebut. Aturan-aturan tersebut diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang terdiri dari tiga buku, yaitu: buku ke-1 berisi tentang aturan umum, buku ke-2 berisi tentang kejahatan terhadap kepentingan umum dan buku ke-3 berisi tentang pelanggaran. Dalam hukum pidana suatu kejahatan yang meskipun kejahatan tersebut belum selesai dilakukan namun pelaku masih dapat dikenakan hukuman, hal ini didasarkan pada pasal 53 KUHP tentang percobaan melakukan kejahatan.[9]

Percobaan kejahatan ialah “een begin van uitvoering van het misfrijf” atau pelaksanaan mula suatu kejahatan yang tidak diselesaikan. Menurut bahasa percobaan berarti usaha mencoba sesuatu atau usaha hendak berbuat atau melakukan sesuatu. Menurut Wirjono Prodjodikoro pada umumnya kata percobaan berarti suatu usaha mencapai suatu tujuan yang pada akhirnya tidak atau belum tercapai.[10] Menurut memorie van toelichting (MVT)  menjelaskan percobaan yang satu sama lainnya berbeda yaitu:

a.     Percobaan adalah pelaksanaan tindakan dari kejahatan yang telah dimulai tetapi tidak selesai

b.      Percobaan adalah suatu permulaan pelaksanaan tindakan yang dinyatakan untuk melakukan suatu kejahatan tertentu

Menurut arti kata sehari-hari percobaan yaitu menuju suatu hal tetapi tidak sampai pada suatu hal yang dituju itu atau hendak berbuat sesuatu sudah dimulai tetapi tidak selesai. Misalnya  membunuh orang tetapi orang yang ditujunya tidak mati. Dalam KUHP  percobaan kejahatan dirumuskan dalam psal 53.[11]

Adapun Rumusan dari pasal 53 KUHP:

1.  Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.

2.      Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga

3.    Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun

4.      Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai

Dari rumusan pasal 53 KUHP diatas menurut C.S.T. Kansil, Pasal 53 KUHP hanya menyatakan pada hal apa suatu percobaan untuk melakukan kejahatan diancam hukuman. Pasal 53 ayat 1 menjelaskan bahwa suatu percobaan (yang sia-sia) untuk meakukan suatu delik dapat dihukum, apabila:” percobaan untuk melakukan kejahatan terancam hukuman bila maksud si pembuat sudah nyata dengan dimulainya perbuatan itu dan perbuatan itu tidak selesai hanyalah lantaran hal yang tidak bergantung kepada kemauannya sendiri”.[12]

Didalam Hukum pidana umum, bentuk-bentuk percobaan menurut Jonkers yang dikutip oleh Amzah dan Abidin dalam bukunya yang berjudul bentuk-bentuk khusus perwujudan delik (percobaan, penyertaan, dan gabungan delik) dan hukum penitensier  menyatakan bahwa terdapat tiga bentuk percobaan[13] yaitu:

1.   Vooltooid poging (delit manque) atau percobaan selesai. Umpamanya seorang menembak musuhnya, tetapi peluru yang ditembakkannya tidak mengenai sasaran (korban). Perbuatan menembak tersebut merupakan percobaan selesai atau delit manque.

2.     Geschorsten poging atau percobaan terhenti atau terhalang. Perbuatan yang lebih jauh dari delik selesai, tetapi masih termasuk delik percobaan ialah apa yang disebut geschorste poging atau percobaan terhalang. Contohnya: seorang mengarahkan senapannya membidik sasaran, tetapi sebelum menarik picu senapan, tiba-tiba tangannya dipukul orang lain sehingga senapannya jatuh.

3.   Gequalificeerde poging atau percobaan berkualifikasi. Suatu perbuatan terlaksana sehingga mendekati delik selesai. Umpamanya, seseorang berniat untuk membunuh orang lain dan untuk melaksanakannya ia menikam korban dengan pisau sehingga korban memperoleh luka ditangannya. Jelaslah bahwa terdakwa melakukan percobaan pembunuhan menurut pasal 53 Jo 338 KUHP. Perbuatan melukai tangan korban ditinjau tersendiri, terlepas dari perbuatan percobaan adalah delik selesai yaitu menganiaya berat pasal 354 KUHP atau menganiaya biasa pasal 351 KUHP ataupun menganiaya biasa yang mengakibatkan luka berat pasal 351 (2) KUHP.

Sedangkan menurut Hazewinkel-Suringa yang dikutip oleh Amzah dan Abidin dalam bukunya yang berjudul bentuk-bentuk khusus perwujudan delik (percobaan, penyertaan, dan gabungan delik) dan hukum penitensier, hanya menyebut dua bentuk percobaan yaitu[14]:

1.         Delit manque dan tentative. delit manque atau beentigter versuch ataupun voltooide poging, percobaan selesai oleh Hazewinkel-Suringa  diberikan contoh kasus yang diadili oleh Hoge Raad Nederland (Mahkamah Agung Belanda) dalam arrest-nya tanggal 24 Februari 1948 (NJ 1948, 272) yang casus positif-nya (duduk perkaranya) adalah sebagai berikut. “terdakwa telah meracuni istrinya dengan maksud untuk menghilangkan nyawanya. Dengan menuangkan racun kedalam makanan/minuman istrinya, ia telah melakukan segala perbuatan untuk mencapai niatnya, yaitu pembunuhan berencana ( ex pasal 340 KUHP). Akan tetapi, kebetulan istrinya mempunyai daya tahan tubuh yang luar biasa. Walaupun terdakwa telah melakukan perbuatan kriminal secara sempurna (iter criminis), efeknya tertinggal.” KUHP tidak megatur tentang percobaan selesai seperti halnya KUHP Swiss Art. 22  schweizerisches strafgesetzbuch ( O.A. Germann, 1974: 41) menamakan vollen-deter versuch. Percobaan selesai (vollendeter versuch) menurut art 22 KUHP Swiss terjadi jika perbuatan melawan hukum telah dilaksanakan sampai titik akhir, tetapi delik tidak terwujud atau akibatnya tidak terjadi, pidana yang akan dijatuhkan kepadanya dapat diringankan. Jadi dalam hal ini hakim diberi wewenang yang luas untuk menerapkan pidana ringan. Hal ini berbeda dengan pasal 53 KUHP kita yang menyatakan bahwa bila hakim hendak menjatuhkan pidana tertinggi kepada pelaku percobaan, pidana terberat adalah pidana maksimum untuk pelaku delik selesai dikurang dengan sepertiganya.

2.         Bentuk percobaan yang ke-2 Hazewinkel-Suringa, disebutnya tentative atau unbeendigter versuch percobaan yang tidak selesai yang diberikannya contoh ialah kasus yang diadili Hoge Raad pada tanggal 24 Februari 1984 (NJ 1984, 275)

Casus Positie

terdakwa berupaya untuk membunuh istrinya dengan menikamnya dengan pisau beberapa kali, tetapi sebelum mengenai sasaran tubuh yang dapat mematikan, seorang tetangganya datang menghalangi sehingga perbuatan terakhir terhalangi.” Bentuk percobaan yang disebut tentative atau unbeendigter versuch oleh Hazewinkel-Suringa  dinamakan unvollendeter versuch oleh pasal 21 KUHP Swiss, yang menyatakan bahwa pembuat telah memulai perbuatan pelaksanaannya verbrechens dan vergehens, tetapi die strafbare tatigkeit nich zu ende, ia dapat dijatuhi pidana yang lebih ringan (pasal 65). Perlu dikemukakan bahwa pada umumnya percobaan terdiri atas rangkaian perbuatan-perbuatan pelaksanaan. Perbuatan terakhirlah yang belum dilaksanakan oleh terdakwa disebabkan oleh keadaan diluar kehendaknya

Sedangkan dalam hukum pidana Islam tidak ada bentuk-bentuk khusus tentang percobaan melakukan jarimah, para fuqaha hanya membedakan menjadi dua yakni jarimah selesai dan jarimah belum selesai. Tetapi jika dilihat dari segi pendirian hukuman bagi pelaku percobaan melakukan jarimah didalam hukum pidana Islam lebih mencakup dari hukum positif. Sebab menurut hukum pidana Islam setiap perbuatan yang tidak selesai yang sudah melanggar hak masyarakat atau hak individu dan perbuatan itu dimaksudkan pula untuk melaksanakan unsur materilnya, meskipun antara perbuatan tersebut dengan unsur materilnya masih terdapat beberapa langkah lagi, perbuatan ini harus dijatuhi hukuman, dan dalam hal ini tidak ada pengecualiannya. Sedangkan didalam hukum pidana umum bagi yang melakukan percobaan pelanggaran tidak bisa dikenakan hukuman. [15]

 

          Sebab Tidak Selesainya Perbuatan

Suatu perbuatan jarimah tidak selesai dilakukan oleh pembuat disebabkan karena salah satu dari dua hal sebagai berikut:[16]

                   a.      Adakalanya karena terpaksa, misalnya karena tertangkap

                  b.      Adakalanya karena kehendak sendiri. Berdasarkan kehendak sendiri ini ada dua macam, yaitu: bukan karena taubat dan karena taubat

Kalau tidak selesainya jarimah itu karena karena terpaksa maka pelaku tetap harus dikenakan hukuman. Selama perbuatannya itu sudah dikategorikan ma’siat. Demikian pula halnya kalau pelaku tidak menyelesaikan jarimahnya karena kehendak sendiri  tetapi bukan karena taubat. Akan tetapi, apabila tidak selesainya itu karena taubat dan kesadarannya maka jarimah nya itu adakalanya jarimah hirabah dan adakalanya bukan jarimah hirabah. Apabila jarimah yang tidak selesai itu merupakan jarimah hirabah maka pelaku dibebaskan dari hukuman. Hal ini didasarkan kepada firman Allah dalam Surah Al-Maidah ayat 34, yang artinya: Kecuali mereka yang taubat sebelum kamu tangkap mereka maka ketahuilah bahwa allah maha pengampun lagi maha penyayang.[17]

Jadi orang yang melakukan jarimah hirabah itu sudah menyatakan taubat maka hapuslah hukumannya, walaupun ia telah menyelesaikan jarimah itu. Dengan demikian maka lebih-lebih lagi kalau jarimah hirabahnya itu tidak diselesaikan. Apabila jarimah yang tidak selesai itu selain jarimah hirabah maka pengaruh taubat disini masih diperselisihkan oleh para fuqaha. Dalam hal ini ada tiga pendapat, yaitu[18]:

1.      Menurut pendapat beberapa fuqaha dari Mazhab Syafi’i dan Hanbali, taubat bisa menghapuskan hukuman. Alasannya adalah sebagai berikut:

a.       Al-qur’an menyatakan hapusnya hukuman untuk jarimah hirabah, sedangkan jarimah hirabah adalah jarimah yang paling berbahaya. Kalau taubat dapat menghapuskan hukuman untuk hukuman yang paling berbahaya maka lebih-lebih lagi untuk jarimah-jarimah yang lain

b.      Dalam menyebutkan beberapa jarimah, al-Qur’an selalu mengiringinya dengan pernyataan bahwa taubat dapat menghapuskan hukuman. Untuk hapusnya hukuman tersebut, para fuqaha memberikan syarat sebagai berikut:

1)      Jarimah yang dilakukan adalah jarimah yang menyinggung hak Allah, seperti zina, khamr, qadzaf

2)      Taubatnya itu harus dibarengi dengan tingkah laku yang baik. Hal ini menghendaki berlakunya suatu masa tertentu yang cukup untuk menegetahui ketulusannya itu.

2.      Menurut pendapat Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan beberapa fuqaha dari kalangan Mazhab Syafi dan Hanbali, taubat tidak menghapuskan hukuman, kecuali hanya untuk jarimah hirabah yang sudah ada ketentuannya saja, karena kedudukan hukuman adalah sebagai kifarat ma’siat. Alasnnya adalah bahwa rasulullah  SAW. Menyuruh melaksanakan hukuman rajam atas Mas’is dan wanita Ghamidiyah, walaupun orang-orang itu sudah mengakui perbuatanya dan minta dibersihkan dari dosa dengan jalan menjatuhkan hukuman atas diri mereka. Perbuatan mereka itu dinamakan taubat, sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah dalam kaitan dengan wanita Ghamidiyah tersebut. Disamping itu kalau dengan bertaubat semata-mata hukuman dapat hapus maka akibatnya ancaman hukuman tidak akan berguna, sebab setiap pelaku jarimah tidak sukar untuk mengatakan telah bertaubat.[19]

3.      Menurut pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim dari pengikut Mazhab Hanbali, hukuman dapat membersihkan ma’siat dan taubat bisa menghapuskan hukuman untuk jarimah-jarimah yang berhubungan dengan hak Allah, kecuali apabila pelaku meminta untuk dihukum seperti halnya Ma’iz dan wanita Ghamidiyah, ia bisa dijatuhi hukuman walaupun ia telah bertaubat.[20]

Pendapat Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim ini kelihatannya merupakan jalan tengah yang mengkompromikan pendapat pertama dan kedua yang bertentangan, menurutnya bila kejahataannya merupakan hak allah maka taubatnya itu dapat menghapuskan hukuman dan bila kejahatannya itu merupakan hak Adami maka taubatnya tidak menghapuskan hukuman.[21]



[1] Tanti Yuniar, kamus lengkap bahasa indonesia, ( Jakarta: Agung Media Mulia, tt)  hlm. 140 

6 Abdullah Al-Faruq. Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Pidana Islam ( Bogor: Ghalia Indonesia, 2009) hlm. 88

[3]  Ahmad Wardi Muslich, pengantar dan asass-asas hukum pidana islam. ( jakarta: sinar grafika. 2006) hlm.60

[4] Ahmad Wardi Muslich, (2006; 60). Lihat juga di Abdullah Al-Faruq. Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Pidana Islam ( Bogor: Ghalia Indonesia, 2009) hlm. 88-89. Menerangkan bahwa mengenai percobaan, para fuqaha kurang begitu memperhtikan karenkan tiga sebab; 1) Menurut syariat Islam, memiliki niat jahat tidak dihitung sebagai kejahatan selama ia belum melakukan kejahatannya. Sebaliknya, jika ia memiliki niat baik tetapi belum sempat melakukan, maka hal itu telah dihitung sebagai satu kebaikan. 2) Percobaan melakukan tindak pidana tidak dikenal dengan istilah percobaan, melainkan dikenal dengan istilah “jarimah belum selesai”. 3) Para fuqaha lebih menaruh perhatian pada tindak pidana hudud dan tindak pidana qishash

[6] A. Dzajuli. Fiqh Jinayah (upaya menanggulangi kejahatan dalam islam) ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000)  hlm. 22

[7] Ahmad Wardi Muslich, pengantar dan asass-asas hukum pidana islam. ( jakarta: sinar grafika. 2006) hlm. 61

[8] Ahmad Ruben, Mustafa Abdullah. Intisari Hukum Pidana (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983) hlm.

[9] Andi Hamzah. KUHP & KUHAP. ( Jakarta: Rineka Cipta, 2011) hlm. 26

[10] Pipin Syarifin.  Hukum Pidana Diindonesia (Bandung: Pustaka Setia, 2000) hlm. 55

[11] Andi Hamzah. Op Cit, hlm. 26

[12] Christine S.T. Kansil. Latihan Ujian Hukum Pidana  (Jakarta: Sinar Grafika) hlm. 209.

 [13] A. Hamzah dan A.Z. Abidin Farid. Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik (Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Delik) Dan Hukum Penitensier. ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006) hlm. 38-39

[20] Mahmud Syaltut.  Aqidah dan Syri’ah Islam (Jakarta: Bina Aksara, 1985) hlm. 29-31

[21]A. Djazuli. Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam). (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000)  hlm. 24

Related Posts

0 comments:

Post a Comment